1. a

1.1K 206 39
                                    

Suasana kelas mulai lengang, para siswa lebih memilih keluar dari kelas yang terasa sesak karena kepala yang cenat cenut setelah menerima nilai ulangan.

Dari sekian siswa, hanya seorang gadis yang masih bertahan tak berniat untuk pulang. Rasanya ingin menginap di sekolah saja.

"Kalau begitu, aku nikah saja!"

Gadis berponi dengan rambut kepang dia itu meletakkan kepalanya dengan pasrah di atas meja. Dia sudah menduga hal ini, tapi tak sebanyak ini. Bagaimana bisa hampir di semua mata pelajaran dia tidak tuntas, nilai UH yang dibagikan wali kelas sungguh sangat membuat dia parah hati. Semua kertas UH itu, diberikan secara serentak hari ini melalu wali kelas. Biasanya hanya guru mata pelajaran yang memberi langsung, tapi kali ini istimewa.

"Nikah? Kamu bisa apa kalau nikah? Suamimu bisa gantung diri jika punya istri sepertimu." Gadis berambut pendek di sampingnya tertawa geli. Dia sebenarnya sudah ingin pulang, tapi masih ditahan sama gadis manis di sampingnya.

"Setidaknya dengan nikah, aku tak perlu belajar, tak perlu membuat PR. Aku bisa digorok ibuku. Ah, nilaiku ... Kenapa lebih hancur dari apa yang aku pikirkan."

"Tapi dengan nikah, kau tak akan lagi bisa malas-malasan, tak lagi bisa keluyuran." Temannya menyahut.

"Tapi aku tak perlu membuat PR yang bisa membuat otakku pecah."

"Ya, terserah padamu, capek ngomong sama kamu. Aku duluan, ya. Keknya Mama aku udah jemput."

"Tunggu-tunggu! Berikan saran, nikah atau sekolah?" Jeslin menahan lengan temannya.

"Menikah sambil sekolah saja!" sahut Vivin asal. Dia melangkah meninggalkan Jeslin keluar kelas, akan tetapi anak itu malah semangat mengikutinya dari belakang.

"Apa ada, menikah sambil sekolah? Maksudku, aku tetap sekolah, tapi PR-ku dikerjakan suamiku."

Vivin memutar matanya.

"Kalau begitu, menikah saja dengan Bapak kepala sekolah!"

"Aku serius," tambah Jeslin.

"Aku seribu rius, sudah ah! Pulang!"

Vivin kabur. Meninggalkan Jeslin yang frustasi.

Dia melangkah tak semangat, bahkan setelah berpapasan beberapa kali dengan temannya, Jeslin tak memberikan senyum pada mereka. Dia harus mempersiapkan diri untuk diberi ceramah oleh ibunya.

***
"Apa ini? Matematika 58, Kimia 55, Biologi 52, dan ... Jeslin! Apa saja kerjamu di sekolah. Kenapa nilaimu begini!" Ibunya memberi tatapan tajam setajam silet. Jeslin yakin, ibunya tak sanggup meneruskan melihat jejeran nilainya selanjutnya. Tidak Tuntas, tidak tuntas. Tak terhitung kalimat itu tertulis di sana.

"Uang sekolah kamu mahal, dan kamu hanya ngasih nilai begini? Ya ampun, Jes." Ibunya membarut wajah.

"Bu, maafin Jeslin. Jeslin sudah berusaha."

"Usaha apa? Selama Minggu UH, kamu kerjanya tidur sama makan."

Jeslin tak mengelak lagi. Apa yang dikatakan Ibunya benar.

"Kalau begitu, aku berhenti sekolah saja, aku mau nikah!" jerit Jeslin yang sukses membuat kepalanya jadi sasaran pukulan kertas UH yang ada di tangan ibunya.

***

200 vote ya

Istriku Bocah TengilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang