20

139 25 5
                                    

ˏˋ°•⁀➷

Karen jatuh sakit, badannya yang memang sudah lelah tidak sanggup menahan beban dalam batin yang berkecamuk hebat. Ibu Karen tidak bisa mengatasi ini sendirian, beliau menghubungi suaminya semalam. Ayah tidak pernah menunjukkan amarah untuk setiap kesalahan yang dilakukan oleh istrinya, tapi justru ayah yang dimarahi.

Karen tidur semalam, ia tidak mendengarkan setiap argumentasi yang keluar dari mulut kedua orang tuanya. Kepala Karen terlalu berat, sehabis makan malam dan meminum obat ia memasuki alam mimpi dengan lelap.

Sampai pagi ini, keadaan Karen cukup membaik. Ayah masih berada di sana--di rumah ibu Karen yang lebih sederhana dibandingkan rumah ayahnya. Suara burung peliharaan tetangga mulai bernyanyi nyaring, menyadarkan Karen dari tidur lelapnya.

"Ayah?" Karen menangkap ada bayangan ayahnya yang lewat di depan pintu. Ia mengeluarkan diri dari bungkusan selimut yang semalam membuat tidurnya hangat. Dengan adanya ayah, Karen merasa hatinya lebih senang dan tenang. Ia ingin kembali seperti hari-hari yang lalu. Tinggal bersama, bukan seperti sekarang ini.

"Ayah kok udah siap-siap? Di sini dulu ayah, kan Karen belum ngobrol sama ayah." Karen menahan laki-laki paruh baya itu pergi keluar dari rumah.

"Ibumu udah nyuruh ayah pulang, gak apa-apa ya Feb di sini? Nanti kalo diizinin Feb boleh main ke rumah ayah." Beliau mengelus puncak kepala Karen, satu kecupan hangat mendarat di dahi Karen. Untuk beberapa alasan, ia ingin sekali tinggal bersama ayahnya dibanding sang ibu.

Karen dan ibunya hanya perpaduan antara angin dan api, sementara ayahnya berperan sebagai air. Kalau sang air pergi, api dan angin akan selalu mengobarkan egonya masing-masing. Karen lelah beradu argumentasi dengan ibunya, jujur ia takut.

"Ayah! Ada kabar buruk, mamanya Zaki meninggal." Suara ibu menggema di seluruh ruangan. Barusan beliau membaca pesan singkat yang di kirimkan Zaki, mereka tertegun di tempat. Bahkan, Karen mematung bagai kehilangan kesadaran. Apa barusan?

"Tante meninggal? Tante?" Tanya Karen lagi. Ia tidak percaya, ia juga tidak sanggup menerima semua informasi yang diberikan ibunya. Kepalanya yang sakit sebelah terasa makin sakit. Semesta mau menyakiti Karen lebih parah ya?

Di sinilah Karen, di pusara mama Zaki. Serangkaian acara telah dilakukan, hati Karen hancur sekali melihat tubuh wanita itu terbujur kaku. Ia sempat menangis tanpa suara, bunga yang ia sebar diatas pemakaman menjadi simbol kesedihan paling mendalam. Karen sedih bukan main, tapi anehnya ia tak bisa menangis lagi.

Selama di rumah duka, Karen bergeming duduk di pojok ruangan, dengan rangkaian bunga sebagai saksi bisu di sampingnya. Rangkaian bunga itu tak pernah indah dipenilaian mata Karen. Karen melihat Zaki yang mondar-mandir menyiapkan pemakaman, ia pasti bingung dengan apa yang sedang semesta jalankan.

Raut wajah Zaki terlukis sedih, tapi pemuda itu tak mengeluarkan air mata. Tatapan matanya kosong, setiap tamu yang datang memberi ucapan duka hanya Zaki tanggapi dengan anggukan kecil, ia meminta maaf untuk mamanya pada tamu yang melayat.

Karen ingat, ketika ayah kandung Zaki meninggal. Zaki yang paling histeris saat itu, Zaki tidak suka ditinggalkan. Bahkan ketika nenek mereka meninggal, keduanya sama-sama menangis dari rumah sampai tubuh sang nenek ditimbun tanah basah. Satu minggu Zaki dan Karen baru menerima. Jika diakumulasikan semua, hancur batin Karen. Ia menyudahi pemikiran yang mengorek masa lalunya. Masa lalu akan tetap masa lalu.

Pemakaman usai, orang-orang kembali  dan Karen satu ruangan dengan Zaki. Ada papa tirinya yang datang jauh dari luar kota, beliau berusaha memberi kekuatan pada Zaki. Ayah Karen juga yang menemani Zaki ketika di pemakaman umum.

Deliberate ; Ni-kiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang