Gara-gara Minyak

1 1 0
                                    

         Hari ini harga minyak goreng melambung tinggi, hal tersebut meresahkan para pedagang, terutama pedagang gorengan. Harga minyak mencapai...

     Fokus mataku tertuju pada tv yang menyala. Kuhembuskan napas berat lantas mengalihkan tubuh kembali menghadap meja makan. Aku yakin, beberapa menit kedepan pasti akan ada dumelan khas emak-emak.

     “Minyak naik, jangan buang-buang minyak, kalau niatnya coba-coba bikin, ditahan dulu sampai harganya stabil. Mila denger gak?”

     Kan, aku lagi yang kena!

     Kulirik ibuku yang mondar-mandir dengan telinga fokus pada berita pagi ini. Minyak naik, sembako naik, cabe apalagi.

     Aku bahkan ingat ketika harga cabe sedang meroket jauh sampai ke antariksa. Saat itu kami berenam sedang makan. Salah satu adikku sangat suka dengan sambal apalagi dicampur lalapan ditambah tempe yang masih hangat, sudah bisa bayangkan kan surganya seperti apa?

     Lalu, adikku tanpa berpikir panjang hendak menguasai wilayah sambal, namun saat cobek tanah liat itu baru saja terangkat beberapa cm dari meja, dia langsung menghentikan pergerakannya. Nampaknya dia menyadari cctv yang tengah mengamati pergerakannya.
Disaat itu juga, ibu dan segala dumelannya tentang harga belanjaan hari itu, kami dengarkan live di meja makan, “Kamu tahu nggak harga cabe berapa sekarang? Tadi ibu beli 5.000 aja dapet seuprit...”

      Bla, bla, bla.

      Jika kau mendengarnya sampai akhir ditambah melihat pandangan adik yang menahan gejolak untuk tidak meraup sambal di atas meja, aku yakin kau akan terpingkal melihatnya.
Kuraih pisang goreng diatas meja lalu memakannya, kembali kuamati pergerakan ibu hingga beliau pasrah dengan pekerjaan rumah dan berakhir menghempaskan diri pada kursi tepat di depan tv.

      Pagi ini tepat jam 09.30, nampaknya berita pagi itu tak menyudahi keresahan ibu, sebab beberapa menit kemudian suara lantang dari depan rumah menjurus masuk tanpa permisi.

     “Ibu...SPP-nya ditagih sama ibu guru, katanya kalau gak bayar, adek gak bisa dapet lks.” Ujarnya lalu mengintip kecil dari pintu sembari mencopot sepatunya asal, Ghani—anak nomor 3 di keluarga—kemudian berlari kecil menghampiri ibu yang tampak memijat kepalanya.

     “Assalamualaikum dulu dek! Dateng-dateng bukannya salam dulu malah langsung bawa kabar tagihan.” Kataku lantas menuju pintu rumah hendak mengambil sepatu yang terlepas begitu saja.

    “Waalaikumsalam.” Ghani membalas acuh, “gimana bu? Mau di bayar kapan?”

    “Ambilin ibu koyok dulu gih, nanti uang sppnya tunggu bapak gajian.” Ibu menunjuk laci meja tv.
Namun Ghani malah mendengus lalu berjalan mendekati meja dan mengambil koyok sembari menggerutu,

    “dari dulu bilangnya nunggu bapak gajian, tapi gak dibayar-bayar juga.”

    “Ibu masih pusing dek gara-gara minyak naik, emangnya kamu mau makan telor goreng dimasaknya pakai air?” candaku yang dibalas lirikan tajamnya. Ghani kemudian pergi menuju kamar setelah memberikan koyok kepada ibu.

    Satu masalah telah selesai.

     Namun beberapa menit kemudian muncul lagi problematika kehidupan, bak hilang satu tumbuh seribu, mungkin itu yang tengah bercokol di pikiran ibu saat ini sampai beliau tak mampu lagi menahan bebannya kepala sebab tiba-tiba beliau menjatuhkan kepalanya pada kursi yang tengah didudukinya.

     “Ibu...sepatu Wina udah jebol parah nih, kapan mau beliin? Katanya mau dibeliin!” Si anak nomor 2 bersuara dengan menenteng sepatunya yang kusam ditambah dengan keadaan sepatu yang menganga.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang