Chapter 02

598 159 744
                                    

Ara menyeret langkahnya masuk ke rumah, tas sekolah dihempaskan kasar ke lantai. Bayangan jam dinding di sekolah masih menghantuinya - pukul 4 sore, jauh melebihi jadwal pulang biasanya. Sinar mentari sore menerpa wajahnya, tapi tak mampu menerangi gurat kepasrahan yang terlukis di sana.

"Kamu darimana, Tiara? Jam segini baru pulang?" Suara Sinta, mamanya, menusuk seperti belati. Nadanya tinggi, namun tak lagi mengejutkan Ara.

Ara menunduk, menghindari tatapan tajam sang mama. Bibirnya kelu, tak mampu merangkai pembelaan. Kebohongan tentang belajar kelompok sudah tak mempan lagi. "Aku ... aku dari rumah Fajar, Ma," ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.

Damar, sang papa, baru saja pulang. Lelaki tegap itu melangkah keluar dari kamar dengan aura kelelahan yang tertinggal di wajahnya. Tapi kelelahan itu lenyap seketika digantikan amarah ketika mendengar jawaban Rara.

"Dari rumah Fajar? Melonte kau disana?!" tanyanya, suaranya menggema di ruangan luas itu. Hatinya tentu saja sakit mendengar ucapan sang ayah. "Kau juga, nggak becus jadi ibu!" lanjutnya memarahi istrinya.

Sinta tersentak, "Mas, mengurus anak bukan hanya tugas istri. Suami juga punya andil!"

Damar mendengus, "Apa yang kau bicarakan? Aku kerja keras untuk kalian! Apa yang dia minta, ku turuti semua!" Matanya tajam menatap Sinta, "Seharusnya kau sebagai ibu di rumah, bukannya mengejar karir! Ini akibatnya!"

Tak ingin perdebatan berlanjut, Damar berlalu ke kamarnya, membanting pintu dengan suara keras. Keheningan mencekam kembali menyelimuti rumah itu, terasa lebih menyesakkan dari biasanya.

Araa terbiasa dengan pertengkaran orang tuanya. Hampir setiap hari, mereka selalu beradu argumen tentang pekerjaan, uang, dan masa depannya. Hal ini membuatnya merasa tertekan dan tidak betah di rumah.

Di sudut ruangan, Sinta terisak pelan, air mata membasahi pipinya. Pertengkaran ini bukan yang pertama kali terjadi, tapi rasa sakitnya tak pernah pudar.

Rara mencengkeram erat sprei kasurnya, berusaha menahan tangis yang mengancam akan tumpah. Ia merasa terkungkung dalam situasi yang tak berujung. Di satu sisi, ia merindukan kasih sayang dan perhatian orang tuanya. Di sisi lain, ia muak dengan pertengkaran yang tak henti-hentinya.

•••••

"Ya ampun, ni anak! Arisca bangun, cepet! Kemasin pakaianmu, kita ke rumah nenek sekarang!" ucap ibunya sembari mengguncang tubuh Arisca di tempat tidur.

Arisca membuka matanya dengan bingung. "Ke rumah nenek? Ngapain?" tanyanya, meski kesadarannya masih belum sepenuhnya pulih.

"Pindah! Sekarang kita tinggal di sana! Cepet bangun dan kemasin barang-barangmu!" balas Riani dengan nada yang masih terburu-buru.

"Kenapa?" tanya Arisca penasaran. Mereka sudah tinggal di rumah ini selama belasan tahun. Namun, Riani, ibunya Arisca, tidak menjawabnya.

Mendengar kalimat tersebut, Arisca bangkit dari tempat tidur. Lantas, pakaian yang ada di lemari segera dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam tas besar yang diambilnya dari lemari.

Tiba-tiba, Bimo Pratama—ayah Arisca—muncul dari pintu seakan baru pulang dari kerja. "Mau ke mana, Kak?" Bimo bertanya tanpa basa-basi, terkejut melihat Arisca memasukkan pakaiannya ke dalam tas besar.

Alis Arisca bertaut menjadi satu. Matanya menatap heran. Akalnya memutar, ada keheranan yang tersirat dalam apa yang telah terjadi. Bukankah ayahnya seharusnya tahu?

"Anak-anak ikut aku!" Riani yang keluar dari kamarnya langsung berkata demikian. Sekilas Arisca mengerti apa yang tengah terjadi.

"Nggak! Anak-anak ikut aku!" teriak Bimo tak kalah keras, meski lelah mungkin tertumpuk pada dirinya. Namun, sepertinya, Riani tidak menyerah begitu saja.

"Aku ibunya! Berarti aku lebih berhak!" Arisca hanya terdiam, menatap silih berganti kedua teriakan yang saling berganti satu sama lain. Dia tidak berani menyela, meski ada rasa yang masih menyelinap.

"J-jangan-jangan ... kalian?" tanya Arisca gemetaran, seraya menahan rasa gugupnya.

"Ayah dan ibumu mau pisah. Ayah sudah nggak tahan dengan sifat egois ibumu," jawab Bimo langsung pada intinya. Arisca terkejut mendengar keputusan ayahnya.

"Apa? Egois?!" seru Riani dengan suara penuh keberatan, berteriak seolah melawan badai. Suaranya begitu deras, membuat Arisca terpaksa menutup telinganya, meskipun hanya sebelah.

"Aku? Egois? Aku bantu kamu nyari nafkah juga, tapi kamu malah selingkuh di sana. Pantas aja ngasih uang bulanan cuma sejuta. Emang cukup segitu untuk makan, uang jajan anak, bayar motor, utang kamu, dan lainnya. Dan kamu beneran nggak tahu diuntung karena sudah nyelingkuhin aku. Aku udah nggak sanggup! Mending udahan aja!" lanjut Riani dengan nada penuh keputusasaan dan penegasan.

Pada kalimat itu, mata Arisca sudah berkaca. Butir-butir air mata jatuh menuruni pipinya, membasahi permukaan wajahnya. Arisca langsung menutup pintu kamarnya dan menempelkan telinga pada bantal sampai suara itu tidak terdengar lagi.

"Sudah tiga kali aku mendengar ayah selingkuh," gumamnya lirih, sembari air mata masih mengalir.

"Arisca! Arisca!" panggil Riani diiringi gedoran pada pintu. "Yuk pergi!" ucapnya, yang membuat Arisca langsung mengambil tas sekolah dan tas besar, lalu membuka pintu kamar.

"Kakak ikut Ayah!" ucap Bimo saat Arisca ingin berangkat bersama ibunya. Namun, dia menggeleng, dilanjutkan dengan kalimat yang sekali lagi terlayang. "Kakak harus ikut Ayah!" Arisca lantas menggeleng, lalu menjawab.

"Nggak mau, Yah." Arisca berlari kecil menghampiri ibunya yang sudah menunggu di becak.

Arisca sangat kecewa dengan ayahnya. Mengapa ayahnya mengulangi lagi? Ketika ketahuan selingkuh untuk kedua kalinya, Ryan berjanji pada istri dan anaknya, tidak akan mengulangi lagi. Mengapa ia mengulangi lagi?

---

Aku Gadis CacatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang