Kepindahan

101 80 55
                                    

09.45, malam ini langit begitu terang. Bintang-bintang di langit yang tampak terlihat jelas, cahaya nya membantu menerangkan malam yang gelap gulita.

Aziya Galentama, gadis itu termenung di balkon rumahnya. Ditatapnya langit malam itu, entah apa yang dipikirkan oleh nya.

Ia baru saja menyelesaikan dari merapihkan pakaian dan barang-barang lainnya, karena besok adalah hari kepindahan nya dari rumah ini. Begitu pula dengan sekolah nya.

Rumah ini adalah saksi dari pernikahan ayah dan ibu nya, juga dengan kematian sang ayah. Beribu banyak kenangan manis di dalam nya.

Juga adalah kenangan terakhir dengan sang ayah, namun naas esok ia sudah harus meninggalkan rumah ini. Sejujurnya bangunan ini milik Ridzwan, ayah Aziya. Yang mana dihadiahkan oleh sang nenek, tetapi ibu menjualnya. Dengan maksud ia akan 'menikah' lagi. Sangat tak tau terima kasih, sudah meninggalkan tatapi ia menjualnya pula, istri macam apa ini.

Aziya sebetulnya tak peduli jika ibu nya itu menikah kembali. Tapi mengapa harus rumah ini yang dikorbankan. Rumah ini sudah seperti ketenangan untuk Aziya, atas kepulangan sang ayah.

Mau tak mau ia memang sudah seharusnya menuruti kemauan sang ibu bukan.

Namun bagaimana dengan sekolah nya? kepindahan sekolahnya memang sudah di urus oleh sang ibu, tetapi ia malas sekali jika harus mulai terbiasa dengan sekolah barunya itu.

Berbaur dengan banyak orang? Ah melelahkan

Flasback

Bayang-bayangan kembali teringat saat keluarganya dulu yang begitu harmonis. Dahulu Aziya adalah anak yang ceria dan paling beruntung. Memiliki ayah dan ibu yang menyayangi nya. Siapapun yang melihatnya pasti akan iri dengannya. Sungguh keluarga yang sangat harmonis.

Disaat umur ke 6 tahun Aziya dengan sang ayah tengah duduk, menunggu kedatangan ibu, mereka sebetulnya pergi ke taman. Tempatnya tak begitu jauh dari rumah. Ibunya belum datang sewaktu itu, ia sebelumnya berpesan untuk datang terlambat karena pekerjaannya.
Digenggamnya balon di tangan kirinya dan tak lupa es krim di tangan kanannya. Aziya yang saat itu tengah aktif-aktifnya dia berlari-larian ke sana kemari. Anak sekecil Aziya dengan umur 6 tahun pasti sangat bosan jika harus menunggu.

Tak lama dari itu, dari kejauhan dengan mata jelinya disitu Aziya kecil itu pun melihat ayunan berpasangan diseberang jalan. Ia kembali kepada sang ayah dan meminta untuk pergi ke seberang, untuk bisa menaiki ayunan tersebut. Ayahnya menolak dengan lembut. Beliau berfikir ia harus menunggu sang istrinya dahulu tetapi Aziya tetap lah Aziya, ia merengek dan bersikeras ingin menaikinya. Bahkan Aziya sudah menunjukkan muka sedihnya ini adalah jurusan untuk melunakkan hati sang ayah. Diusap lah kepala Aziya, dengan lembut serta kasih sayang sebelum ia bangkit dari kursi yang di dudukinya.

Aziya kecil pun kegirangan, tanpa sadar ia berlari ke arah seberang lebih dulu tanpa melihat sekitar. Sang ayah yang melihat dari jauh ada sebuah mobil ia terkejut bukan main, di kejarlah Aziya dan didorong lah ke arah seberang yang pasti tempat yang aman karena jika tidak ia pasti akan tertabrak.

"Eugh ... " kepalanya terasa nyeri ketika ia kembali teringat pada masa itu. Kejadian ini adalah kejadian yang sangat sulit untuk di lupakan. Jika ia melupakan ia akan menyalahkan dirinya, karena kejadian ini adalah ulahnya.

Tapi takdir memang sudah takdir kejadian itu menewaskan sang ayah dan juga membuat luka untuk sang ibu, tentu juga dengan Aziya. Tuhan memang lebih sayang dengan ayah.

Anak sekecil itu sudah harus kehilangan sang ayah, karena kecerobohan masa kecilnya. Aziya sering kali menyalahkan dirinya karena ini ia benci dengan dirinya, begitu pula dengan sang ibu yang saat mengetahui bahwa sang ayah kecelakaan ia merasa sangat sedih, kecewa, dan marah. Perasaan yang sulit di artikan, semua berkecamuk didalam kepala dan juga hati.
Suami yang begitu menyayangi nya kini telah pergi.

Karena kejadian itu ia sampai mengalami stress dan selalu saja menyalahkan Aziya. Aziya yang dulu dia hanya bisa mengatakan maaf nya terus menerus agar ibu tak menjadi-jadi. Bahkan ketika ibunya kambuh kembali dan selalu saja menyalahkan dirinya, stress nya itu membuat Aziya sering dipukul, dikurung, dan hal hal lain yang mungkin di luar batasan.

Perlahan namun pasti stress nya itu menghilang karena di bawa oleh pamannya ke rumah sakit. Ibunya itu diberi pengobatan. Pamannya, sering sekali mendengar Aziya yang dulu begitu tersiksa ia sangat tidak tega melihat nya. Anak kecil yang tak bisa berbuat apa apa saat dipukuli oleh sang ibunya. Menangis, itu lah yang hanya bisa dilakukannya.

Akibat itu sikap Aziya yang dulu nya sangat ceria, kini berbeda drastis. Terkadang ia sering merasa ketakutan tak jelas saat ibunya di rumah sakit, ia bahkan seperti tak berani bertemu dengan manusia. Ia sangat takut dan selalu dipenuhi dengan rasa bersalahnya.

Bahkan saat kepulangan ibunya dari rumah sakit badan Aziya sempat bergetar hebat, ia takut kejadian saat kecil nya terulang. Tetapi Aziya memberanikan diri untuk menatap mata sang ibu dengan dalam begitu pun sebaliknya, hingga Aziya rasa sudah tidak tahan ia berlari kabur dengan cepet ke kamar dan menguncinya.

Itu adalah awal dari sikap Aziya yang menjadi seperti sekarang ini.
Lain hal nya dengan ibunya itu ia memang benar tak pernah memukuli Aziya kembali, namun ia sering kali mengucapkan kata kata yang menyakiti hati Aziya. Menurut nya ini lebih baik, ia bisa menahannya dengan bersikap tak pedulinya itu dan rasa percaya kepada siapapun.

****

Sreekk

Digeser lah gorden yang menempel di jendela itu. Pagi ini Aziya baru saja menyelesaikan mandinya.
Karena hari ini adalah hari Sabtu dan juga hari kepindahannya.

Ini pukul 8.30 masih ada waktu beberapa jam lagi untuk ia berangkat pindahan. Saat ini ia memang belum sarapan, dan memutuskan untuk makan di perjalanan nanti. Walau pasti ia akan kena omel namun ia tak akan mempermasalahkan hal itu.

Rasa sudah cukup dengan barang barangnya, Aziya kini sedikit merasa bosan, di ambil lah buku dan juga pensilnya di atas meja. Ini adalah rutinitas Aziya dikala ia merasa bosan dan capek. Menggambar, yap Aziya tak menulis melainkan menggambar. Aziya begitu bakat dalam gambar-menggambar tetapi ia juga sangat begitu menyukai coret-mencoret di atas kertas, ia tak peduli jika akhir dari coretannya itu sangat jelek yang ia ingin kan hanya ketenangan dalam mencoretnya itu. Ini seperti obat penyembuh untuk dirinya.

Disaat-saat tengah asik dengan aktivitasnya, Aziya mendengar suara teriakan dari luar.

"ZIYA!"

Yap! sahutan itu berasal dari mulut sang ibu, Ririn Ekawati. "cepetan beberes-beresin barang kamu!" lanjutnya. Ibu nya memang seperti itu Aziya tak apa apa ini memang salah dirinya sendiri yang mengakibatkan ibu nya menjadi seperti sekarang ini.

Dirapikan buku dan alat tulisnya kedalam tas dengan rapi. Ditatapnya, dirinya dalam cermin seraya tersenyum sedetik.
"It's okay Zi ...." gumamnya kala ia masih berdiri didepan pintu.

Didorongnya pintu itu. Hanya membuka pintu namun terasa seperti keluar dari zona nyamannya, sungguh ini sangat sulit untuk Aziya, ia belum bisa merelakan untuk pergi dari kamarnya. Sudah 17 tahun ia nyaman dengan tempat ini.

****

"Lelet banget! cepet masuk mobil lo" ujar Lilian, dia adalah anak dari suami baru ibunya itu.

Aziya hanya mengangguk untuk balasan. Sudah tak asing bagi Aziya karena sejak ibunya berpacaran dengan ayahnya Lilian itu sering kali datang kerumah untuk sekedar makan malam bersama. Bagas, adalah namanya. Ia mungkin terlihat seperti ayah yang baik bagi kebanyakan orang termasuk Aziya sendiri mengakuinya. But, who knows?

Tentunya 'ayah' nya ini jika berkunjung selalu meminta kepada Lilian untuk berteman baik dengan Aziya. Lilian tetaplah Lilian dia tak suka dengan orang yang terlihat songong baginya, bukannya berteman baik justru Lilian hampir sama dengan Ririn ini pikir Aziya. Toh lagipula Aziya tidak ingin, bahkan tak mengharapkan bisa berteman dengan manusia yang seperti Lilian, sombong dan tipe manusia yang hanya melihat seseorang dari penampilannya saja.

Kadang sesekali Aziya berfikir apa mungkin Aziya ini adalah anak pungut yang ditemukan oleh ayahnya di tengah jalan? karena, dia bahkan tak ada mirip miripnya dengan Ririn. Pikiran jeleknya itu selalu saja muncul di otaknya.

.
.
.

tbc

Bersamanya [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang