"Mau main sesuatu?" Celetukan dari gadis di sebelahku menyadarkan kami bertiga. Alisnya naik turun menunggu respon dari kami. Sudah lewat 30 menit kami hanya bertopang dagu menunggu jam pelajaran selanjutnya datang.Perlahan aku menegakkan punggungku kembali dengan tangan terlipat di depan dada, dua orang di depanku pun melakukan hal sama. Sebenarnya bukan ide yang buruk untuk bermain sesuatu di jam kosong apalagi kantuk hampir memborbardir kesadaran. Hari ini pun tidak akan seru jika dilewati dengan tidur beralaskan lengan bertumpukan meja keras. Oh tidak! aku tak mau melewatkan hari hanya dengan seperti itu. Setidaknya hanya dengan tertawa berguling-guling saja sudah cukup bagiku daripada tak ada cerita sama sekali.
Gadis dengan kerudung putih, hidung sedikit mancung dengan kulit sawo matang menjentikkan jarinya,"Truth or dare?"
Teman sebangkunya ikut menanggapi,"udah lama gak main itu, yuuk gass!"
"Tapi jangan aneh-aneh." aku menyahuti.
Jangan percaya dengan ide TOD anak-anak di sekitarku ini. Jika kau memilik truth maka akan terbongkar semua rahasiamu, jika memilih dare maka akan meloncat keluar jantungmu. Ide mereka di luar nalar untuk orang sepertiku, itu sebabnya mending memilih untuk mencari aman daripada terjun ke jurang. Yaa, begitulah sekiranya yang dapat kusimpalkan saat bermain game itu bersama mereka.
Terlampau gila.
"Enggak, gabakal aneh kok Na.tenang aja." Si pemilik usulan-Diva namanya-berujar meyakinkan. Mataku memicing, merasa curiga dengan ucapannya barusan, "tapi aku ada sedikit modifikasi tentang permainannya. Kita nanti pake permen Kis, kan dibelakang permen kis ada tulisannya, nah nanti kita bakal ngasih permen itu ke orang lain dan harus ngucapin kata yang ada di permen itu, gimana?"
"wiih wiih wiih seru nih. Kalo semisal dapet i love you-"
"Kasih aja ke Dewi." Sahutku.
"Ya gak bisa dong, kita tentuin harus dikasih ke siapa."
Ini namanya bunuh diri. Jika aku mendapat kata itu tapi sasarannya adalah seseorang yang saat ini tengah berdiri tegak di samping jendela, matilah aku.
-o0o-
Diva selalu menepati perkataannya, keesokan harinya ia membawa sebungkus permen kis berwarna ungu. Karena kelas kami memiliki sistem pergantian bangku, itu sebabnya saat ini aku dan Diva duduk di bangku paling belakang.
Di sela-sela jam pelajaran menuju ke waktu istirahat, Dyah dan Laila menghampiri bangku kami. Sengaja kami melakukannya di bangku yang kududuki karena tempat yang strategis untuk bersembunyi dari amukan guru.
Kami duduk amperan dengan formasi melingkar. Diva membuka bungkus permen dan menaruhnya di tengah-tengah kami. Tanpa memutuskan siapa yang lebih dahulu, kami satu-persatu mengambil permen itu tanpa melihat tulisan yang ada dibaliknya.
Gugup? Tentu saja.
Siapa yang tidak gugup jika aku saja tidak mengetahui kepada siapa aku akan memberikan permen ini dan ada tulisan apa di baliknya.
"Sebelum dibalik, kita tentuin mau dikasih ke siapa." Diva mengenterupsi diamnya kami lalu melanjutkan,"Laila kasih ke Akbar."
"Gampang itu mah." Laila menjentikkan jarinya memasang ekspresi bahwa itu mudah. Laila dan Akbar memang terlihat lebih akrab, mungkin lebih mudah bagi Laila untuk melakukannya.
"Dyah kasih ke Aldi."
"Kok kasih ke cowo semua." Protesku begitu mendengar nama tadi.
"Biar seru!"
"Kalau gitu Diva kasih ke Ariel."
"Loh loh." Diva bingung dengan ucapanku. Sengaja kuberi nama Ariel karena dia dan Ariel adalah korban perjodohan kelas.
"Biar seru!" ujarku sedikit mengejeknya.
"Kalo gitu Nana kasih ke Hanan."
Sudah kuduga manusia satu ini. Dari sekian banyak orang di kelas ini hanya Diva yang mengetahui rahasiaku. Aku melirik tajam manusia di sebelahku ini, dia hanya menyengir dengan alis naik turun menggodaku.
Semoga saja. Semoga aku tidak dapat kata yang membuatku malu sampai 7 turunan.
"Ayo monggo dibalik permennya." Laila berujar
Dengan perlahan aku membalik permen itu sembari harap-harap cemas. Begitu telah sempurna di balik, disaat itulah jantungku serasa tidak berada di tempatnya lagi. ini adalah kalimat yang sangat kuhindari.
"Dapet apa?" Dyah menyadarkan lamunanku, sepersekian detik dirinya langsung tertawa lepas.
"Gimana ini Ya Allah!" ucapku panik. Aku tidak merencanakan ini, jika kuberi langsung rasanya seperti menyatakan cinta ke Hanan. Kupasang raut memelas ke Diva untuk diberi keringanan.
"Harus di kasih sih kalo ini."
"Ayo dong Div yang lainnya dong, jangan dia. Masak iya aku kasih permen sambil bilang i miss you. Haduh bakal kayak apa mukaku." Aku panik bukan kepalang begitu membayangkan situasiku nanti.
"Gak bisa udah kesepakatan kan." Ujarnya tidak bisa diganggu gugat sedangkan aku sudah berkeringat dingin bahkan sebelum melakukan tantangan ini.
Diva, Laila, dan Dyah melakukan tantangan ini dengan mudah. Sekarang sisa diriku yang masih dilanda kebingungan. Pasalnya selain aku yang menaruh rasa padanya, aku dan Hanan juga tidak pernah berkomunikasi secara langsung. Aku bingung, rasanya ingin lari saja.
Kutautkan tanganku yang rasanya mulai mendingin. Kuteguk ludahku kasar seiring dengan jantungku yang bertalu keras. Disamping itu ada 3 gadis ini yang selalu memberikan dorongan untukku agar cepat menyelesaikan tantangan.
Ini tidak mudah bagiku. Barhadapan dengan orang yang kusukai, tidak pernah mengobrol pula, dan sekalinya bertegur malah aku bilang i miss you. Ini ide konyol. Tapi jika ini tidak kulakukan 3 manusia ini akan merecokiku habis-habisan, itu juga tidak bagus untuk kesehatan mental.
Oleh karena itu kuberanikan diri sekali lagi. Tidak apa-apa, hanya sebentar.
Di menit terakhir bel istirahat akan berbunyi, perlahan tapi pasti, kakiku mulai bergerak menuju ke tempatnya. Hanan sedang berdiri di sebelah meja Ari yang sibuk dengan mobile legend, tangannya memegang ujung bangku, menopang tubuhnya agar tidak jatuh.
Saat tiba tepat di belakangnya, aku mencolek punggungnya dengan satu jari.
Satu kali tidak tergubris.
Dua kali pun sama.
Hendak ku colek sekali lagi, tiba-tiba Hanan berbalik berdiri menjulang tepat di hadapanku. Kami sama-sama terkejut dan aku mematung di tempat.
Sepersekian detik tanpa aba-aba, aku langsung menyodorkan permen 'sialan' itu sembari bergumam kecil, "i miss you."
Di detik itu juga aku langsung lari ke belakang, menahan rasa malu yang menjalar pada diriku. Berbeda dengan diriku yang kalang kabut, Hanan langsung meninggalkan ruang kelas tanpa sepatah katapun beriringan dengan bel istirahat yang berbunyi.
Sejak saat itu aku tidak mau lagi bermain Truth Or Dare bersama siapapun.
_________________
Terimakasih sudah membaca
Sampai jumpa di cerita selanjutnya
•hel