Aku tidak sadar jika sedari tadi kelopak mataku tidak mengedip. Meskipun aku terlihat seperti sibuk membaca novel tetapi nyatanya diriku terasa seperti menjadi mata-mata dadakan dari balik cover novel. Manik mataku senantiasa mengikuti jejak seseorang yang perlahan akan lewat di hadapanku. Saat semakin dekat paru-paruku terasa kembang kempis tatkala indra penglihatannya menjurus ke arahku. Tentu saja mataku langsung tenggelam, bersembunyi cepat di balik cover novel. Menggigit bibir saat sosok tersebut melewati kursi yang tengah ku duduki saat ini, sambil berharap agar tak tertangkap basah tengah memperhatikannya. Saat sosok tersebut sudah lewat, barulah aku dapat bernapas dengan lega.
Ah begini? Rasanya mengagumi seseorang, apalagi sama sekali tidak mengenal namanya?
Menemukan dirinya berjalan melewatiku saat pagi hari saja sudah seperti mendapatkan keberuntungan. Tapi sebenarnya sebagian diriku juga mendadak gemas karena sudah lama aku memperhatikan tapi tidak satupun aku mendapatkan petunjuk mengenai namanya. Sudut bibirku tertarik lantas menggunakan kembali ranselku dan beranjak dari duduk dengan novel di tangan kananku.
Aku berjalan menuju kelas dengan langkah ringan. Tapi tahu tidak saat akan berbelok ternyata langkahku tak seringan itu, mendadak semuanya menjadi berat. Langkahku langsung berhenti ketika ada seseorang menjulang tinggi hampir tertabrak olehku. Rasanya bola mataku hampir keluar, pandanganku langsung naik ke atas guna melihat sosok tersebut.
“Maaf ya...”Tubuhku mematung dengan mata yang masih terpaku. Ini pertama kalinya telingaku mendengar suaranya. Dan lebih malunya lagi, bukannya menjawabnya diriku malah mendadak cegukan. Kututup mulutku lantas mengangguk dan seketika kabur dari tempat. Ini gila, aku tidak pernah sedekat ini dengan dirinya.
Arrrggh bisa gila aku memikirkan insiden tadi.
Waktu berjalan sangat cepat. Begitu dosen keluar dari kelas, tak lama aku juga keluar dari kelas menuju kantin untuk mengisi perut. Tidak ada masalah apapun setibanya aku di kantin. Aku sudah menduga, jika seseorang yang membuatku membeku pagi tadi tidak akan bisa dijumpai kecuali di pagi hari.
Biasanya begitu. Tapi hari ini berbeda, ketika manik mataku menangkap tampang yang tak asing. Apalagi arah berjalan sosok tersebut mengarah ke barisan meja yang salah satunya tengah ku duduki. Untuk kedua kalinya aku terpaku, sembari menelan susah roti yang tengah ku makan.
“Jurusan mana kak?” aku dibuat terkejut dengan diriku sendiri. Merasa di setting secara otomatis oleh dunia agar mengatakan kalimat barusan.Dan secepat itu juga telapak tanganku kugunakan untuk menutupi mulut dengan mata membelalak. Bisa-bisanya aku seperti itu, dengan suara lantang pula dan aku yakin sosok tersebut paham dengan siapa aku bicara, dilihat dari langkahnya yang mendadak berhenti lalu perlahan kepalanya menoleh ke arahku.
Jantungku melejit tentu saja, ketika Ia berjalan ke arah mejaku. Tanpa permisi Ia menduduki kursi di hadapanku. Dan aku masih mematung seperti orang bodoh.
“Arsitektur, kamu?” katanya sambil tersenyum, yang justru buat aku meleleh di tempat.
Telapak tanganku turun lantas mencoba untuk tetap tenang. Setidaknya ekspresiku harus terlihat tenang meskipun jantungku tengah pesta pora, “Ilmu Komunikasi.”
Dia mengangguk-angguk lantas bertanya lagi, “Namanya siapa?” Tanyanya.Tarik napas sejenak, bahkan angin sepoi-sepoi yang sejak tadi kurasakan saat duduk di kantin hari ini rasanya mendadak berubah jadi angin topan.
Berlebihan tidak sih? Tapi memang seperti itu yang kurasakan saat ini.
“Gerana.” Kataku kemudian mengalihkan pandangan dengan satu gigitan roti untuk mengusir gugup.
“Biasa dipanggil?”