10

198 37 3
                                    

ˏˋ°•⁀➷

Burung-burung Pingai yang terbang disekitar sekolah cicitannya kadang terdengar nyaring. Kawanan burung yang masih satu jenis dengan burung Pipit tersebut terbang melintas demi bisa menjangkau gudang belakang sekolah yang sudah tak dihuni manusia. Ruangan luas tersebut hanya berisi meja dan kursi yang tak layak digunakan.

Riki mengusap rambut hitamnya, ia tidak mengerti kenapa hari ini suasana hatinya terasa hampa. Sudah dua hari Karen tidak muncul dalam jangkauan pandang matanya. Kemana cewek itu sebenarnya? Tumben tidak menggangu Riki.

Tunggu, kenapa Riki jadi memikirkan Karen?

"Ngelamunin apa cuk?" Sachio melempar botol air minuman elektrolit rasa buah Citrus pada sahabatnya. Sejak pagi Riki melamun, lebih banyak diam dan memilih melihat anime yang sudah diunduh di ponsel.

"Ini gue dikasih minuman mulu, kembung ntar," Komentar Riki. Perlahan ia memutar tutup botol yang masih rapat.

"Halah tetep diminum juga."

"Ke kelasnya Setara sama Juwana yuk," Ajak Riki mengecek ponselnya sebentar. Kelas dikabarkan jamkos semua, guru-guru sedang rapat bersama kepala sekolah.

Tidak ada penolakan dari Sachio, ia langsung berjalan mengikuti Riki. Biasanya Setara dan Juwana yang main ke kelas mereka saat istirahat, mereka paling suka bermain game, main uno dan ular tangga. Hal yang paling nyeleneh, ketika ada yang kalah main ular tangga, maka ia akan di suruh lari keliling lapangan meneriakkan nama pacar atau gebetan. Setara pernah merasakannya. Bukannya senang, Kiara malah malu setengah hidup.

Sampai di depan pintu yang tertutup, Sachio mengetuk pintu cukup keras. Semua orang yang menghuni kelas sontak diam membisu, bingung memperhatikan pintu kelas mereka. Riki tidak sabaran, ia langsung membuka pintu dan memberi salam.

"Anjir beneran ke sini? Gue kira cuma boongan." Setara berkomentar, ia baru mempersiapkan diri duduk rapi takut-takut yang mengetuk pintu barusan adalah guru yang telah selesai rapat. Riki dan Sachio langsung mendekati meja Juwana, pemuda itu ternyata tengah berbagi buku bacaan dengan Karen.

Pemandangan tersebut membuat gelenyar aneh dalam diri Riki, apa ia merasakan adanya kemunculan rasa cemburu? Entahlah.

Karen mendongak, ia duduk agak menjauh dari Juwana di rasa tatapan sekilas Riki sorotnya jadi lebih tajam. Karen menyapa dengan riang sosok jangkung di depannya, tumben Riki kesini. Di bandingkan bertanya kenapa, Karen cuma melayangkan senyumnya.

"Mabar ora cuk?" Sachio mengeluarkan ponselnya. Ia mulai mengutak-atik layar ponsel, memasukkan sandi, menggulir layar utama, lalu menekan aplikasi game online.

"Males." Juwana sigap merespon. Ia menggeser buku dari tengah meja, sepertinya Karen telah selesai membaca buku. Pemudi itu tidak punya minat membaca untuk detik ini, sebenarnya dari tadi juga yang membaca buku hanya Juwana. Karen minta dibacakan isinya.

"Ki, ajarin gue bahasa Inggris lagi dong." Setara yang meniarapkan kepala di atas meja segera menormalkan posisi. Ia bersandar pada kursi dengan nyaman, tatapannya begitu memohon pada Riki. Setara bisa saja minta bantuan Karen, tapi yang ada justru mereka akan adu argumentasi lebih dulu.

"Kenapa? Nilai bahasa Inggris lu turun lagi?" Tanya Riki. Ruay wajahnya yang santai setiap kali membahas sesuatu menjadi daya tarik tersendiri bagi Karen. Pemudi itu hampir mendaratkan fokus pada Riki setiap menitnya.

"Yaudah gampang, ntar kalau kita main ganti aja jadi sesi belajar," Balas Riki lagi. Ia merasa di perhatikan Karen selama ia mengobrol dengan Setara. Rupanya benar, sekarang kedua manik mata mereka bertabrakan. Pupil mata Karen melebar, menemukan keterkejutan.

"Why, mbak? Riki ganteng ya?"

"Excuse me, kok manggil mbak sih?"

"Mbak pacar, kan?"

Semula Karen ingin marah, panggilan barusan kurang nyaman Karen dengar. Tangan kanannya bersiap melayangkan tinjuan pada bahu Riki. Namun, kalimat yang berhasil keluar dari mulut Riki mengakibatkan serebrum Karen berhenti bekerja dalam hitungan detik. Tangan yang melayang digenggam Riki sebagai bentuk defensif si pemuda.

Karen merasa irasional di tengah manusia rasional, kedua sudut bibir Karen impulsif membentuk cekungan senyum. Kepalanya segera menunduk sebab malu, Riki terlalu menyelami kedua bola mata Karen dibarengi tatapan seteduh embun pagi.

Terdengar sorakan kecil dari sekitar mereka, Setara pura-pura muntah, Juwana menyoraki Karen dan Sachio yang menyoraki Riki. Pemuda itu ikut tersenyum malu, ucapan sederhana yang ia berikan untuk Karen berakibat fatal untuk jantungnya sendiri.

"HAA GEMES BANGET!" Karen berteriak sembari menempelkan kening di permukaan meja, tangan kanannya masih dilingkari jemari Riki. Ini pertama kalinya bagi mereka melakukan kontak lebih lama dari sekadar berpegang tangan kala Riki membantu Karen menyebrang jalan atau saat Riki melingkari bahu Karen supaya perempuan itu tak menciptakan distansi terlalu jauh.

Nana yang terus memperhatikan jadi gemas sendiri, jadi benar ya mereka sudah resmi jadian sejak lama. Tapi sejak kapan? Kenapa Karen tidak pernah bercerita.

"Hei, jangan gitu. Nanti dahinya kepentok meja gimana," Peringat Riki lagi. Sachio melihat semua perubahan Riki, sahabatnya mengalami modifikasi sikap yang sempurna lantaran Karen.

Selanjutnya, mereka berempat mengobrol santai. Setara tengah bermain ular tangga dengan Sachio, Riki mengobrol ringan bersama Juwana dan Karen mengenai buku yang barusan teman semeja itu baca. Akhir-akhir ini, Karen lebih memilih duduk bersama Juwana. Pasalnya Kiara yang meminta ganti, ia ingin duduk bersama Setara disebagian jam pelajaran. Kecuali pelajaran agama, tentu Karen dan Kiara akan satu meja kembali.

Pancaran sisi ceria Karen beranjak tinggi selagi ia bersama Riki. Karen malah tak sadar akan perubahan yang menyerangnya selama ini. Jadi, ia benar-benar jatuh pada Riki? Jadi, ia sungguhan memilih Riki sebagai seseorang untuk berbagi?

"Nanti pulang bareng lagi kan, bi?" Tanya Karen usai melirik jam di dinding belakang kelas. Waktu bergulir cepat selagi Karen menikmati waktu berdua dengan Riki.

"Oh iya dong, mbak." Riki berujar lugas lagi. Karen mengangguk senang walau respon kekasihnya kelewat sederhana.

"Pj ya, Riki. Lu telat ngasih Pj ke gue." Sachio menyenggol siku Riki hari ini, entah sudah berapa kali. Itu sebuah kebiasaan untuk Sachio, kalau Riki kesal mungkin kepala Sachio yang menjadi sasaran empuk toyorannya.

"Gak ada, ntar bangkrut. Kecuali kalau lu mau nyapu di rumah gue, baru deh gue kasih pajak jadian."

"Ogah." Kalimat Sachio menjadi penutup dialog yang mereka rangkai. Kiara yang tiduran di atas meja segera mengemasi barang-barangnya, sejak jam pelajaran kosong suasana hatinya jadi terombang-ambing. Kiara suka jamkos, tapi ia juga tidak suka membuang waktu seperti ini.

"Bye semua, ketemu besok!" Karen melambaikan tangan ke udara, sementara tangan lain yang menganggur menaut erat dengan tangan Riki. Dan itu menjadi momen manis yang baru untuk teman-teman keduanya.

ˏˋ°•⁀➷

ˏˋ°•⁀➷

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


2.37 am I'm totally sleepy 🥱😴
Click the vote button for your appreciation 🙂👍
Love you 💖💖

Deliberate ; Ni-kiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang