Chapter 01

1.1K 215 949
                                    

"Apakah menjadi cacat adalah sebuah kesalahan?"
~Arisca Auliani

Nada melengking bersahutan tatkala langkah pelan Arica mulai mencapai pintu kelas. Ada rasa cemas yang timbul tiba-tiba, saat menyadari seluruh siswa baik perempuan dan laki-laki menggunjingnya di belakang. Hatinya teriris, tapi berusaha abaikan semuanya. Ia kembali melangkah hingga kala langkah pertamanya masuk di kelas, semuanya langsung berubah hening. Sorotan mata tajam Rara dan kelompoknya justru makin membuatnya takut. Sebuah trauma kembali terulang, hinaan cacat sudah melekat pada dirinya sejak kecil dan kini menjadi senjata ejekan ampuh untuk merundungnya.

"Masih berani sekolah, Ris?" tanya Ara dengan nada tajam.

Arisca tanpa gentar menjawab. "Emang kenapa?"

"Mending lo cabut dari sini! Lo nggak cocok di sini!" cemooh Ara dengan nada mengejek.

Meski dihadapkan pada ejekan, Arisca memilih untuk tetap diam. Ia berharap dapat melalui situasi ini tanpa memperparahnya.

Namun, Fajar menyerangnya dengan kalimat tajam dan menohok. "Dasar cacat!"

Sontak Fajar dan teman-temannya terbahak. Suasana makin terasa tegang di dalam kelas. Meski dihina, Arisca tetap bungkam. Tak ada gunanya melawan, semuanya tetap akan berakhir sia-sia.

Tanpa aba-aba, Ara merampas minuman teman sekelasnya dan langsung melemparkan cairan berwarna itu ke arah Arisca. Baju pramuka Arisca basah, bahkan hingga menyentuh permukaan kulit yang dibalut olehnya. Ia terperangah, napasnya tercekat. Dadanya sesak, mata kecil itu memanas seolah ingin menumpahkan buliran bening saat itu juga. Namun ayal, Arisca hanya bisa menatap seluruh senyuman satir itu.

Selama tiga tahun merentang di lorong-lorong sekolah, Arisca terus terjerat dalam belenggu intimidasi, sebuah realitas yang semakin terasa sebagai tantangan sulit diatasi.

Dengan tekad yang tak kenal lelah, Arisca berusaha membersihkan baju pramukanya menggunakan kain yang dibawanya. Meski sulit, dia mencoba menciptakan ruang untuk memaafkan.

Selang beberapa detik, bel berbunyi. Seisi kelas pun duduk di kursi masing-masing. Tidak lama kemudian seorang guru laki-laki berusia 55 tahun memasuki kelas.

Arisca sangat benci ketika sang guru Bahasa Inggris, Pak Ponirin, memasuki ruangan. Bukan pada materi pelajaran, melainkan pada sosok pengajar yang seringkali menggunakan fisiknya menjadi bahan candaan.

"Pagi, Neng Nidi!" sapa Pak Ponirin ketika sudah duduk di kursi guru.

"Pagi kembali, Pak!" balas Nidi dengan senyum manisnya.

"Kamu cantik banget pagi ini," puji Pak Ponirin, dengan tulus dan lembut.

"Makasih, Pak," balasnya dengan senyum malu-malu.

Namun, tiba-tiba suasana itu terpotong oleh komentar seorang siswa. "Pak! Jangan godain Salsa, ntar pawangnya ngamuk," ucap siswa itu, menghentikan adegan dengan komentar di sela-sela.

"Mana pawangnya?" tanya Pak Ponirin, dan mereka menunjuk ke arah pacar Salsa.

Pak Ponirin menggeleng perlahan, lalu melemparkan kalimat yang membuat atmosfer semakin tegang. "Kamu nggak cocok sama dia," ucap Pak Ponirin sembari menunjuk Salsa, lalu ia menunjuk Arisca. "Kamu cocoknya sama dia."

Tawa riuh memenuhi sudut-sudut kelas yang dipenuhi murid. Kesenangan mereka kontras dengan ekspresi wajah datar Arisca, yang berusaha menahan benci dan emosinya yang meluap.

Pak Ponirin menghampiri Arisca yang hanya bergeming mendengar tawa teman sekelasnya. Pak Ponirin tersenyum lalu menjulurkan tangannya meminta maaf.

"Maaf, ya! Cuman bercanda, kok."

"Iya," balas Arisca sembari tersenyum kecut.

Memiliki fisik yang berbeda dengan kebanyakan orang membuat Arisca selalu direndahin dan diejek. Arisca terlahir dengan fisik sempurna, tidak ada sedikitpun yang fatal. Namun, di saat usianya menginjak 8 bulan, Arisca terserang virus polio yang menyebabkan tangan kanannya tidak bisa lurus dan tidak berfungsi.

Polio adalah penyakit virus yang sangat menular yang sebagian besar menyerang anak-anak di bawah usia 5 tahun. Virus polio memasuki tubuh melalui mulut, dalam air atau makanan yang telah terkontaminasi dengan bahan feses dari orang yang terinfeksi. Virus berkembang biak di usus dan diekskresikan oleh orang yang terinfeksi di feses, yang dapat menularkan virus ke yang lain.

Arisca beruntung masih bisa berjalan, walaupun dengan jinjit. Namun, kondisinya ini membuatnya sering menjadi sasaran bullying. Orang-orang sering mengejeknya dengan sebutan "si cacat".

Arisca sadar bahwa dia berbeda dari kebanyakan orang. Namun, dia tidak ingin menyerah pada keadaan. Dia bertekad untuk membuktikan kepada orang-orang bahwa dia bisa melakukan apa saja, walaupun dengan kondisinya yang berbeda.

Setelah insiden candaan yang membuat suasana agak canggung, pelajaran dimulai. Pak Ponirin mencoba membuat suasana kembali nyaman dengan memberikan penjelasan materi Bahasa Inggris dengan penuh semangat. Sementara itu, Arisca mencoba fokus pada pelajaran, meskipun masih terasa kesal dengan kejadian tadi.

Judul ini kembali seperti sebelumnya, Aku Gadis Cacat. Dan ada beberapa bagian ku hapus, jadi aku revisi ulang😭😭

Aku Gadis CacatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang