Tepat pukul 6:00 pagi, lonceng jam berbunyi, matahari beranjak naik dari peraduannya. Suara kicauan burung terdengar berirama. Aku bangun lebih awal, melihat sekeliling, teman-temanku masih tertidur pulas. Ranjang tidur kami berjejer rapi saling berdekatan seperti asrama pada umumnya. Kami semua tinggal di asrama panti dengan halaman yang begitu luas, rumput-rumputnya hijau, dengan pepohonan yang masih rindang. Tetapi, panti asuhan kami jauh dari pemukiman penduduk, tepatnya, berada di kedalaman hutan.
"Semuanya, ayo bangun!" teriakku dengan lantang. "Kalian bisa terlambat sarapan, lho."
Satu persatu teman-temanku mulai bangun, wajahnya terlihat masih menahan kantuk. Mereka beranjak dari tempat tidur, membereskannya terlebih dahulu, lalu pergi untuk sarapan. Tanggal 12 Oktober tepat hari ini, hari ulang tahun temanku, Thalia. Di hari ulang tahunnya, kami semua akan merayakan pesta bagi Thalia. Teman-temanku bahagia sekali, mereka berlarian, bermain saling kejar-kejaran. Aku masih di ruangan kamar asrama memastikan semuanya sudah bangun.
"Selamat pagi Dev, Thalia dan boneka imutmu, Si Panda," Aku menyapa mereka, tersenyum.
"Pagi juga, Arabella," Thalia tersenyum dengan wajah imutnya.
Aku sudah tiba di ruangan makan, terlihat sahabatku, Lucas dan Arka sedang mendorong wadah besar berisi makanan. Kami bertiga berusia 11 tahun, paling dewasa diantara anak-anak yang lainnya. Jadi, kami di tugaskan untuk mengatur dan menyiapkan keperluan anak-anak.
"Pagi Lucas, Arka!" Aku menyapa mereka sembari bermain-main dengan anak-anak.
"Pagi, Arabella!" jawab Lucas, tersenyum, begitupun dengan Arka.
"Kau bersemangat sekali, ya. Padahal belum sarapan," sembari mendorong wadah besar berisi makanan, Lucas dan Arka tersenyum. Aku sedang menggendong anak kecil di punggung.
"Umurmu berapa sih? Lima tahun?" tanya Arka, Dia menyeringai mengolokku sembari tertawa.
"Sama seperti kalian, 11 tahun," wajahku terlipat, sebal. Mereka memang menyebalkan, terutama Arka, meskipun wajahnya selalu terlihat datar, tetapi, dia yang selalu menjahiliku. Suara Mama terdengar di belakangku, tertawa. Aku menoleh.
"Mama ikutan juga?" wajahku semakin terlipat.
"Arabella, bisa bantu Mama?" dengan wajah tersenyum, Mama memanggilku. Aku langsung memeluknya. "Mama Aku ingin memperbaiki kepribadianku."
"Kenapa, Bella? Padahal Mama menyukai Bella yang sekarang," Mama menatapku, tersenyum.
"Apakah Aku terlihat seperti umur lima tahun?" Mama memegang wajahku, Aku menatapnya balik.
"Kamulah yang paling dewasa disini dan menganggap semuanya sebagai keluarga," Aku dan Mama saling menatap. Mama wajahnya sangat cantik, terlihat masih muda, padahal Mama sudah berumur kurang lebih 40 tahun. Dia selalu mengenakan pakaian hitam putih layaknya biarawati. "Terimakasih, Mama!" Aku tersenyum.
Mama membunyikan lonceng, pertanda waktu sarapan tiba. Semua anak-anak berkumpul di meja makan yang panjang, terdapat tiga meja panjang di tengah-tengah ruang makan. Mereka sudah duduk berjejer rapi saling berhadapan. Mama sudah berdiri dihadapan mereka, tersenyum.
"Selamat pagi, anak-anakku yang manis," Mama menyapa kami semua. Wajahnya sangat cantik, segar, mata birunya terlihat seperti berkilauan. Mama melanjutkan kalimatnya. "Mari kita bersyukur, karena 38 bersaudara bisa tinggal disini dengan bahagia," Mama memimpin pengucapan rasa syukur, kedua tangan mereka mengepal dengan kepala menunduk, khidmat.
"Selamat makan anak-anak!" ucap Mama. "Selamat makan," jawab mereka kompak. Anak-anak menyantap makanan dengan lahap. Oh, iya, Aku lupa menceritakannya, di setiap tengkuk leher kami, tertulis empat digit angka. Aku tak tahu pasti itu nomor apa, mungkin tanggal lahir kami, tapi Aku berharap ini bukan nomor apa-apa. Di sebrang meja makanku, Mama sedang menyuapi Thalia, Dia sekarang tepat berusia 12 tahun dan hari ini Dia berulang tahun. Wajahnya sangat imut menggemaskan, apalagi ketika Dia senyum.
"Kamu seperti anak bayi, Thalia," Mama tersenyum, tangannya mengelap bibir Thalia dari sisa makanan.
"Habisnya ini hari terakhirku di panti asuhan ini, kan Ma?" Thalia terlihat sedih, karena nanti malam akan ada yang menjemput untuk mengadopsinya. Mama mengangguk, lalu memeluknya.
Tepat pukul 8:00 pagi, semua anak-anak di wajibkan masuk ruangan kelas, mengikuti ujian test tulis untuk melatih kecerdasan otaknya. Setiap satu pertanyaan soal, harus di jawab dalam waktu 10 detik dengan kesulitan di atas rata-rata. Mereka semua fokus dan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Tak lama, mereka pun selesai. Kertas ujian langsung Mama bagikan.
"Baiklah, Mama bagikan hasilnya, ya" Mama berdiri dihadapan mereka. "Lucas, Arka, Arabella. Kalian bertiga hebat! Lagi-lagi mendapatkan nilai sempurna, kalian dapat full score," Mama tersenyum. Arabella bersorak paling kencang, anak-anak yang lain terkagum melihat mereka, Lucas hanya tersenyum. Arka? Jangan ditanya, Dia berlagak tidak peduli, bertopang dagu dengan wajahnya yang datar.
"Mereka bertiga memang berbeda, ya" salah satu anak berbisik kepada teman disampingnya.
Lucas Si Jenius yang memiliki otak cerdas dan pintar berstrategi, wajahnya tampan, matanya cemerlang.
Arka tak jauh berbeda dengannya, dia di juluki Si Pintar, wajahnya selalu datar seperti tidak peduli dengan sekelilingnya dan satu hal lagi yang membuatnya menyebalkan, dia keras kepala.
Arabella, dia yang mempunyai fisik luar biasa dan juga pintar sehingga bisa disandingkan dengan mereka berdua. Mereka sahabat dari kecil. Level ketiga anak itu belum pernah ada sebelumnya, Mama sangat bangga kepada mereka bertiga.
"Lucas!" teriak salah satu anak, umurnya sebaya dengannya, namanya Dev. Warna kulitnya agak hitam, perawakannya tinggi kurus. "Aku menantangmu main kejar-kejaran!" wajahnya terlihat kesal, karena Lucas selalu mendapatkan nilai yang sempurna, tetapi dia kesal hanya bercanda. Lucas menoleh, lalu tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arabella
Mystery / ThrillerBerlatar di sebuah rumah panti asuhan yang memiliki lapangan sangat luas. Disana anak-anak berkumpul dalam kebahagiaan, walaupun mereka tidak memiliki orang tua. Para anak berkumpul dan menjadi sebuah keluarga besar serta ada perawat yang mereka pa...