01

23.6K 543 21
                                    

~~***~~


Aku memberikan akses itu padanya--akses keluar-masuk. Dia memberiku banyak hal sebagai imbalan dari akses yang aku berikan untuknya, salah satunya adala kenikmatan dan kegilaan.

Kegilaan-kegilaan itu bergelut pada kewarasanku, sayangnya kewarasanku tidak cukup kuat untuk menolak, ia memiliki pesona yang membuat aku jatuh dan terjerat. Aku menginginkan dirinya--ingin disentuhnya. Segila itu memang diriku.

Membuatnya menanggalkan seluruh kancing kemeja yang tersisa. Bukan hanya itu saja, sebenarnya, aku justru membiarkannya menanggalkan rok hitam yang aku pakai. Membiarkan ia memberi sentuhan-sentuhan pada kulit paha yang sensitif, sampai menjalar ke pangkal-pangkalnya, lebih ke tengah. Mengelus bagian paling sensitif ditubuhku. Jarinya menawarkan kenikmatan luar biasa. Surga dan neraka yang melebur menjadi satu.

"Akh, J--Jeon," aku menjerit tertahan saat sesuatu mencoba mengacakku di bawah sana. Tiga batang jari yang membuat hancur. Rasanya perih dan sedikit aneh.

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, yang aku tahu aku menganga menahan sensasi membuncah yang menghantam raga. Membiarkannya bergelut pada daksaku. Meninggalkan sesuatu yang memerah, seperti lukisan bunga abstrak yang memenuhi kanvasnya.

"Jangan diketatkatkan seperti itu. Rileks dan nikmatilah!" Ia sengaja berbisik seduktif sambil mengacakku. Seluruh tubuhku meremang saat hembusan napas hangat itu menerpa di kulit leher. Sesuatu yang basah menyentuh daun telingaku. Kepalaku rasanya seketika menjadi pening. Namun, aku mengangguk atas ucapannya.

Tidak ada pikiran lain yang mengisi ruang kepalaku. Yang ada hanya aku ingin menikmati nikmat indahnya dihancurkan oleh lelaki tampan ini. Aku akan mengenang malam ini sebagai malam paling indah, hanya saja setelahnya esok dan seterusnya aku akan bersikap seolah tak pernah melakukan hal gila ini denganya. Setidaknya sampai aku tahu siapa dirinya.

"Berdirilah sebentar, Noona!" Agak aneh rasanya mendengar dirinya memanggilku dengan sebutan itu. Aku merasa seperti diriku sedang bercinta pada adikku sendiri.

Aku berdiri. Sesuai instruksi. Mengangkat kaki kananku untuk berpijak di tepi sofa. Membuat dirinya bisa melihat sesuatu yang indah di bawah sana dengan leluasa.

Aku merunduk untuk menjangkau kerah kemeja putihnya yang masih bertahan, menariknya sedikit agar wajah kami lebih dekat. "Jangan panggil aku dengan sebutan itu saat kita melakukannya. Aku serasa seperti sedang melakukannya dengan adikku sendiri jika kau memanggilku seperti itu lagi. Mengerti?"

"As you wish, Love," jawabnya.

Setelahnya kakiku yang bertengger di tepian sofa ia naikkan hingga telapak kakiku mendarat di bahu sofa yang tak begitu tinggi. Ia sedikit melororltkan tubuh bersender di bahu sofa, menarik pinggangku sampai lutut kakiku yang satunya harus bersentuhan di sofa, agar tubuhku tak menjadi limbung, di sebelah tubuhnya. Dan sekarang tubuhnya berada di antara kedua kakiku. Maksudku bukan tubuhnya, tapi wajahnya.

Lidah yang basah itu mendarat di labia, bergerak menggelitik sesuatu yang terasa begitu sensitif di dekat sana. Rasanya gila. Hangat dan nikmat. Dan itu terjadi sampai akhirnya aku menumpahkan sesuatu yang ingin aku tumpahkan. Ia menyesapnya tanpa rasa jijik. Aku senang karena aku merasa begitu dipuja.

Berikutnya adalah aku yang mendudukkan diriku di pangkuannya. Bantalan dudukku mendarat sempurna di pangkal pahanya, menghimpit sesuatu yang sesak di balik kain hingga ia sempat mengerang.

"Tidak adil jika pakaianmu masih utuh seperti ini." Aku membuka kancing vest hitamnya, kemudian beralih pada kancing kemejanya, hingga kain-kain sialan itu terlepas dari daksanya yang indah. Aku sampai menelan ludah saat menemukan otot perutnya tercetak dengan begitu jelas, terlihat membentuk delapan kotak yang aku yakini bentuk tubuhnya adalah impian seluruh laki-laki dan idaman seluruh wanita. Aku melihatnya tanpa berkedip, bahkan sampai ia menurunkan celana sebatas lututnya.

"Kenapa melihatku seperti itu? Tak ingin menyentuhnya?" Tanyanya yang sarkas.

Aku menggeleng.

"Duduk di sini? Seperti tadi, Kau mau?" Tawarnya.

Iya. Aku duduk kembali di pangkal pahanya yang sudah tidak lagi berlapiskan helai kain. Merasakan intimku bersentuhan dengannya, aku menggerakkan tubuhku layaknya seorang penari erotis. Membuat dua hal di bawah sana saling bergesek dan menimbulkan bunyi khas basah dari lubrikasi.

Sama-sama mengais nikmat.

Setelahnya adalah ia yang mengarahkan tangannya untuk menyelip di antara dua intim yang bersentuhan. Ia menggenggam miliknya yang besar, mengurutnya sedikit. Aku bisa melihat itu sangat menggoda. Besar dan perkasa. Akan nikmat jika itu berada dan membenam utuh di dalam milikku.

"Aku ingin akses itu sekarang," ucapnya yang mengarahkan miliknya untuk menemukan landasan pacu di tubuh bawahku. Mengangkat sedikit tubuhku. Aku memberikannya akses itu.

Tidak mudah untuknya bisa menembus begitu saja di milikku, karena miliknya memiliki ukuran yang luar biasa, dan milikku yang sempit terawat.

Aku sampai memeluk tubuhnya erat saat ia mencoba melesakkan milikknya.

Posisi tu membuatku menjadi lebih tinggi, aku memeluk erat dengan kepalaku yang aku daratkan di ceruk lehernya.

Damn, seketika aku merasakan seperti dunia berhenti berputar, detik waktu berhenti berjalan, dan jantungku yang berhenti memompa. Apa aku tidak salah melihat? Tanda berupa tattoo bergambar mawar di tengkuknya. Tanda itu hanya dimiliki oleh beberapa orang yang bersaing dengan kelompokku. Dia adalah musuh.

Aku tidak tahu aku harus merasa diriku sial atau justru beruntung. Aku membiarkan musuh menikmati tubuhku, tapi aku akan mendapatkan akses besar untuk mengalahkan mereka setelahnya.

Egoku kuat, aku tidak pernah ingin kalah pada lawan dalam hal apa pun. Maka berikutnya aku menjadikan diriku dominan untuk menguasai dalam permainan hangat itu. Ellena Kim tidak boleh kalah pada musuh. Itu yang selalu menjadi pedomanku.

Menjadikan diriku dominan membuat laki-laki di bawahku menjadi setengah gila untuk mengimbangi hasratku dalam mengais euforia ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menjadikan diriku dominan membuat laki-laki di bawahku menjadi setengah gila untuk mengimbangi hasratku dalam mengais euforia ini. Sampai puncaknya. Sampai aku menang.

Terengah-engah mengumpulkan dan meraup oksigen demi mengisi paru. Aku menarik diri dari laki-laki muda ini. "Mana kunci akses rumahmu? Aku sudah memberimu akses keluar-masuk yang kau inginkan bukan?"

Menarik celananya yang masih bertahan di ujung kaki, ia mengancingkannya dengan seringai puas pada wajah bayinya itu. "Akan aku berikan. Tapi beri tahu aku satu hal, Bagaimana rasanya bercinta denganku?"

Sebenarnya aku jijik untuk mendengar kata 'bagaimana' yang yang keluar dari birainya yang menggoda. Namun, aku tetap menunjukkan wajah seolah aku menyukainya.

"Tidak buruk," jawabku, "tapi jangan sebut itu tadi 'bercinta' karena aku tidak cinta padamu," lanjutku lagi seraya memungut kemejaku yang tercecer di lantai yang dingin.

Ia menyeringai lagi. "Iya. Itu hanya having sex. Dan kau menikmatinya. Tapi, Bagaimana jika nanti aku membuatmu cinta padaku, dan kita melakukannya lagi?"

Tidak. Tidak akan pernah ada landasan cinta untuk lawan.

"Aku tidak yakin. Namun, bukan ide yang buruk untuk bisa melakukannya lagi," jawabku.
[]

LOVE
AMEERA LIMZ

Bagaimana? Apa yang kalian rasakan?

HOW? [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang