EPILOG

77 11 0
                                    

𖡼

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

𖡼.𖤣𖥧𖡼.𖤣𖥧

"Kalian akan pulang hari ini?"

Lumine menoleh ke arah Albedo saat mendengar pertanyaan tersebut, ia kemudian mengangguk. "Iya, aku hanya diperbolehkan membawa Klee kemari selama satu hari satu malam oleh Master Jean."

"Begitu, ya," balas Albedo dengan nada sedikit kecewa. "Sayang sekali. Padahal aku berharap kalian menginap satu malam lagi di sini."

Sang gadis pengembara terkekeh pelan. "Daripada begitu, bukankah lebih baik kau menyelesaikan penelitianmu, Tuan Alkemis."

"Jangan khawatir, aku akan segera menyelesaikannya," kekeh si pemuda bersurai pirang pucat.

Matahari telah terbit dari ufuk timur, menyinari puncak Dragonspine dengan cahaya keemasan yang samar. Udara pagi di pegunungan itu terasa sedikit lebih hangat dari malam kemarin, terima kasih kepada sinar hangat yang dipancarkan oleh sang surya.

Seperti yang dikatakan oleh Lumine, ia, Klee dan Paimon akan kembali ke Mondstadt pagi ini. Ketiganya saat ini tengah mengecek barang bawaan mereka, berjaga-jaga agar tidak ada yang tertinggal.

Klee melihat-lihat barang di dalam ranselnya― yang mana isinya hanyalah bom-bom berpanampilan imut, sebuah buku gambar dan sekotak krayon. Paimon melayang di sampingnya, turut membantu kegiatan  pengecekan si gadis berkuncir dua. Walau, yang keluar dari mulut si pixie kecil kebanyakan adalah teriakan histeris karena melihat benda-benda peledak yang tampak seperti sekumpulan boneka lucu.

"Dodocco ada, buku gambar ada, kotak warna juga ada. Hm! Barang Klee sudah lengkap!" seru Klee dengan suara girang.

"Baguslah kalau begitu," balas Paimon dengan senyum lebar, namun ekspresinya berubah menjadi ketakutan tatkala sang gadis kecil memakai ransel itu di pundak. "Oi, Klee! Hati-hati dengan barang-barangmu itu! Bagaimana jika meledak nanti!"

"Jangan khawatir, Paimon!" ujar si gadis mata ruby dengan senyum mata tertutup, mengacungkan ibu jarinya. "Dodocco tidak akan meledak kecuali jika Klee menarik jambulnya!"

Sang pixie kecil seketika menelan ludah dan tersenyum ketakutan, ia bergumam, "Entah mengapa, perkataanmu itu membuat Paimon semakin takut."

Klee hanya membalas perkataan itu dengan tawa imut. Kedua mata ruby-nya menatap sekitar, lalu jatuh ke sepasang muda-mudi yang tengah berbincang satu sama lain. Gadis kecil itu kemudian melangkahkan kaki, berlari ke arah mereka dengan Paimon di belakangnya.

"Kak Albedo! Kak Lumine!" panggil Klee dengan suara keras― yang spontan membuat keduanya menoleh ke arahnya.

Gadis kecil berpakaian serba merah itu memeluk kaki Albedo, yang membuatnya dihadiahi tepukan lembut di kepala oleh sang pemuda. Klee tertawa, menyukai gestur yang diberikan kakaknya. Melihat interaksi nan hangat tersebut membuat Lumine tersenyum simpul.

"Tidak ada yang tertinggal?" tanya Albedo kepada Klee dengan nada serius.

Klee menggeleng cepat. "Tidak ada, Kak Albedo!"

"Baguslah kalau begitu," balas sang alkemis dengan senyuman, pandangannya kemudian beralih ke arah Lumine. "Bagaimana denganmu, Lumine?"

Sang gadis pirang mengacungkan ibu jarinya. "Sudah lengkap, tidak ada yang tertinggal."

Netra aurum memperhatikan tubuhnya, mendapati mantel sang alkemis masih membalut raga. Ia segera membuka kerahnya, hendak mengembalikannya kepada sang pemilik. "Ah, aku hampir lupa mengembalikan--"

"Tidak apa, pakai saja," sela Albedo, bibirnya masih menoreh senyum.

"Tapi--"

"Pakai saja, Lumine," tegas sang pemuda meyakinkan. "Aku masih punya cadangan lain, kau tidak perlu khawatir."

Lumine akhirnya menghela napas, memilih untuk mengalah. Kawan alkemisnya itu memang terkadang menjadi seorang pemaksa.

"Baiklah," hela sang gadis pirang, sebelum memasang senyum manis. "Terima kasih banyak, Albedo."

Albedo mengangguk. "Sama-sama."

Setelah perbincangan kedua muda-mudi itu selesai, Paimon tiba-tiba berceletuk, "Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo kita berangkat!"

Lumine membalasnya dengan anggukan singkat. Jauh berbeda dengan Klee, gadis kecil itu menanggapi ucapan Paimon dengan raut wajah sedih dan anggukan lesu.

Sepasang mata ruby itu memandang Albedo dengan kilatan memelas. Sang pemuda yang mengetahui gestur tersebut, segera berjongkok dan merentangkan kedua tangannya. Klee yang melihat posisi demikian, segera berlari ke dalam pelukan Albedo― yang langsung dibalas pelukan oleh sang kakak.

"Aku akan merindukan Kak Albedo," lirih Klee, mata ruby miliknya berkaca-kaca.

Albedo tersenyum simpul begitu mendengar ucapan yang terlontar dari mulut sang gadis kecil. Tangannya mengelus pundak mungil itu, berusaha menenangkannya. "Aku juga Klee."

Klee melepaskan pelukannya, kedua mata kemerahannya memandang sepasang mata teal yang tampak jernih itu. "Kapan Kak Albedo akan kembali ke Mondstadt?"

Albedo menepuk topi merah milik Klee. "Mungkin aku pulang saat Windblume tahun depan. Atau saat ada suatu event di Mondstadt."

Mendengar balasan yang diberikan sang kakak membuat kedua mata ruby Klee berbinar. Sambil merekahkan senyuman, gadis itu berkata, "Kalau begitu, Klee akan menunggu kepulangan Kak Albedo saat Windblume tiba!"

"Daripada menunggu sampai Windblume, kau boleh mengunjungiku kemari seperti kemarin," ujar Albedo lembut, matanya melihat ke arah Lumine. "Bersama seseorang yang menemanimu tentunya."

Sang gadis berkuncir dua mengangguk cepat. "Baiklah, Kak Albedo! Klee akan ke sini lagi bersama Kak Lumine!"

Lumine hanya tersenyum, tidak tahu harus menanggapi dengan kalimat apa. Ia sebenarnya malas pergi ke puncak bersalju ini. Tapi, saat melihat reaksi Klee yang begitu imut membuat si pengembara menjadi tidak tega untuk menolak. Tatkala sepasang manik ruby itu menatapnya dengan pandangan penuh harap, Lumine membalasnya dengan anggukan― yang membuat Klee langsung bersorak girang.

Lumine menepuk pundak Klee. "Ayo berangkat, Klee."

"Ayo!" seru Klee sambil mengangkat kepalan tangan. Ia kemudian melambaikan telapak tangan ke arah Albedo. "Sampai jumpa, Kak Albedo!"

"Ho!" sorak Paimon dengan girang, telapak tangannya turut melambai ke arah sang alkemis. "Sampai jumpa, Albedo!"

Albedo tersenyum. "Ya. Sampai jumpa."

Dengan begitu, ketiganya pun meninggalkan kamp Albedo. Sepasang manik biru kehijauan itu menatap kepergian mereka, hingga sosok mereka hilang karena jarak dan hembusan angin bersalju. Kedua ujung bibir milik sang pemuda bersurai pirang pucat masih terangkat, senyumannya belum pudar sama sekali.

Aku akan menunggu kunjungan kalian di masa mendatang.

𖡼.𖤣𖥧𖡼.𖤣𖥧

The end.

🎉 Kamu telah selesai membaca 𝐀𝐍𝐎𝐃𝐘𝐍𝐄 || 𝙰𝚕𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖𝚒 🎉
𝐀𝐍𝐎𝐃𝐘𝐍𝐄 || 𝙰𝚕𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖𝚒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang