6/7

0 1 0
                                    

“Rp. 43.000 kak.” Aku menerima uang yang disodorkan pelanggan di hadapanku, “Uangnya Rp. 50.000 ya,” sambungku sembari sibuk mengambil kembalian lantas kuberikan padanya, “Kembaliannya Rp. 7.000, terimakasih!”

Selepas itu, aku menghembuskan napas berat. Supermarket ramai sekali hari ini, banyak pelanggan berdatangan dan berhasil membuatku tidak sempat duduk bahkan untuk sebentar. Kutundukkan kepalaku sejenak berusaha menahan leherku yang sakit.

“Kai!”

Aku mendongak, mencari sumber suara. Kak Dera memanggilku dari sudut toko dengan serbet yang melambai. Berusaha tersenyum, aku pun menghampirinya, “Ada apa kak?”

“Ini tolong barangnya ditata!, kakak mau ambil stock di gudang.” Kak Dera berlalu menuju gudang begitu aku menyanggupi tugasnya. Kutata produk-produk sesuai kategori sembari sesekali melihat ke arah pintu, takut pelanggan masuk sedangkan aku tidak mengetahuinya. Kak Dera belum kembali bahkan hingga aku hampir selesai menata produk terakhir. Kembali fokus menata, pandanganku tiba-tiba mengarah pada produk yang baru saja kutaruh pada rak.

Ada yang aneh!

Aku menggeser produk tersebut agar lebih sejajar dengan yang lain. Tapi tetap saja, aku tetap merasakan keanehan. Produk tersebut kuputar agar merk produk terpampang dengan jelas, seperti yang lainnya juga. Sudutnyapun ikut kuperhitungkan.

Tidak, ini salah!

Hendak akan mengubahnya lagi, tiba-tiba aku terperanjat begitu kak Dera menepuk pundakku tanpa aba-aba.

“Udah coba datang ke teman kakak belum?” begitu katanya lantas mengambil alih produk yang tersisa dari tangan kiriku.

“Kenapa harus?” keningku berkerut dengan segala asumsi tentang apapun yang dipikirkan kak Dera saat beberapa hari lalu memberiku kartu nama, yang katanya bisa membantu menyembuhkan penyakitku.

Tapi pertanyaannya, aku sakit apa? Aku tidak merasa sakit, tubuhku sehat, tidak ada yang terluka pada tubuhku.

Kak Dera menoleh padaku, mendapatiku terdiam dengan arah pandang tertuju padanya. “Karena kamu butuh. Kamu nggak sadar? Selama ini kamu bilang, kalau kamu ngerasa ada yang ngikutin kamu waktu pulang.” Ujarnya menjawab pertanyaanku beberapa saat lalu.

Aku mengerti sekarang,”Tapi aku bilang begitu karena memang ada yang ngikutin aku kak. Apa perlu sampai harus ke psikiater? Kakak pikir aku halu?”

Kuamati ekspresinya yang seakan sedih namun bercampur emosi sekaligus gemas dengan ucapanku yang selalu menyangkal setiap kali dirinya membahas topik yang sama.

“Kamu emang halu. Kamu lupa sama kejadian kemarin? Tiba-tiba masuk dengan keadaan engap, kamu bilang ada yang ngikutin sampai ngejar kamu.” Tempo bicaranya kali ini agak ngegas.

“Tapi itu emang nyata, dia mau nyulik aku. Aku gak halu!!!” Aku dibuatnya frustasi ditengah-tengah fakta bahwa aku sendiri yang mengalaminya, dan itu benar.

“Tapi kamu tahu nggak? Kakak sama sekali gak lihat apa yang kamu lihat.” Kalimat itu penuh penekanan dengan segala emosi yang mungkin siap ditumpahkan kapan saja, “Dan ini apa? Kamu putar-putar juga gak akan ngubah apapun, tinggal taruh aja kan?!” Ujarnya lantas menaruh produk terakhir di rak. Kak Dera berlalu meninggalkanku bersama fakta yang tetap kupegang erat , bahwa yang kukatakan adalah benar dan aku tidak mengada-ada.

Tentang produk? Aku tidak ingin membahasnya lebih lanjut.

Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan, tidak ada satupun orang yang  mempercayaiku. Mereka selalu berkata ‘tidak melihat apa yang aku lihat,’ dan jujur, aku gemas ketika mendengarnya. Oleh karena itu aku berakhir dengan menghembuskan napas berat lantas berlalu ke ruang khusus staff, jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 22.00, jam  kerjaku berakhir dan aku harus mengganti seragamku dengan pakaian biasa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 22, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang