"SABANA, bukan Savana."
Lelaki jangkung itu kemudian mendengkus, tak menggubris raut muka penuh rasa bersalah seseorang yang baru ia kenal. Dia juga tak memedulikan suara gelak tawa dari segala penjuru sambil menunjuk nama lengkapnya di daftar piket.
"Aku minta maaf karena salah menulis namamu. S-savana itu nama saudara--"
"Terlalu susah, ya, menutup mulut sendiri? Mau dibantu pakai gumpalan kertas biar diam?"
Ya, dirinya sama sekali tak peduli jika perkataannya menusuk ulu hati siswa tersebut. Dia hanya ingin menyendiri, mencari ketenangan, dan tidak diganggu dengan manusia-manusia yang super berisik.
Namun sepertinya, keinginannya itu benar-benar terwujud dan terlalu ... overdosis.
Bagaimana tidak overdosis jika awalnya diliburkan selama dua minggu tetapi menjadi dua tahun?!
Seakan belum puas dengan tersiksanya ia menjadi siswa pemalas yang setiap hari di atas ranjang, dirinya harus pindah ke sebuah desa terpencil?! Di tengah pandemi seperti ini?
Oh, ayolah, dirinya tak akan tahan beradaptasi dengan makhluk primitif di desa! Sudah begitu, mereka tidak tahu apa itu Corona!
Hey, yoo, welcome di ceritaku yang ke enam!<3
To be honest, aku buat prolog ini karena lg buntu buat cerita yang lain HAHA
Buat cerita baru itu lebih menggiurkan dibanding lanjutin cerita sampai tamat hiks srott
Betah-betah, ya, fren, di Sabana! ✨🌱
Jangan lupa tinggalkan jejak di setiap chapter <3
YOU ARE READING
Sabana
Teen FictionPindah ke pelosok desa di tengah pandemi dan bertemu para mahkluk primitif? Are you kidding me? ___ [Stop plagiarism, be original] 🚧