Chapter 01

2 0 0
                                        

➣ Feliz lectura



"Semuanya akan baik-baik saja"

Hanya itu yang Ibu katakan setelah keluar dari ruangan kepala sekolah.

Aku tahu ia lelah dari lebarnya kantung hitam yang bertengger dibawah matanya. Juga dengan helaan nafas panjang yang sudah tidak bisa lagi ku hitung hari ini.

Aku paham betul dengan beratnya hari-hari yang terlewati setelah meninggalnya Ayah hari itu. Hari-hari yang begitu berat melukai aku dan Ibu. Meskipun Ibu terlihat tegar dan berhati luas tapi aku sering memergokinya menangis sendirian dalam kamar. Kepergian Ayah memang menjadi cobaan terbesar kami.

Aku hanya mengangguki perkataan Ibu lalu mengikuti langkah Ibu menuju ruang guru sesuai instruksi dari bapak kepala sekolah.

Langkah ku berhenti di depan pintu masuk. Ku lihat di dalam Ibu sedang berbicara dengan seorang wanita berbaju kaos dan memakai celana training. Di lihat dari pakainya yang tampak beda sendiri aku mengambil kesimpulan bahwa ia adalah guru olahraga.

Aku memalingkan wajah saat merasa di perhatikan. Sebenarnya sejak keluar dari ruang kepala sekolah aku sudah mengetahui kalau seseorang telah mengikuti kami.

Sejak kecelakaan itu entah bagaimana bisa aku dapat melihat hantu. Apakah ini takdir yang sering Ayah bicarakan saat masih hidup? Pertanyaan itu berputar di otakku selama ini. Tapi kenyataan yang ku dapat aku memang peka terhadap keberadaan mereka.

Karena itu pula aku mengurung diri dari dunia luar. Aku berusaha menghindari perkataan orang lain yang pasti akan menganggap ku gila.

Bahkan di awal aku menerima keajaiban ini, Ibu melarikan ku ke psikiater saat mendapati ku berteriak marah pada udara kosong, menangis meraung-raung saat sosok yang menempati kamar ku tidak ingin pergi, aku ketakutan, sering menyendiri dan melamunkan hal tak penting.

Aku memaklumi Ibu yang saat itu menganggap ku gila. Pasti Ibu mengira aku sangat terpukul dengan kepergian Ayah, apalagi saat itu aku bersama Ayah di nafas terakhirnya.

Ku lempar tatapan ku jauh ke ujung koridor yang tampak tak berujung. Sepi, hanya itu yang ku dapat. Aku menghela nafas pelan berusaha menghentikan degup jantung yang bertalu-talu di dalam rongga dada ku.

Jujur saja sejak memasuki gerbang depan aku merasa aura negatif menguar dari sekolah yang tampak ramai oleh murid-murid yang bercanda tawa. Sekali dua kali aku juga melihat penampakan sosok di sudut sudut bangunan besar bertingkat tiga ini. Berusaha berpikir positif, aku lempar jauh-jauh pikiran buruk yang menggerogoti otak ku. Bukan tidak lazim lagi bangunan dengan mahluk penunggu, bahkan pohon mangga di depan rumah tetangga dihuni keluarga kuntilanak apalagi bangunan bak istana yang hanya di jelajahi hingga sore hari.

Sibuk dengan pikiran ku sendiri sampai tidak sadar Ibu dan Ibu guru berlesung pipit sudah berdiri di samping ku.

"Jadi ini yang namanya Aina ?!" Sapa nya berbasa-basi.

Aku menjawabnya dengan anggukan sembari tersenyum tipis. Sangat tidak sopan jika aku menatapnya datar setelah tidak bersuara menjawab basa-basi nya.

Kembali ia tersenyum tidak mempermasalahkan lebih jauh respon ku yang terkesan menutup diri. Secuil hati ku berdecak iri bagaimana bisa senyum manis itu tidak bisa luntur dari bibirnya.

Diam-diam aku memperhatikan perilaku guru muda di depan ku. Dia terlihat baik dan sopan saat berbicara dengan Ibu. Aku menyukainya, aku mencibir dalam hati mengumpati diriku sendiri yang secepat itu jatuh dalam pembawaannya yang tenang

"Perkenalkan nama Ibu, Bintang" ia mengulurkan tangannya yang langsung ku cium.

Aku kaget, begitupun dia. Aku benar benar tidak sadar saat mencium tangannya, seperti yang biasa ku lakukan pada Ibu. Aku tertawa canggung menutupi rasa malu yang melanda, pipi ku bersemu merah saat ia juga ikut tertawa.

SurreptitiousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang