Tentang sebuah kesiapan yang membuat seorang gadis belum juga memutuskan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah.
// About Readiness //
"Morning, All," sapa Ayra saat baru saja tiba di meja makan, kemudian mendudukkan dirinya di samping Aditya.
"Pagi, Ra," jawab yang lainnya kecuali Adit, respons pria dewasa itu hanya sebatas mengusap rambut Ayra, kemudian kembali fokus pada makanannya.
"Coba tebak, penampilan aku ada yang berubah, nggak?" tanya Ayra, lalu menatap satu persatu keluarganya.
"Nggak ada tuh. Lo tetep aja kayak bocil, pendek!" jawab Al terlihat begitu santai. Dia bahkan menjawab sebelum meneliti penampilan Ayra yang memang agak sedikit berbeda dari kemarin.
Ayra mendelik pada Al, kemudian menatap Farhan dan Aina secara bergantian. "Gimana, Ma, Pa? Penampilanku ada yang beda nggak dari kemarin?" tanya Ayra seraya tersenyum lebar, sementara sebelah tangannya dengan sengaja memainkan rambutnya, tetapi detik berikutnya dia menyelipkannya di belakang telinga.
"Habis potong rambut lagi, ya?" tanya Farhan setelah menyelesaikan makanannya.
Ayra langsung saja bertepuk tangan heboh setelah mendapat pertanyaan dari Farhan. "Emang cuman Papa aja yang terbaik."
"Kamu potong rambutnya kapan? Perasaan Mama lihat kemarin masih sepunggung," tanya Aina seraya mengernyitkan dahi.
"Tadi malam, pas aku keluar sama Bang Adit. Walaupun awalnya Bang Adit nggak setuju karena katanya aku lebih cantik kalau rambutnya panjang," cerita Ayra antusias seraya melirik Adit yang diam saja sambil menikmati makanannya.
"Tapi, menurut Papa, lebih cantik lagi kalau kamu pake jilbab. Iya, kan, Ma?" tanya Farhan meminta pendapat pada Aina, sementra Aina hanya meresponsnya dengan anggukan semangat. "Coba lihat mama kamu, setelah pake jilbab cantiknya makin bertambah. Iya, kan, Bang, Kak?" Farhan kembali meminta pendapat pada kedua putranya.
"Iya. Gih, kamu pake jilbab juga. Biar makin cantik kayak Mama," ujar Adit seraya menatap wajah Ayra yang kini sudah murung karena merasa disudutkan.
"Lagian apa susahnya, sih pake jilbab, Cil? Tinggal make, okedeh," komentar Al, lalu menatap Ayra yang menatapnya dengan tajam.
"Kak Al, pikir pake jilbab semudah itu? Aku mau pake jilbab kalau udah benar-benar siap, biar nanti bisa istikamah dan nggak buka tutup lagi," bela Ayra.
Dia bukannya tidak mau berjilbab, hanya saja dia merasa belum siap dan belum percaya pada dirinya sendiri , jika kelak dia bisa istikamah. Dia tidak ingin seperti beberapa teman dan juga kenalannya yang dulunya pake jilbab, dan belum cukup setahun mereka sudah tidak menggunakan jilbab lagi. Ayra tidak ingin seperti itu.
"Ya udah, sih matanya santai aja, nggak usah melotot kayak gitu," ujar Al. Lalu beranjak dari duduknya karena memang makanannya sudah habis. "Ayo buruan, gue ada piket hari ini," lanjut Al, seraya menatap Ayra yang sudah membuang pandangannya.
"Aku mau sama Bang Adit aja. Malesin banget sama Kak Al," ujar Ayra, lalu meneguk jus jeruknya hingga tandas. "Ayo, Bang!" ajak Ayra lalu beranjak dari duduknya.
"Makanannya nggak dimakan dulu?" tanya Adit.
"Ma, kotak bekal aku di mana? Aku makannya nanti aja di sekolah bareng Bintang."
![](https://img.wattpad.com/cover/304362320-288-k274141.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
About Readiness
SpiritualSpiritual-fiksiremaja "Maaf, aku nggak bisa kayak Sayidah Fatimah yang bisa tahan dengan cinta diam-diamnya kepada Ali bin Abi Thalib. Aku juga tidak seberani Bunda Khadijah yang melamar Rasulullah lebih dulu ... yang kubisa hanya menjadi seperti Zu...