2. Saran

17 3 0
                                        

Riri dan kedua teman-nya kalau pulang Sekolah memang tidak langsung pulang ke Rumah, mereka akan menongkrong di Cafe andalan mereka. Cafe Dabesta dekat SMA Wyadatyama.

Keadaan Cafe selalu penuh jika jam pulang sekolah. Banyak siswa maupun sisiwi kesana hanya untuk sekedar mengerjakan tugas karena free wi-fi ataupun hanya untuk ngadem kaya Riri, Jiko dan Juana.

"Ji, Ju, menurut kalian berdua Raza akan berpikir apa tentang gue setelah gue kaya orang gila tadi?" Tanya Riri meminta pendapat teman-temannya.

"Najis. Gitu." Ucap Jiko tanpa bepikir panjang.

"Tega lo Ji!"

"Kata lo menurut kalian kan? Ya itu menurut gue, pendapat gue. Bebas dong pendapat gue kayak gimana? Toh kita hidup di Negara demokratis wle!"

Riri berdecak pelan lalu memukul bahu Jiko. "Ck, nggak usah dijelasin panjang lebar juga!

"Menurut gue, Raza akan berpikir lo suka sama dia atau setidaknya dia berpikir lo stalker dia. Karena apa? Karena diawal kata lo bilang oh namanya... Nah! Kelihatan bahwa lo antusias karena tahu nama dia. Sekian dan wassalam." Jelas Juana.

Riri menenggelamkan kepalanya di tumpukan kedua lengannya. Tuhkan! Memang first impression Raza ke Riri sudah sehancur dunia bila bom atum diledakan.

"Anter gue yuk ke Cibodas." Lirih Riri.

"Gue nggak akan nanya kenapa karena pasti jawabannya mau bunuh diri." Ucap Jiko sudah sangat hafal.

Juana mengangguk sambil menepuk rambut Jiko. "Sangat betul! Tingkatkan wawasan tentang teman kita yang edan itu ya."

"Ya lagian biasanya juga malu-maluin depan orang tapi nggak dibawa pusing? Kok sekarang kaya orang stres gara-gara begitu doang sih, nggak etis!" Ceramah Jiko.

"Betul." Seru Juana.

Riri memutar bola matanya jengah lalu kembali memelas. "Itu masalahnya! Yang kali ini kepikiran terus Ji, Ju! Kenapa sih moment memalukan dalam hidup tuh nggak bisa dilupain?!"

"Tanya ke maha kuasa." Jawab Jiko.

"Betul." Seru Juana.

"Yaudahlah bawa santai aja Ri." Ucap Jiko.

"Betul."

Jiko mengangkat kepalan tangannya diatas kepala Juana. "Gue getok juga pala lo kalo ngomong betul lagi. Muak gue muak mendengar ucapan betul lo Ju. Tiap hari betul mulu yang diucap."

BRAK!

Riri berdiri lalu bergacak pinggang. Dadanya kembang kempis. "Oke! Gue menemukan cara cemerlang agar menghapus pikiran-pikiran aneh gue tentang moment memalukan tadi!"

Riri menyalami lengan Jiko dan Juana bergantian lalu menghormat setelah itu merapikan bajunya.

"Do'akan teman kalian berdua untuk menghapus rasa malu ini! Gue pamit, tapi gue bukan Tulus!"

Dalam hitungan detik Riri keluar dari Cafe Dabesta dengan langkah cukup cepat. Sementara Jiko dan Juana hanya memandang kepergian Riri dengan malas.

"Gue kadang berpikir gue di kehidupan sebelumnya ngebantu Voldemort ngejahatin warga si Harry Potter makanya dosa gue dibalas dikehidupan sekarang dengan berteman sama Riri dan elo Ju." Curhat Jiko.

Juana melotot tajam. "Lah kenapa gue dibawa-bawa? Guemah adem-ayem damai sentosa."

"Sepuluh pangkat dua?" Tanya Jiko.

"Maksud lo? Ya berarti sepuluh kali sepuluh lah, jawabannya dua ribu kan?"

Jiko tersenyum lalu berdiri meletakkan uang ceban. "Kan bener gue emang sahabat Voldemort waktu zaman Hogwarts. Udah ye, ini uang minuman gue, gue duluan."

Rinjani And Universe (RAU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang