"Jujur, baru ini gue ngrasa iri sama lo, Amora."
Amora yang sedang makan kacang, duduk di teras menatap bulan, menoleh ke arah Mona.
"Kenapa?" tanyanya heran.
"Gimana, nggak? Kantor kita yang semula hanya dihuni para orang tua, atau laki-laki yang sudah menikah, mendadak kedatangan Pak Oscar yang luar biasa tampan. Gimana nggak iri gue?"
"Bukanya kalau lo jaga toko sering lihat cowok cakep juga?"
"Memaang, tapi karisma Pak Oscar itu beda." Mona menepuk dadanya dengan ekpresi yang sedih tapi lucu. "Tuhan tahu, betapa gue suka laki-laki itu."
"Lebay lo!"
"Emangnya lo nggak suka?"
Amora menolak untuk menjawab. Ia mengupas kacang kulit lebih banyak dan memasukkan ke dalam mulutnya. Sudah seharian ini pikirannya tertuju pada Oscar, meski begitu ia belum ada niat untuk mengatakan pada sahabatnya kalau ia mengenal laki-laki itu.
Lagi pula ia bingung harus memulai cerita dari mana. Apakah dimulai saat Oscar merengkuh pinggangnya dan mengecup bibirnya? Atau saat jemari laki-laki itu menangkup pinggulnya dan membelai perlahan? Bagaimana remasan lembut di pinggang dan pinggul mampu membuat seluruh tubuhnya menegang. Ia tidak mungkin bercerita seperti itu karena pasti dianggap gila oleh Mona apalagi Juki.
Juki datang membawa sebungkus gorengan dan teh dingin dalam botol. Menyerahkannya pada Mona lalu mengenyakkan diri di samping Amora.
"Gue hampir berantem tadi," gumamnya.
Amora menoleh. "Sama siapa?"
"Tuh, ibu-ibu yang lagi nongkrong depan warung. Bisa-bisanya dia gibahin lo sama Mona."
Mona menggigit satu potong tempe beserta cabai hijau. "Gibahin apaan?"
"Mereka bilang, kalian suka jual mahal. Nggak mau pacaran sama anak kampung ini. Terutama lo, Amora. Padahal anak Pak RT yang katanya kerja di bandar aitu naksir lo, tapi lo tolak?"
Amora mengangguk. "Septiawan? Emang. Mau gimana? Gue nggak naksir."
"Nah itu, emaknya sakit hati trus berkoar-koar di kampung. Katanya Septiawan terlalu baik buat lo. Anaknya yang bodoh, pasti kena guna-guna. Sedangkan lo malh pingin kawin sama direktur."
Mona tersedak tempe dan batuk-batuk. Amora mengulurkan sebotol teh dingin dan memukul punggung temannya perlahan hingga batuk Mona mereda.
"Lo serius? Ngomong gitu sama Bu RT?" tanya Mona.
Amora mengangguk. "Iya, jadi emak belagu, sih. Masa anaknya nembak gue harus gue terima? Gue bilang aja pingin punya laki direktur. Eh, dia ngamuk. Aneh."
Juki menjentikkan jemarinya. "Ap ague bilang." Ia meraih tahu dan memakannya dalam satu gigitan. "Enak tahunya, gurih."
"Gorengan Pak Dhe emang mantap," ucap Moza. Kali ini mengambil pisang goreng dan memakannya perlahan. "Lo berani juga, Amora. Nolak Bu RT."
Amora yang sedari tadi masih berkutat dengan kacang, hanya mengangkat bahu. Ia meluruskan kaki, dan menengadah ke arah bulan yang malam ini bersinar terang. Kontrakan yang mereka tempati berada di dalam gang yang padat penduduk. Tidak heran kalau suara anak-anak bermain dan berlarian terdengar memekakkan telinga, bersamaan dengan deru kendaraan bermotor yang lewat tiada habisnya.
Ia sudah tinggal di sini nyaris seumur hidup. Berawal dari sang ayah yang membawanya urbanisasi dari desa ke kota saat umurnya menginjak lima tahun. Sang ayah yang waktu itu single parent karena ibunya meninggal, bekerja banting tulang di kota besar untuk merawatnya. Sampai saat ia berumur lima belas tahun, ayahnya terpikat janda cantik beranak dua. Mereka menikah dan Amora yang sudah lulus SMP, nekat kos sendiri. Berkenalan dengan Juki dan Mona lalu menjadi teman sampai sekarang. Akhirnya mereka memutuskan mengontrak rumah kecil untuk ditempati bertiga. Bagi Amora, Juki dan Mona bukan sekadar sahabat tapi juga saudara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kissing The Stranger
RomanceKisah cinta unik Amora dan Oscar. Bermula dari ciuman yang mereka lakukan di bawah lampu pesta, antara dua orang yang tidak saling mengenal. Amora tidak menyangka kalau Oscar ternyata atasan barunya di kantor. Bagaimana akhir cerita dari kisah yang...