Chapter 03

388 120 494
                                    

Arisca melangkah gontai memasuki kelas. Hari ini terasa seperti kiamat baginya. Dadanya sesak, kakinya berat seperti terikat rantai. Bisikan sinis dan tawa mengejek teman-temannya menusuk hati, mengingatkan pada luka lama yang belum sembuh.

"Eh, dengar-dengar orang tua lo pisah, ya?" tanya Rosa, teman sekelasnya yang terkenal dengan mulut pedasnya. "Kasian amat, deh. Hidup lo makin hancur," lanjutnya dengan nada mengejek.

Arisca menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang berkaca-kaca. Kata-kata Rosa bagaikan pecahan kaca yang menusuk relung hati Arisca. Luka lama yang berusaha disembuhkannya kembali ternganga, perih dan berdarah. Perceraian orang tuanya bagaikan badai yang memporak-porandakan kehidupannya.

Tidak lama Ara masuk kelas dengan tas ransel kecilnya, mendekati Arisca dengan langkah anggun, bibirnya tersungging smirk. "Lo pindah ke rumah kakek lo? gue liat bokap lo bawa koper ke rumah kakek lo kemarin," lanjutnya penasaran.

"Lo nggak tau, Ra. Orang tuanya cerai," celetuk Rosa, disusul tawaan teman-temannya yang bagaikan melodi sumbang di telinga Arisca.

Amarah Arisca bagaikan lava panas yang mengalir di dalam nadinya. Matanya berkilat penuh api, dan suaranya menggelegar bagaikan petir di tengah badai. "Cukup! Kalian boleh hina aku, rendahkan aku. Tapi tidak kedua orang tuaku!" bentaknya, membuat semua orang terdiam. Baru kali ini Arisca berani melawan, menunjukkan bahwa dia bukan gadis lemah yang bisa diintimidasi.

Ara, yang tak terbiasa dilawan, tersulut emosi. "Berani banget lo sama gue!" teriaknya, menjambak rambut ikal Arisca dengan kasar. Rasa sakit menusuk kepala Arisca, dan dunia terasa berputar.

"Sakit Ra!" jerit Arisca menahan rasa sakit di kepalanya. Mendengar jeritan Arisca Ara bukannya melepaskan melainkan membenturkan kepala Arisca di meja berkali-kali.

Arisca berusaha menahan rasa sakit di kepala dan mencari rambut panjang milik Ara. Ketika ia mendapatkan segumpal rambut Ara ia menariknya hingga Ara melepaskan jambakannya.

"Anjing, lo!" teriak Ara kesakitan. Arisca berusaha lari ke luar untuk mencari bantuan. Rosa mengejarnya dan berhasil mendapat tangan Arisca.

"Tolong!" Arisca meronta-ronta. Kali ini Arisca tidak akan diam saja. Ia akan melaporkan ini semua ke pihak sekolah. Mereka di biarin makin menjadi-jadi.

Ara membantu Rosa menyeret Arisca ke sudut kelas. Arisca tak henti-hentinya menjerit minta tolong. Para siswa yang menyaksikan hanya diam mematung karena takut. Ada yang diam-diam merekam video, dan beberapa siswi berlari ke ruang BK untuk melapor. Perbuatan Rara dan teman-temannya sudah keterlaluan.

Ara dan Rosa terus merundung Arisca tanpa henti. Rambut ikal Arisca berantakan, mukanya penuh dengan liptin Ara dan Rosa, dan pakaiannya basah kuyup karena disiram air minum miliknya sendiri. Arisca meronta dan berusaha melawan, namun mereka jauh lebih kuat.

Tidak lama, dua guru BK memasuki kelas IX⁷. Semua guru tentu saja kaget melihat penampilan Arisca. "Astaga, Arisca!" Salah satu guru memeluk Arisca. Arisca langsung menangis.

Guru itu menenangkan Arisca lalu mengajaknya ke UKS. "Sudah berapa lama mereka merundung Arisca?" tanya salah satu guru lainnya bernama Debra pada beberapa siswi yang melaporkan Ara dan Rosa.

"Dari kelas VII, Bu," balas Asmara teman sebangkunya.

Suasana kelas IX⁷ mendadak tegang. Bu Debra, guru BK, tengah menginterogasi Rara dan Rosa terkait kasus perundungan yang menimpa Arisca.

"Kenapa kalian tidak melaporkan ini dari dulu?" tanya Bu Debra dengan tegas.

"Kami diancam, Bu," balas salah satu siswa dengan suara gemetar.

"Kalian takut sama ancaman kedua perempuan ini?" Bu Debra menunjuk ke arah Rosa dan Rara yang menunduk lesu.

"Yang selalu merundung Arisca, bukan mereka berdua saja, Bu," timpal Asmara, salah satu siswa yang berani angkat bicara.

"Siapa saja, sebutkan!" bentak Bu Debra.

Keheningan menyelimuti ruangan. Semua mata tertuju pada Asmara, menunggu jawabannya.

Tiba-tiba, Fajar, salah satu siswa yang dituduh merundung Arisca, masuk ke kelas dengan wajah kebingungan. "Ada apa nih?" tanyanya.

Seketika, semua murid menunjuk ke arah Fajar. "Sama Tantra Sadrika dan Fika Putri Setiawan, yang sering rundung Arisca," jawab Asmara.

"Siswa kelas IX⁹," sambung siswa lainnya.

Bu Debra, tanpa basa-basi, langsung menyeret Fajar dan beberapa siswa yang terlibat dalam kasus perundungan ke ruang kepala sekolah.

"Ada apa nih, Buk? Saya nggak tau apa-apa loh," Fajar berusaha mengelak.

Namun, Bu Debra tidak peduli. Dia ingin menyelesaikan masalah ini secepatnya dan memberikan keadilan bagi Arisca.

Sesampai di ruang UKS, Buk Siti menyuruh Arisca membersihkan diri di kamar mandi yang ada di dalam ruangan tersebut.

"Freya, tolong mintakan seragam di koperasi, bilang aja disuruh Bu Siti," ucap Bu Siti pada salah satu anggota PMR remaja.

"Baik, Buk." Siswi itu, yang bernama Freya, langsung pergi ke koperasi.

"Saya sediakan teh untuk Kak Arisca," ucap siswi lain sambil meletakkan teh hangat di atas nakas. Buk Siti tak lupa mengucapkan terima kasih.

Tak lama kemudian, Freya tiba dengan membawa seragam pramuka dan menyerahkannya kepada Arisca.

"Arisca, sudah selesai?" tanya Buk Siti.

"Sudah, Bu," balas Arisca keluar dengan tubuhnya hanya dibalut oleh handuk.

"Mau berpakaian di kamar mandi atau di sini?" tanya Buk Siti.

"Di kamar mandi saja, saya bisa kok," balas Arisca. Buk Siti memberikan seragam pramuka yang dipegangnya kepada Arisca. Arisca mengambilnya dan kembali ke kamar mandi untuk berpakaian.

Setelah mengganti pakaian, Arisca di tuntun oleh Freya menuju brankas kecil. "Di minum dulu, tehnya." Buk Siti memberi segelas teh hangat pada Arisca, Arisca langsung meminumnya dengan hati-hati.

"Kamu istirahat dulu, kalo sudah merasa tenang, kita keruangan kepala sekolah untuk menyelesaikan kasus perundungan mereka ke kamu," ucap Buk Siti.

"Sekarang aja, buk. Saya udah tenang, saya mau kasus ini cepat selesai," balas Arisca.

Aku Gadis CacatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang