Bab 3a

3.7K 640 64
                                    

Segalanya berubah terlalu cepat bagi Amora. Dalam sekejap mata ia berubah dari hanya admin biasa menjadi asisten Oscar. Mejanya dipindahkan dari ruang depan dan ramai-ramai dengan banyak orang, kini menempati ruangan sendiri. Tugasnya pun berubah, dari semula mengurus pembukuan dan mencatat, kini hanya khusus mengerjakan perintah Oscar. Perubahan yang begitu besar dan terjadi dalam sekejap mata, tidak urung menimbulkan kecurigaan teman-teman sekantornya.

"Bilang sama kita, lo kasih apa Pak Oscar, sampai mau jadiin lo asistennya?"

"Nggak kasih apa-apa," jawab Amora mengelak.

Waktunya makan siang, Oscar sedang keluar kantor jadi Amora makan bersama teman-teman satu ruangan yang dulu. Seperti biasa, mereka mencecarnya soal Oscar dan nyaris membuat kesabarannya habis.

"Nggak mungkin kalau nggak ada apa-apa, lo langsung naik pangkat."

"Main belakang lo, ya."

Amora hanya mengelus dada. Ia mencoba bersabar mengadapi mereka dan menjawab sebisa mungkin. Karena ia tahu mereka hanya penasaran. Sebenarnya, yang merepotkan bukan mereka tapi Aminoto. Laki-laki itu bersikap seolah telah dikhianati.

"Amora, kamu menolak tawaranku tapi malah jadi asisten Pak Oscar. Apa aku kurang baik?"

Laki-laki bertanya dengan wajah memelas suatu sore. Datang khusus ke ruangannya saat Oscar tidak melihat.

"Pekerjaan ini nggak ada hubungannya dengan Anda," jawab Amora sekenanya.

"Masa? Tapi, aku merasa kamu menghindariku. Kenapa, Amora?"

"Nggak ada yang menghindar, Pak. Biasa aja saya, mah."

"Amora, aku tulus sama kamu."

"Pak, ini di kantor."

"Di umurku sekarang, baru kali ini aku ngrasa jatuh cinta dan itu sama kamu."

"Maaf, Pak. Ke toilet bentar."

Menghindar sebisa mungkin, itu adalah jurus andalan Amora dalam menghadapi Aminoto. Ia sama sekali tidak habis pikir kalau laki-laki itu akan menyatakan cinta padanya. Selama ini, ia menghormati Aminoto sebagai atasannya. Sama sekali tidak terpikir hal lain. Ia tidak menyangka kalau Aminoto akan menyimpan cinta untuknya. Di perusahaan ini ada banyak keryawan wanita yang masih lajang, kenapa harus dirinya? Amora tidak mengerti.

Belum lagi dua sahabatnya yang hampir mati jantungan saat tahu dirinya naik pangkat. Seperti biasa, keduanya sangat mendramatisir keadaan dan bersikap seakan-akan Amora telah kejatuhan bulan.

"Amora, entah perbuatan baik apa yang dulu pernah lo lakuin. Sekarang, lo dapat balasannya," ucap Juki dengan mimik serius.

"Gue yakin dulu Amora pernah nolong orang dari perang atau binatang buas. Makanya sekarang dapat karma baik." Mona menimpali.

Juki menghela napas panjang. "Atau juga, Dewa Keberuntungan salah narik panah? Harusnya ke gue malah kena Amora?"

"Jangan ngaco!" sergah Amora. "Gue juga kaget dapat posisi ini. Kalian berdua nggak usaha lebay."

"Heh, siapa yang nggak lebay kalau mendadak naik pangkat?" Juki menarik rambut Amora dan membuat gadis itu meringis. "Modelan kayak lo bisa jadi asisten Pak Oscar. Itu sungguh berkah laur biasa."

"Padahal, gue juga mau," ucap Mona.

Juki mengangguk. "Gue juga."

Amora menatap kedua temannya dengan pandangan tidak percaya. Memangnya salah kalau ia naik pangkat? Memang sedikit mengejutkan karena terjadi tiba-tiba. Namun, siapa yang bisa menolak datangnya rejeki? Bisa jadi karena memang dirinya dianggap mampiu bekerja makanya jadi asisten Oscar?

Padahal, dipikir lagi pun Amora masih tidak mengerti. Apakah Oscar menjadikannya asusten karena kemampuannya atau hanya karena laki-laki itu suka menciumannya?

Bicara soal ciuman, sampai sekarang Oscar tidak pernah puas untuk mengerjainya. Laki-laki itu selalu memanggilnya setiap sore sebelum pulang hanya untuk mengecupnya.

"Hari ini rasa bibirmu agak beda. Kenapa?" tanya Oscar heran. Tangan laki-laki itu berada di pinggul Amora sementara gadis itu duduk di mejanya. Sungguh posisi yang sangat tidak pantas tapi sepertinya pemilik ruangan tidak peduli.

Amora menggosok bibirnya. "Sepertinya rasa soto."

"Kamu makan siang pakai soto?"

"Bukan, tapi mie instan rasa soto."

"Kenapa makan mie instan? Nggak sehat itu."

"Pak, tolonglah. Anak kos macam saya ini, bisa makan setiap hari sudah syukur."

Oscar menaikkan sebelah alis, meraih bagian belakang kepala Amora lalu melumat bibirnya. Rasa bibir Amora bagaikan candu untuknya. Dari pertama bertemu malam itu, ia sudah sangat tertarik dengan gadis ini dan saat tahu kalau ternyata adalah anak buahnya, ia berniat menyimpan Amora di sisinya.

"Ehm, rasa soto lumayan juga," bisik Oscar di sela ciuman mereka. Ia memaksa Amora membuka mulut, lidahnya menjulur untuk membelai lidah gadis itu. Saat terdengar erangan Amora dengan napas yang sedikit tersengal, ia bangkit. Membuka kaki Amora lebih lebah dan memosisikan dirinya di tengah. "Besok kamu bisa coba makan rasa baso sapi."

Amora menghentikan ciuman mereka dan menjilati bibirnya. "Pak, katanya nggak bagus banyak makan mie instan?"

"Memang, aku menyuruhmu untuk makan siang yang sesungguhnya. Nanti aku akan memberimu kartu untuk belanja."

Amora terbelalak. "Kartu anggota minimarket?"

"Bukan, kartu kredit."

"Oh, nggak usah, Pak. Takut saya lupa diri kalau punya gituan."

"Kenapa? Emangnya nggak mau makan enak tiap hari?"

Amora tersenyum. "Mau dan ingin, tapi saya nggak cukup mampu memegang kartu kredit orang lain. Kecuali, saya punya sendiri."

Dipikir secara benar, harusnya Amora gembira bisa memegang kartu kredit milik Oscar. Rasanya seolah ia bisa membeli dunia dan seluruh isinya dengan kartu itu. Namun, hati kecilnya menolak untuk menerima bantuan orang lain.

Bagi Oscar, kartu kredit bisa jadi bukan hal yang besar tapi baginya berbeda. Ia yang terbiasa hidup mandiri semenjak tinggal terpisah dari ayahnya, tidak akan pernah mau merepotkan orang lain, terlebih lagi Oscar.

Kalau ia menerima semua yang ditawarkan Oscar, ibarat seperti memperjual-belikan dirinya. Ia suka ciuman dengan Oscar, suka mengecup bibir laki-laki itu dan merasakan kehangatan pelukannya tapi tidak suka kalau segala sesuatunya dihubungkan dengan uang.

"Amora, kamu nggak mau menerima bantuanku, nggak apa-apa. Tapi, jangan berpikir aku membelimu."

Perkataan Oscar membuat Amora mengulum senyum. "Tenang, Pak. Saya cukup tahu diri."

"Maksudnya?"

"Tahu diri kalau kita hanya sekadar bersenang-senang. Nggak perlu dimaksudkan dalam hati."

"Kalau begitu, kamu cukup senang dengan keadaan kita?"

Amora menggeleng, tidak punya jawaban. Ia tidak tahu apakah benar menyukai Oscar atau karena tergoda dengan ciuman laki-laki itu. Ia juga tidak berani berharap lebih pada hubungan mereka.

"Untung Pak Oscar belum punya istri. Kalau nggak, setiap hari ke kantor untuk ciuman, saya merasa seperti gadis simpanan."

Oscar tertawa lirih, menepuk lembut pipi Amora. "Tennag saja, kalau aku menikah atau berkencan dengan gadis lain, kamu orang pertama yang akan tahu."

Hubungan mereka hanya fisik, sama-sama saling menikmati ciuman dan cumbuan. Amora mengerti dengan konsekuensinya dan berjanji dalam hati untuk tidak pernah berharap leboh pada Oscar. Karena meskipun hampir setiap hari mereka saling bermesraan tapi hubungan antara Oscar dan Amora tidak lebih dari sekedar boss dan bawahan. Tidak ada kata-kata manis, rayuan, atau pun janji masa depan. 

Kissing The Stranger Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang