Kehilangan

52 4 0
                                    

Senja mulai tenggelam dan berganti dengan terbitnya malam. Cahaya jingga yang semula berkobar kini mulai terkikis oleh gelapnya langit yang semakin menghitam. Gradiasi warna yang terlihat indah, seharusnya menjadi kesan menarik dan menciptakan suka cita. Tapi sore itu, bukan kabar baik yang ku dengar setelah sekian lama menunggu. Suara Ibu yang berteriak memanggil satu persatu nama anggota keluarga di rumah mulai memekikkan telinga hingga membuat kami semua terperanjat dari aktivitas semula. Kemudian buru-buru berlari menuju sumber dimana suara ibu berada.

Ternyata Ibu terduduk lemas di sebelah Bapak seraya mendekatkan telinganya tepat di atas dada bapak.

"Bapak sudah gak ada," ucap Ibu.

Kami terdiam sebentar, berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan oleh ibu. Sedetik kemudian, mataku sontak beralih memandangi tubuh yang sedang berbaring tersebut.

Bapak.

Dia masih memejamkan mata seperti 2 hari yang lalu. Meski tanpa makan sedikit pun, akan tetapi kali ini berbeda dengan kondisi sebelumnya dan hal itu cukup membuat kami sulit untuk menjelaskan bagaimana perasaan yang menggoncangkan seluruh jiwa saat melihat kondisi bapak yang kini sudah tidak lagi menghembuskan napasnya.

Benar.

Bapak telah berpulang.
Dia telah pergi meninggalkan kami setelah beberapa bulan melawan penyakit yang ia derita.

Dengan langkah gontai, aku berjalan mendekat ke tubuh kurus tersebut. Tanganku mulai mengelus rambutnya sambil berusaha menahan air mata. Tangan bapak masih terasa hangat meski tak ku rasa lagi denyut nadinya. Wajah bapak lebih bersih dari biasanya yang kerap terlihat lusuh dan kotor saat sepulang kerja dari sawah. 65 Tahun tanah liat yang diberi nyawa telah menyelesaikan takdirnya. Sudah saatnya ia kembali ke Yang Maha Kuasa. Hingga detik itu juga aku tersadar bahwa salah satu peganganku untuk berdiri memijak dunia sudah tiada.

Air mataku menetes hampir mengenai tubuh bapak sebelum akhirnya Ibu menyuruhku untuk menjauh supaya tidak berduka teramat berlebihan di depan mayat bapak. Aku pun menurutinya, aku duduk di ruang belakang sambil menangis meraung-raung dan berharap andai bapak bisa diberikan sedikit waktu untuk melihatku wisuda atau hingga aku menikah. Atau yang lebih serakahnya lagi, bisakah aku meminta banyak waktu untuk ku habiskan bersamanya?

Sekali lagi, aku telah ditampar oleh kenyataan dunia bahwa hanya diriku sendiri yang bisa memijak dunia setelah bantuan dari orang tua telah tiada.

Adzan maghrib terdengar setelah berita kematian bapak tersiar ke penjuru wilayah sekitar rumah. Banyak orang berbondong-bondong untuk melayat dan menyampaikan rasa belasungkawa. Tak sedikit juga dari mereka memberikanku petuah akan arti sabar dan ikhlas setelah apa yang terjadi semuanya.

Malam itu daratan terlihat begitu mencekam, bulan sepertinya enggan untuk memperlihatkan keindahan cahayanya dan lebih memilih bersembunyi di balik awan. Di ruangan yang dimana penuh oleh banyak orang, terdengar tangisan pelan namun menyesakkan. Segelintir perasaan antara melepaskan dan mempertahankan. Namun, apalah daya jika semua harus diikhlaskan.

"Silahkan dicium bapaknya, nak. Kain kafannya mau ditutup. Jangan sampai air matanya netes ya."

Sejak saat itu, kebahagiaanku hanya berpura-pura.

Setapak demi setapak langkahku gontai menuju pembaringan terakhir bapak, tempat dimana banyak batu nisan berjajaran. Gundukan tanah itu terlihat masih basah dengan berbagai bunga yang terhampar di atasnya. "Bapakmu, orang baik," bisik seseorang menepuk pundakku.

Teringat pesan ibu sebelum hari ini terjadi, ia selalu menguatkanku akan hal ini.

"Orang sakit, bisa jadi sembuh, bisa jadi meninggal," ucap Ibu dengan nada rendah. Aku masih ingat kala itu Bapak tak membuka mata sama sekali, tapi napasnya masih, meskipun terdengar lirih.

Unlimited HugsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang