Lelah selelah-lelahnya manusia. Fisik dan mental, penat sekali rasanya. Ingin mengeluh? Sadar diri, ada yang lebih lelah dari aku. Ingin putus asa? Bingung karena tidak mengerti sama perasaan sendiri. Kalau sudah begini, ujung-ujungnya di pinggiran kasur, matiin lampu. Nangis sejadi-jadinya, itu cara ampuh untuk menghilangkan rasa lelah. Beban pikiran sudah banyak, ditambah lagi beban pikiran orang lain yang berkecamuk di pikiranku, rasanya ingin marah. Tapi marah ke siapa? Selain diri sendiri yang selalu jadi sasaran. Lagi dan lagi harus menyakiti diri sendiri.
Persetan dengan angan!
Apa yang membuatku tidak pantas? Apakah aku tidak boleh berkeinginan? Aku ingin pergi dari masalah ini.Ini sulit, menjadi pihak yang tau segalanya namun mencoba berpura-pura.
Hubungan ibu dan kakak mulai merenggang. Mereka saling menyalahkan satu sama lain tentang desas-desus kedekatan ibu bersama pria itu. Sementara aku adalah pihak penengah yang selalu menjadi tempat mereka berkeluh kesah dan saling mencari kesalahan. Aku pun lelah berpura-pura tidak mengetahui apa yang mereka bicarakan padaku. Tiap kali ibu bertanya tentang pendapat kakak, aku hanya bungkam. Pun sebaliknya.
Aku hanyalah remaja yang terjebak oleh permasalahan orang dewasa.
Aku tidak memihak siapapun.
Aku hanya perlu sendiri dan menenangkan diri. Terlebih lagi, setelah ditolak oleh beberapa kampus idaman. Mentalku semakin berantakan. Satu-satunya alasan agar aku dapat menghindar dari perang dingin dalam keluarga ini telah lenyap. Tak ada lagi alasan untuk menjauh.
Aku akan tetap tinggal berdua dengan ibu dengan segala keegoisanku.
Ibu tetap menyiapkan sarapan pagi, mencari nafkah, dan sesekali menanyakan bagaimana hariku. Ibu sangat memperlakukanku dengan baik, namun karena adanya bisikan jahat dari kakak. Seperti, ibu cuma mau ambil hati kamu biar kamu merestui hubungan mereka. Akhirnya aku tidak terlalu menggubris ibu dan lebih condong mendiamkannya.
Jahat, bukan?
Aku bingung kepada siapa aku memihak.
Kakak juga tidak terlalu memperhatikan kami berdua. Setidaknya tanyakan, apakah kami memilik beras untuk dimakan atau semacamnya pun tidak pernah terucap dari mereka. Padahal kondisi perekonomian ibu sedang kesulitan. Ibu hanya memiliki uang sebesar 9 ribu rupiah dan tidak punya beras. Sementara aku sebagai anak yang masih belum berpenghasilan bisa apa? Selain meminjam uang pada teman tanpa sepengetahuan ibu, lalu membelikannya sekarung beras.
"Dapet uang darimana buat beli beras?"
"Aku nagih utang ke temen," jawabku berbohong.
Ibu tidak perlu tahu akan hal itu.
Sebenarnya aku mengetahui kesedihan ibu akan masalah ini yang menimbulkan dampak keretakan dalam keluarga ini. Ibu menangis hampir tiap malam. Kala itu aku pun tak begitu memperdulikan. Karena aku pikir, bukan hanya ibu yang sedih. Aku pun ikut mengalami kesedihan setelah ditinggalkan ayah, dan mungkin selanjutnya kasih sayang ibu akan berpindah haluan.
Cepat atau lambat, ibu akan mendapatkan pasangan.
Kamis malam Jumat telah tiba. Seperti biasa, Ibu mengikuti pengajian rutin di daerah rumah bersama para ibu lainnya. Kala itu aku tidak mau ikut karena malas menjawab pertanyaan orang-orang tentang langkah kehidupanku selanjutnya, apakah aku akan melanjutkan pendidikan atau bekerja saja?
Setelah menerima keputusan bahwa aku tidak dapat melanjutkan pendidikan, akhirnya aku memilih untuk mencari pekerjaan. Akan tetapi, itu bukanlah hal yang mudah untuk dicapai karena tak dapat dipungkiri kalau semakin hari semakin sulit mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan ketentuan kriteria. Alhasil, aku masih pengangguran.
Malam itu, aku berniat menuju kamar mandi dan tak sengaja melihat tumpukan baju di ruang tamu. Bukannya langsung bergegas menyelesaikan hajat, aku justru penasaran dengan tumpukan baju tersebut. Setelah ku lihat, ternyata itu merupakan baju milik mendingan Bapak. Seketika itu aku teringat dengan ucapan Ibu yang berniat ingin memberikan baju milik Bapak yang sekiranya masih bagus untuk orang-orang yang membutuhkan.
Entah karena masa berkabung ini masih berkelanjutan, namun yang pasti air mataku mendadak keluar. Perasaan sesal dan sedih bercampur aduk menjadi satu.
Aku rindu.
Aku rindu suasana rumah yang seperti dahulu, dimana penuh tawa dan bahagia di dalamnya. Aku rindu saat dimana ibu menjadi pendengar cerita keseharian anak-anaknya, saat dimana Bapak bercerita tentang pekerjaannya, dan saat dimana kakak-kakak menggodaku dengan kalimat andalan para kakak di Indonesia yaitu kamu itu anak pungut, makanya berbeda dengan kami berdua. Memang benar, jika dilihat secara teliti, hidungku tidak semancung kakak-kakakku. Hanya karena bentuk hidung yang tak sama, mereka kerap membullyku hingga aku merengek dan mengadu pada Ibu.
Kemudian dengan sabar, ibu menjadi penengah dengan berkata, "hidung kamu begini karena keturunan dari Ibu, kalo mas-mas dapet dari keturunan Bapak."
Dengan kalimat itu, aku langsung menjulurkan lidah dan mengejek mereka berdua, "aku anaknya Ibu, kalian anak Bapak."
"Tapi kulit adek hitam kayak Bapak," Mas Amir menimpali.
Seketika itu aku marah.
Mungkin ini terdengar konyol sekaligus dapat menyinggung beberapa orang, akan tetapi waktu aku masih kecil, aku tidak suka berdekatan dengan Bapak karena kulit Bapak tidak terlalu putih. Sedangkan Ibu lebih condong ke cerah daripada Bapak. Maka dari itu, tiap kali Bapak sengaja menggodaku menempelkan kulitnya pada mukaku. Aku akan segera menghambur pada Ibu sambil menggosok bekas pegangan Bapak tadi dan berharap tidak memiliki kulit seperti Bapak.
Bahkan yang lebih parah adalah aku sangat tidak suka memiliki baju warna hitam. Akan tetapi, semakin dewasa aku semakin menyukai warna hitam. Tidak peduli apa warna kulit seseorang, bagaimana bentuk hidungnya, atau bagaimana cara mereka berpenampilan. Jikalau pun ada seseorang yang menghina rupamu, berat badanmu dan cara berpakaianmu adalah orang yang kurang pintar, yang tidak mengerti konsep perbedaan. Sebab, semua memiliki keindahan dari sudut pandang yang berbeda.
Beberapa kali, aku meraung cukup keras karena dadaku terasa sesak setelah menahan tangis cukup lama. Sesekali aku mencium baju Bapak, karena aku tidak lagi dapat mencium raga Bapak.
Bapak, di banyak cerita yang ku dengar dan di banyak film yang ku tonton. Anak perempuan akan menyandarkan kepalanya pada bahu tegas milik Bapaknya, membiarkan air mata membasuhi bahu milik Bapaknya. Tapi Pak, kenapa bahumu kini terlalu jauh untuk aku bersandar?
***
Banyak manusia berbondong-bondong bersimpati tanpa menunjukkan empati. Berlomba-lomba seakan mereka bisa membuatku lebih baik lagi. Namun yang mereka lakukan hanya menyalahkan dan menghakimi. Yang bisa aku lakukan adalah memendam masalah untuk diri sendiri. Mungkin aku merupakan golongan manusia yang jika sedang terpuruk akan masalah, lebih menyukai kalimat penyemangat seperti kamu pasti bisa melewatinya, aku bersamamu daripada sederet kalimat nasihat yang terkesan seperti penuntutan yang menyalahkan diri ini.
Mereka tidak pernah tahu seberapa keras aku melewati proses demi proses dalam kehidupan ini. Aku yang sudah terbiasa mendapatkan kehidupan harmonis dan kedamaian, kemudian mendadak diberi kejutan akan pahit kenyataan. Aku yang berada dalam zona nyaman, lalu tiba-tiba melihat kejamnya dunia luar yang tidak berperasaan. Tidak, sebenarnya bukan dunia yang begitu kejam. Akan tetapi, beberapa manusianya yang kejam.
Ternyata berlari dari masalah tak akan membuatku menjadi tenang. Masalah tetap ada di belakangku. Mereka mengikutiku, kecuali aku berbalik dan siap menghadapinya.
Dan ini saatnya aku harus menghadapi masalah tanpa harus terpuruk cukup lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unlimited Hugs
عاطفية"Aku lebih suka bertaruh untuk luka yang baru atau dapat bahagia sekalian, dibanding harus membenamkan diri dalam luka dengan kisah yang pernah ada di masa lalu. Hari ini adalah perjalanan dengan isi kemungkinan apapun. Kemarin hanya cerita yang jik...