Lupin. Mini bar milik Cedric. Berlokasi di jalan gang yang sempit, terpencil, seolah layak menjadi tempat pertemuan rahasia, membuat tempat ini tidak banyak diketahui orang-orang.
Cedric, kakak keduaku, diinformasikan dari pelayan bahwa ia sedang menerima tamu VIP. Daripada pulang ke rumah lagi, aku menunggunya duduk di salah satu meja kosong sendirian tanpa memesan minuman.
Temaram seisi ruangan kecil ini dengan plafon rendah dan lampu remang-remang. Hanya terdapat beberapa satu set meja dan kursi kayu yang tampak dihuni satu dua orang, serta meja bar tempat di mana bartender membuat minuman. Aku tahu, meskipun ia memiliki bar kecil di sudut yang gelap, semua jenis minuman dari paling murah hingga termahal setara bar mewah pun lengkap tersedia.
Namun aku tak pernah tahu alasan Cedric membuka bisnisnya di tempat yang kecil seperti ini. Padahal dad dan mom bisa membiayai semua yang ia butuhkan.
"Hi..." Tiba-tiba seorang pria duduk di hadapanku. Menyapa dengan seringai miring yang aku tahu apa artinya.
"Berapa hargamu?" tanyanya, menaikkan tensi darahku seketika. Tanganku terkepal di bawah meja. Rahangku mengeras. Jelas seharusnya saat ini ekspresiku berubah marah. Lalu tanpa segan-segan lagi, satu telapak tanganku menampar keras di pipinya, hingga wajahnya tertoleh ke samping sementara aku sontak berdiri menatap tajam.
"You fucking bastard!" makiku melengos pergi. Namun cengkraman di tangan berhasil menahan langkahku. Kuat pegangannya mencekik pergelangan, secara tak langsung menekan bekas luka yang tersembunyi dibalik pakaian, dan ringisan kecil spontan mendesis di bibirku.
"Lepaskan!" tegasku mendelik tajam.
"I can't let you go," katanya dengan suara rendah. Kemudian ia mendekat ke sisi kepalaku. "I want you in my bed," bisik suaranya mengembuskan tiupan napas di telinga.
Sontak membuatku menjauh sambil berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan kuatnya. "Lepaskan aku!" Terlintas sebuah ide dari cuplikan film action, maka dengan sekuat tenaga kutendang poros tubuh pria itu. Seketika pekik kesakitannya memecah ketenangan suasana. Ia sampai menekuk lutut, meringis-ringis sambil memegangi harta dibalik celana jeansnya. Memutih wajahnya dengan cepat menjadi pucat. Segaris senyuman di wajahku terukir dengan puas.
"Mampus!" semburku senang.
Ia menatapku. Tampak memerah mata itu menahan sakit. "Kurang ajar sekali kau!" geram rahangnya bergemelatuk. Tepat ketika kepalan tangan diangkat tinggi ke arahku, cengkraman lain menahan gerakannya yang hampir menghancurkan wajahku dalam sekali tinju.
Kami sama-sama terkejut. Mataku bergulir ke pemilik tangan yang datang menyelamatkan. Betapa kelegaan mengendurkan ketegangan di bahuku kala melihat Cedric muncul bak pahlawan.
"Let her go," kata Cedric. "Oh, apakah kau ingin ganti biaya rumah sakit untuk bendamu yang terluka?" Ekspresinya mengejek.
"Sialan!" sentak pria itu menghempaskan tangannya dari Cedric lalu pergi keluar bar.
Cedric beralih menatapku. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya.
"Aku ingin bertemu denganmu. Apa kau sudah memaafkan aku atas kelancangan kemarin?"
Sebelah alis Cedric naik, lalu ia mendengus.
"Cedric, aku ingin kita menjadi kakak dan adik yang rukun. Tolong jangan bersikap tidak peduli padaku," ujarku memelas.
Cedric melirik ke bawah. "Tanganmu terluka kan?" Ia bertanya tapi aku malah terkejut. Mendadak tegang, menatapnya terbengong, dan satu pertanyaan tercipta di kepala: bagaimana ia bisa tahu itu?
"Kau harus mengobati lukamu," kata Cedric meraih tangan kiriku. Reflek aku menarik tanganku bersembunyi. "Kenapa?" tanyanya.
"Bagaimana kau bisa tahu?" balasku merasa horror. Apa jangan-jangan selama ini dia diam-diam tahu apa yang dilakukan Carlo kepadaku?
"Kalau tidak terluka, kau tidak akan menghindarinya. Aku benar kan?" tebaknya telak menjebakku. Ia kubiarkan memeriksa lenganku, menyingkap lengan bajuku hingga terlihat bekas sayatan tipis maupun ruam merah-merah di kulit.
Cedric menarikku dengan lembut, duduk di kursi. "Tunggu sebentar," katanya sambil berlalu. Tidak lama ia muncul lagi di hadapanku dengan sekotak obat-obatan.
"Kau harus memikirkan tubuhmu dulu sebelum memikirkan orang lain," ujar Cedric.
"Tapi kau bukan orang lain," sanggahku paham dengan cepat.
"Kau kakak keduaku, keluargaku, darah yang sama denganku. Aku tidak bisa mengabaikanmu seolah kita bukan saudara." Perlahan-lahan isi pikiranku keluar. Kulihat Cedric tidak menanggapi dan hanya fokus mengobati luka lebam di lenganku dengan kapas alkohol. Lalu aku melanjutkan unek-unek. "Tidak bisakah kita menjadi saudara yang akrab? Bisa saling bicara dan berbagi curhat. Meluangkan waktu untuk saudaramu. Berbagi pemikiran ataupun liburan keluarga bersama? Dan tidak ada lagi sikap dingin di antara kita berdua."
"Katakan padaku jika aku punya salah padamu, jangan mengabaikanku seperti ini! Jangan menambah konflik batinku karena tidak pernah dianggap dalam keluarga. Kau salah satu kakakku yang aku hormati!"
"Aku tahu," ucap Cedric pendek. Matanya masih menatap fokus pada pekerjaannya sekarang, sebelum kemudian menyimpan obat-obatan itu ke dalam kotak medis dan mengunci netraku dengan tatapan yang tak dapat kupahami.
"Cecillia," sebutnya memanggil namaku. "Dulu aku hanya belum menerimamu sebagai adikku."
"Kenapa?"
"Saat tahu aku akan punya adik, saat melihat sendiri mom mengandung anak lagi, pemikiranku yang masih anak-anak pun tidak siap memiliki saudara yang lebih muda dariku."
"Aku marah, karena perhatian mom tercurahkan padamu yang masih dalam kandungan. Jadi aku membencimu.... Tapi sekarang aku sudah dewasa. Aku bukan lagi anak-anak yang suka iri pada orang lain. Aku hanya sibuk dengan duniaku."
Ada sesuatu yang menarik dari ceritanya. "Apa kau tahu bagaimana mom membesarkan aku?" tanyaku penasaran.
"Mom sangat menyayangimu, bahkan lebih dari sayang kepada Carlo dan aku. Karena kau anak perempuan satu-satunya di keluarga ini," kata Cedric.
"Lalu kenapa sikap mom padaku seolah tidak peduli sama sekali?"
"Aku juga tidak tahu, yang jelas mom dan dad sering bertengkar."
"Dan aku menjadi pelampiasan mereka," sambungku mendengus.
"Lebih baik sekarang kau pulang," kata Cedric.
"Kau mengusirku?"
"Carlo sudah mendesakku untuk mengantarmu pulang," jawab Cedric setelah mengecek ponselnya.
"Apa? Ya ampun. Aku hanya keluar rumah sebentar, itu pun tidak pergi jauh. Tunggu!" Aku terdiam sesaat. Ada sesuatu yang ganjil. Lantas kutelan saliva dengan gugup. "Dari mana dia bisa tahu aku bersamamu?" Aku bertanya dengan perasaan horror.
"Huh? Kukira kau sudah pamit dengannya, makanya dia mengirim pesan padaku untuk membawamu pulang," jawab Cedric.
"Boleh kulihat isi pesannya?" pintaku dengan segan. Lalu Cedric memberikan ponsel itu. Segera saja kubaca gelembung pesan di layar. Sederet kalimat mengatakan.
[Antarkan Cecillia ke rumah, sekarang.]
Sarat memerintah.
"Carlo sangat menyayangimu. Jadi turuti perkataannya selagi itu baik untuk dirimu. Jangan membuat dia marah," pesan Cedric mendapat delik sinis dariku.
"Apa aku tidak salah dengar?" Seakan tidak percaya, kukatakan dengan tanya. Cedric mengangguk.
"Kau tidak tuli," ujar Cedric, membuat mataku berotasi jengah mendengarnya.
Cedric tidak tahu saja bahwa saudaranya yang dianggap penyayang padaku, melakukan kekerasan fisik yang tidak hanya menyiksa raga, tapi juga sekaligus batin. Sebab hidup seatap dengannya membuatku tidak bisa tenang.
"Ayo aku antarkan pulang." Cedric beranjak.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Hasrat Dua Kakak
Romance[SISTER COMPLEX] Hasrat Carlo dan Cedric sangat terlarang dan menentang moral. Dia hanya akan terbangun ketika itu adalah Cecilia, adik perempuannya. ___ Season 1 hubungan Cecilia dan Carlo. ✔️ End Season 2 hubungan Cecilia dan Cedric. Latar Amerika...