Chapter 4

108 21 133
                                    

Bisa mengenalmu adalah hal yang paling kusyukuri.
Dan mencintaimu adalah anugrah terindah yang pernah aku rasakan.

// About Readiness //

Mendengarkan musik sembari mencatat adalah suatu hal yang paling disukai oleh gadis bermata bulat juga berhidung mancung minimalis itu. Jika disuruh memilih antara mencatat tiga halaman buku paket atau mengerjakan Matematika juga Fisika lima soal yang masing-masing soal memiliki tiga anak, maka gadis yang masih duduk di bangku kelas XI itu lebih memilih mencatat tiga halaman buku paket dibanding harus pusing mengerjakan tugas-tugas perhitungan.

Dia bukannya tidak pintar, hanya saja terlalu malas dan sering kali mengantuk jika dipertemukan dengan rumus-rumus. Entah mengapa setiap melihat rumus, dia kerap kali menguap.

"Yey, alhamdulillah. Udah kelar!" seru Ayra seraya tersenyum dan merentangkan kedua tangannya.

Saat dia melihat ke arah depan, melalui jendela kamar transparan terbuat dari kaca yang tepat berada di hadapannya, senyumnya seketika kian mereka tatkala mata bulat miliknya menangkap persensi seorang lelaki yang beberapa tahun belakangan ini mengisi seluruh ruang hatinya, juga otaknya yang dipenuhi oleh nama lelaki itu saja. Akhtar.

"Kak Akhtar kalau lagi serius gitu makin ganteng, kelihatan berwibawa ... gimana aku nggak makin jatuh cinta coba?" tanyanya pada diri sendiri sembari menopang dagunya dengan dua tangan yang dia tumpukan di atas meja belajar. "Kak Akhtar itu kayak Nabi Yusuf yang susah banget buat dideketin karena ketaatannya pada Allah, lalu aku seperti Zulaikha yang dengan tidak malunya selalu mengejar-ngejar Kak Akhtar walau sudah berapa kali dapat penolakan secara tidak langsung. Tapi, kalau akhirny aku seperti Zulaikha yang berhenti mengejar Nabi Yusuf dan berbalik untuk mengejar dan berusaha taat pada Allah, apa Kak Akhtar akan seperti Nabi Yusuf yang berbalik mengejar cinta Zulaikha?"

Helaan napas berat terdengar setelah ucapan terakhirnya terucap. Sebab, sisi lain dari dirinya mengatakan jika kisah seperti Nabi Yusuf dan Zulaikha tidak akan pernah terulang lagi, apalagi dalam kisah hidupnya. Namun, tidak salah, kan jika Ayra berharap kisah itu akan terukir kembali dalam cerita hidupnya?

Karena keasikan melamun sembari menatap Akhtar yang sedang duduk sambil membaca sesuatu yang tidak diketahui oleh Ayra, tiba-tiba saja terkejut ketika ada tangan yang dengan sengaja menggebrak meja belajarnya dengan agak kencang. Ayra sontak mengelus dadanya dan langsung menoleh dengan mata yang melotot horor. 

"Kak, Al!" bentaknya seraya mengambil sebelah tangan Al kemudian dia menggigitnya dengan kencang. "Rasain! Siapa suruh ngagetin aku," lanjut Ayra, kemudian kembali melihat ke arah balkon kamar Akhtar. Wajahnya berubah murung saat netranya tidak lagi melihat persensi Akhtar di tempat sebelumnya.

Sementara itu Al yang tadinya tertawa karena berhasil mengerjai adiknya itu, kini meringis kesakitan setelah Ayra menggigit tangannya dengan begitu kuat. "Dasar kanibal, lo!" umpat Al menahan perih. 

"Bodo amat! Lagian salah Kak Al! Ngapain coba ngagetin aku? Lihat, kan gara-gara Kak Al, aku nggak ngelihat Kak Akhtar masuk ke kamarnya," ujar Ayra amat kesal.

Bukannya meminta maaf, Al justru mencibir Ayra. "Selain kanibal, lo juga penguntit yang nakutin, ya?" tanya Al tidak habis pikir dengan jalan pikiran Ayra.

Selain rumah yang saling berhadapan, hal yang paling disyukuri Ayra adalah kamarnya yang juga berhadapan dengan kamar Akhtar. Itu mengapa Ayra bisa melihat Akhtar dari dalam kamarnya melewati jendela transparan yang memang sengaja tidak Ayra tutup dengan gorden saat dia sedang belajar di malam hari. 

About ReadinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang