Buku

4 1 0
                                    

Jarinya mengeluarkan darah sekarang. Setelah ia gores ibu jari kirinya dengan ujung cutter yang tajam, rasa perih membuat gadis itu terduduk lemas sembari berusaha mencerna apa yang barusan terjadi pada dirinya. Tak lama kemudian ia bangkit dan mulai menyapu ruangan tempatnya berada dengan matanya. Ketika matanya menangkap benda yang ia cari, ia langsung menghampiri dan mulai membongkarnya.

"Maria." Gadis itu mengeja tulisan yang banyak tertempel pada beberapa benda di tangannya: buku, bolpoin, berbagai alat tulis lainnya yang ia temukan dalam ransel cokelat itu.

Baru saja hendak kembali bergerak, kepalanya mendadak pening. Kilatan adegan acak sekilas muncul di benaknya. "Siapa Maria? Ini dimana? Gue-" gumamannya baru saja terputus ketika dia teringat sesuatu. Dia -sudah mati.

Jena. Gadis itu ingat betul apa yang terjadi padanya. Waktu itu dia sedang emosi karena lelaki yang dicintainya membantu perempuan yang dibencinya membersihkan namanya yang sudah dijerat Jena dengan kasus hukum. Ulah Jena terbongkar dan banyak yang menyudutkannya, jadi ia ingin melakukan aksi dendamnya untuk yang terakhir kalinya dengan menghajar musuh bebuyutannya sampai puas di depan semua teman kampusnya. Namun nahas, ditengah perkelahian Jena tak sengaja terdorong melewati tembok pembatas di koridor lantai tiga gedung kampusnya dan jatuh hingga tewas seketika.

Jena pikir itu semua hanya mimpi ketika ia terbangun tadi pagi. Namun ketika melihat sekelilingnya yang asing, ditambah wajah tak dikenal yang ia lihat di cermin membuatnya semakin berharap bahwa yang terjadi saat ini adalah mimpi yang sesungguhnya.

Jena masih belum menerima keadaan. Dia kembali mengacak-acak tempat itu untuk mencari petunjuk. Dapur, kamar mandi, tempat tidur, bahkan rak-rak buku tak luput ikut berantakan. Sampai dia kembali ke atas kasur dan mengambil dua buah buku yang ada di sana. Tadi ia terbangun dengan buku-buku itu tergeletak di atas dadanya.

Dua buku di tangannya itu adalah dua buku yang sama. Sebuah novel dengan judul yang sama persis. Merasa penasaran, Jena mencoba melihat isinya. Keningnya tampak mengernyit ketika melihat beberapa nama yang tak asing tertulis di berbagai lembar novel tersebut. Nama musuh bebuyutannya, nama lelaki yang disukainya, dan nama Jena adalah nama paling banyak disebut di situ.

Jena menangkupkan telapak tangannya pada wajahnya, menggosoknya frustasi dan takut. "Apa lagi ini!!!!?" Jena hendak melempar buku di tangannya namun tak jadi karena kepalanya kembali pening.

Jena, kamu sebenarnya cerdas, sayang banget cuma gegara termakan emosi otaknya jadi tumpul. Cari latar belakang tokoh utama kek biar gak salah paham gitu. Nyusahin diri sendiri aja.

Terngiang ingatan ucapan tubuh ini saat membaca salah satu adegan yang tertulis dalam buku tersebut membuat Jena sedikit tidak percaya dengan apa yang dipikirkannya. Perasaannya saat ini campur aduk. Setelah beberapa saat lamanya bergumul dengan pikirannya, Jena berhenti menjambak rambutnya. Ia menegakkan tubuhnya, mengatur napasnya lalu mulai membuka buku di pangkuannya.

Matahari jelas sudah tenggelam saat ini. Ruangan tempat Jena berada sudah tak lagi terang seperti waktu ia terbangun tadi pagi. Meski begitu, gadis itu masih diam di tempatnya sambil mengamati dua buku kembar di tangannya.

Novel berjudul The White Lady itu sudah ia baca sampai selesai sejak siang tadi. Ia sudah lelah berekspresi saat ini. Sepanjang membaca ia sudah merasa terkejut, tidak percaya, marah, kasihan, menyesal dan pada di akhir halaman dia putus asa. Jena tidak percaya bahwa dirinya adalah sebuah karakter jahat di sebuah novel percintaan klise. Ia membaca kisah tragis hidupnya dari sudut pandang orang yang paling dia benci.

Setelah membaca cerita sampai akhir, Jena tersadar bahwa dirinya memang sejahat itu. Yang dikatakan buku itu tentang dirinya sangat benar. Sejak awal ia tidak pernah memercayai kebaikan tokoh utama dan terus menyakitinya. Ia tidak pernah mengetahui latar belakang dan bagaimana sifat asli si protagonis dan selalu menyiksanya. Dan saat ini Jena merasa lega dengan kematiannya. Ia benar-benar mengutuki dirinya yang berengsek itu.

AbjadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang