02. Yang Lebih Utama

71 12 0
                                    

Klee membulatkan salju di tangan lalu melemparkannya ke arah Paimon sembari berteriak, "Terima ini!"

Sang peri bersurai putih dengan lihai terbang menghindari lemparan bola salju itu― yang mana membuat Klee menggeram kesal. Sedangkan Paimon menjulurkan lidahnya sebelum menyengir penuh kemenangan. Ia kemudian terbang landai untuk mengambil beberapa gumpalan salju dan membentuknya menjadi sebuah bola.

"Lemparan payahmu tidak akan mengenaiku, Klee!" ujar Paimon dengan nada sombong sembari mengangkat bola salju di tangan. Ia kemudian melemparkan benda bulat putih itu ke arah si gadis mata rubi sambil memekik, "Terimalah pembalasanku!"

Namun, Klee bergerak lebih cepat. Dengan lihai, ia menghindari lemparan bola salju yang mengarah kepadanya. Ia kemudian menyeringai, tangannya melempar sebuah bola salju yang telah dibuatnya tanpa sepengetahuan Paimon ke arah lawannya tersebut.

Paimon yang terlambat menyadari hal tersebut, langsung jatuh terpingkal ke tanah akibat bola salju lemparan Klee. Kejadian tersebut membuat si makhluk pixie berdecak kesal lalu mengeluarkan semua kekesalannya. Di sisi lain, gadis berpakaian serba merah yang menjadi lawannya justru tertawa girang karena kemenangan singkat yang diraihnya, ditanggapinya segala protes dari si peri kecil dengan cengiran pongah.

Dan, permainan terus berlanjut. Bola salju saling dilempar, berniat jatuhkan satu sama lain dengan serangan. Kedua belah pihak tak mau mengalah. Malah, semangat mereka lebih menggebu-gebu daripada sebelumnya. Keduanya sama-sama ingin menang― ingin menjadi yang tertawa di akhir permainan.

Lumine yang melihat keduanya bermain dari kamp Albedo pun terkekeh sebelum kembali menyesap cokelat panas di genggaman. Menurunkan gelas dari bibirnya sejenak, ia menatap pantulan dirinya dalam minuman manis berwarna cokelat itu. Senyuman terulas, sebelum akhirnya meminum minuman yang masih tersisa setengah gelas tersebut hingga habis.

Setelah menghabiskan seluruh cokelat panasnya, Lumine mengeluarkan napas puas yang diiringi kepulan asap putih dari mulut. Harus ia akui, cokelat buatan teman alkemisnya itu sangat enak juga efektif untuk menghangatkan tubuh dari udara dingin di Dragonspine.

Lumine kemudian mengalihkan pandangan ke arah Albedo yang duduk di sisi lain kamp. Pemuda itu sedang membaca buku secara bergantian sambil sesekali menyesap cokelat panas yang masih mengepulkan asap tipis. Melihat guratan wajah yang tampak fokus, sang pengembara pun menjadi penasaran dengan apa yang sedang dibaca oleh si alkemis jenius.

Menuruti rasa penasarannya, Lumine memutuskan untuk berjalan mendekat ke arah Albedo. Begitu tiba di titik yang dituju, ia pun turut membaca buku yang tengah dibaca lelaki muda bersurai pirang keabu-abuan itu dari samping.

Merasakan kehadiran di sisinya, Albedo melirik― mendapati Lumine yang tengah menatap buku di genggamannya. Begitu sepasang ambar emas itu meliriknya balik, sang pemuda tersenyum. "Tertarik?"

Sang gadis mengangguk singkat, kemudian menunjuk sebuah gambar makhluk mirip bunga raksasa yang terlukis di buku itu. "Kau meneliti tentang Whoppleflower?"

Albedo berdeham. "Iya, ada beberapa hal yang masih mengganggu benakku tentang kejadian beberapa waktu lalu."

Lumine diam sejenak. Kejadian itu... tentu ia ingat. Kilas balik tentang pertarungan sengit antara dirinya, Bennet, Eula dan Amber melawan Albedo palsu― yang ternyata adalah samaran monster Whoppleflower masih terasa segar di benaknya. Untunglah Albedo yang asli muncul dan mengungkap identitas sebenarnya dari si peniru tersebut di saat-saat terakhir. Jika tidak, Lumine tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Menepis segala pikiran buruknya, Lumine memilih untuk kembali bertanya, "masih ada yang belum terjawab dari kasus itu, ya?"

"Begitulah." Albedo membalik halaman buku di genggaman untuk terakhir kali sebelum akhirnya menutupnya. "Seperti, siapa yang mendalangi kejadian itu? Aku belum tahu."

"Benarkah?" tanya Lumine memastikan.

"Tentu," jawab Albedo santai sembari meletakan buku di genggamannya ke meja terdekat. "Kau sepertinya meragukanku, Lumine."

"Apa kau berpikir aku telah mengetahui pelaku dari peristiwa itu?" lanjutnya dengan nada bertanya. Kepalanya menoleh, menatap lurus sepasang netra madu milik Lumine― yang membuat gadis itu langsung memejamkan mata untuk menghindari tatapan tajam dari kedua mata teal pemuda tersebut.

"Begitulah," balas Lumine, pandangannya beralih ke arah salah satu bukit tinggi yang berada tak jauh dari kamp. "Sejak kejadian itu, kau sering menatap bukit itu― seolah mencari sosok seseorang."

Albedo hanya berdeham panjang sebagai respon. Saat hendak melanjutkan percakapan, sebuah suara tinggi yang ceria mengintrupsi.

"Kak Lumine! Kak Albedo!"

Kedua muda-mudi itu pun menoleh ke arah sumber suara, mendapati Klee yang melambai ke arah mereka dengan senyum lebar. Albedo dan Lumine pun turut tersenyum dan melambaikan tangan, membalas lambaian dari si gadis berbaju merah.

"Ayo bermain bola salju bersama kami!" lanjut Klee sambil mengangkat bola salju di tangannya.

Lumine diam beberapa saat, keraguan sekilas terlukis di perangai rupawannya. Tentu hal tersebut tak luput dari penglihatan pemuda yang berdiri tepat di sebelahnya. Albedo dapat melihat jelas kegelisahan yang terpancar dari sepasang ambar madu itu.

Tanpa mengatakan apapun lagi, sang pemuda meraih tangan mungil itu― yang mana membuat si pemilik langsung menoleh ke arahnya dengan ekspresi bingung dan panik.

"A-Albedo?!" pekik Lumine dengan nada terkejut, wajahnya merona karena kontak fisik tiba-tiba itu.

Albedo terkekeh akan reaksi lucu yang diberikan oleh Lumine. Ah, gadis pengembara itu memang tak pernah gagal membuatnya terhibur.

"Kita turuti kemauan Klee," kata si pemuda alkemis sambil menarik pelan tangan mungil di genggaman, bibirnya merekahkan senyum. "Anggap saja ini hadiah untuknya."

Lumine memasang senyum masam. Dia mengutip ucapanku.

"Tapi, bagaimana dengan penelitianmu? Kau belum selesai membaca buku-buku itu, 'kan?" tanyanya dengan nada cemas. Pertanyaan tersebut dibalas oleh gelengan dari Albedo.

"Memang belum," balas jejaka bermata teal itu dengan diakhiri kekehan. "Lagipula, mengapa kau yang mengkhawatirkan hal ini? Aku yang harusnya mencemaskannya di sini."

"Namun, penelitian itu penting untukmu--"

"Tak sepenting senyum dari Klee," sela Albedo sebelum Lumine menyelesaikan ucapannya. Netra teal miliknya menatap seorang gadis kecil berbaju merah yang tengah tertawa ceria, sebelum kembali menatap sepasang iris madu milik sang puan. "Jadi, lupakan buku-buku itu sejenak. Kau juga harus ikut bersenang-senang, Lumine."

"Tapi--"

Albedo menempelkan jari telunjuknya pada bibir plum milik Lumine, ia berdesis. "Tidak ada tapi-tapian."

Gestur tersebut membuat kedua pipi sang puan merona, tangannya pun menepis jari sang alkemis dari bibirnya. Kontak fisik yang tiba-tiba seperti tadi entah mengapa membuat hatinya berdebar.

Lumine mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan rona merah yang telah mewarnai kedua pipi. "Baiklah," bisiknya pelan.

"Terima kasih," balas Albedo dengan torehan senyum, Lumine hanya mengangguk singkat sebagai tanggapan.

Setelah itu, mereka pun berjalan menghampiri Klee dan Paimon yang tengah sibuk bermain lempar bola salju.

Sepasang iris madu Lumine memandang telapak tangannya yang masih bertaut dengan Albedo. Helaan napas lolos dari bibirnya, ia memalingkan muka.

Apa perlu kita bergandengan tangan seperti ini, batin sang gadis sambil memejamkan mata. Ia membuka mata lalu menatap jemarinya kembali, kemudian merekahkan senyuman.

Tapi, aku tak membenci kehangatan ini.

𖡼.𖤣𖥧𖡼.𖤣𖥧

Scroll to continue

𝐀𝐍𝐎𝐃𝐘𝐍𝐄 || 𝙰𝚕𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖𝚒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang