"Van! Vano!"
Vano yang mendengar itu mencoba membuka matanya yang terasa berat. Dia ingat bahwa dia sedang tidur di apartemennya dan tidak ada orang lain selain dirinya saat itu. Lalu siapa orang yang memanggilnya.
Mata cokelat itu menatap seorang cowok di depannya yang sudah memakai jaket hoodie biru, kaos putih, dan celana jins. Dia sedang duduk di sisi ranjang miliknya, mencoba menyadarkan Vano yang masih mengumpulkan nyawa.
"Oii Van!! Bangun hey! Udah jam 8 pagi masih aja betah di kasur!"
Vano mengerjapkan matanya beberapa kali, memerhatikan orang di hadapannya saat ini. Steven.
"Kok lo bisa masuk?" tanya Vano.
"Gue kan punya duplikat kunci apartemen lo. Sekarang gue mau minta lo temenin gue beli sepatu basket di tempat biasa," pinta Steven.
"Bukannya bulan ini lo udah beli 3 kali?" ujar Vano sambil mencoba mengingatnya.
"4 kali, berarti ini yang kelima," ralat Steven. Entah apa yang dilakukannya sampai harus membeli sepatu lagi. Tempo hari dia pernah memakai sepatunya untuk mendaki gunung dan alasnya pun jebol, menghilang diambil orang, sampai ketinggalan di lapangan saat mereka tanding.
"Oh." Vano kembali menarik selimutnya. Menutup badannya dan hanya menyisakan kepalanya. Dia masih merasa ngantuk.
Steven langsung berinisiatif menarik tangan Vano sampai temannya itu terduduk. "Ayo Van, temenin gue!"
"Ajak pacar lo aja napa?" protes Vano.
"5 pacar gue pada sibuk, jadi gak bisa ikut. Makanya gue minta ke lo."
"Gue juga sibuk mau tidur," ucap Vano tidak peduli. Ia berbaring kembali di ranjangnya.
"Gak, cepet bangun Van, mau yang lo ke kamar mandi atau kamar mandi yang datengin lo?" tanya Steven.
"Hah?"
"Mau lo yang ke kamar mandi atau gue yang bawa ember ke sini buat banjur wajah ngantuk lo?"
Vano menatap Steven sejenak. Seakan berpikir keputusan apa yang harus diambil olehnya. 3 detik setelahnya Vano malah menutup matanya lagi. Memilih untuk melanjutkan tidurnya.
"Aishh anak ini ...." gerutu Steven melihat temannya itu.
***
"Udah?" tanya Vano kepada temannya yang sedang tersenyum melihat sepatu barunya.
"Udah, gue suka keluaran yang terbaru ini, ori lagi," jawab Steven sambil memasukkan kardus sepatu di ransel yang ia bawa. Kemudian menghampiri Vano yang sudah menunggunya sejak tadi.
"Percuma beli ori kalau nanti hilang lagi," kata Vano sambil berjalan keluar dari toko. Steven hanya tertawa mendengarnya, lalu mengejarnya yang sudah berjalan di lorong Mall terlebih dahulu.
"Oke, sekarang gue mau traktir lo. Hitung-hitung udah rela nemenin gue. Sok, lo pilih mau makan di mana."
"Di apart," ucap Vano singkat.
"Di Mall ini gak ada restoran yang namanya Apart, Van."
"Apartemen gue, Steven," jelas Vano. Steven hanya tertawa, sepertinya menjahili Vano sudah menjadi hobinya.
"Gakk, harus di sini! Mumpung gue lagi baik hati, dermawan, dan suka menabung."
"Hmm." Vano malas menanggapi orang di sampingnya itu. Ia merendahkan ujung topi yang ia kenakan untuk menutupi wajahnya.
Mereka pun berjalan menuju eskalator untuk naik ke lantai yang lebih tinggi. Ke tempat food court Mall itu berada. Vano memandang suasana Mall itu yang kini tidak terlalu padat namun bisa dibilang ramai.
Setelah dari eskalator, mereka mulai berjalan mencari restoran yang mereka inginkan. Mata Vano masih mengamati sisi kanan dan kirinya sampai dia terpaku pada apa yang dia lihat saat ini. Tidak berada jauh di depannya dia melihat 2 orang yang tentunya ia kenal. Teman sebangkunya, Alitha, sedang bersama si famous satu sekolah, Abian. Mereka sedang duduk bersama di salah satu restoran yang memiliki tempat duduk di luar.
"Van, itu bukannya si Alitha ya? Kok dia sama si Abian?" tanya Steven. Vano hanya diam menatap mereka dari jauh. Kemudian berbalik arah menjauhi mereka. Steven bingung dengan tingkah Vano yang tiba-tiba berubah. Dia pun mengejarnya dari belakang.
"Woi, Van! Lo kenapa?"
"Gak apa-apa."
"Lo gak mau ketemu Alitha gara-gara ada Abian? Kenapa gak lo panggil aja terus suruh menjauh dari Abian kalau lo gak suka?"
Vano menghentikan langkahnya. Dia menatap Steven sebentar. "Gue bukan siapa-siapanya dan gue gak punya alasan buat ngehalangin dia dari siapapun."
"Ya tapi kenapa lo ngejauh? Kan kita tinggal lewat aja," tanya Steven.
Vano menghela napas. Entah kenapa ia refleks saja langsung menghindar padahal ia bisa tinggal lewat saja. Namun Vano tetap tidak ingin mendekati orang yang bernama Abian itu.
"Lo masih dendam sama Abian gara-gara waktu itu?" tanya Steven tiba-tiba. Pertanyaan tadi membuat ingatan sekilas tentang kejadian dulu terulang kembali. Vano pun menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.
"Hmm." Vano mengiyakan pertanyaan Steven. "Gue mau balik."
Kali ini Steven tidak bisa memaksa Vano lagi. Mood temannya itu sedang tidak baik-baik saja, dia tahu itu. Mau tidak mau Steven mengikuti apa yang diinginkan Vano. Dia masih bersyukur Vano saat ini masih bisa mengontrol emosinya.
"Oke, kita balik aja."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain After You
Jugendliteratur"Lo aneh, tapi nyata." Ucap Vano sambil menyentil kening Alitha. Membuat cewek dihadapannya sedikit meringis. Tapi dalam pikiran Alitha yang aneh adalah teman-temannya, bukan dirinya. ... Pertama, Vano Aditya Pramudya yang hobinya menjauh dari kera...