H-1

146 43 3
                                    

Itu adalah pesan terakhir yang diaksa kirim pada tanggal 7 Oktober 2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Itu adalah pesan terakhir yang diaksa kirim pada tanggal 7 Oktober 2020. Sebelum ke-esokan hari-nya grup itu lenyap tanpa sebab.

Ku lihat ke atas meja, surat turun aksi ku sudah hilang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ku lihat ke atas meja, surat turun aksi ku sudah hilang. Mungkin ibuk sudah membuangnya...

Malam itu juga, rumah terasa begitu hening. Mas hadi sudah pergi ke ibu kota untuk menjalankan Tugas. Negara sudah bergejelokan panas namun TV di rumah masih enggan bersuara.

Kata mas hadi sebelum pergi, "Jangan sampai ada yang hidupkan TV. Cukup tunggu kepulangan hadi. Biar hadi yang cerita apa yan terjadi"

iya, mas hadi hanya tidak ingin bapak dan ibuk panik bila nanti di Jakarta ada bentrok antara abdi negara dengan mahasiswa dan warga sipil.

"Bapak boleh masuk?" ketok-nya dari luar.

"Boleh pak"

Bapak langsung masuk, dengan sarung kotak-kotak wadimor berserta kaos singlet putih yang kedodoran itu. Kalo kalian tanya bapak ku seperti siapa? bapak persis seperti Pak Muh. seperti bapak-bapak buncit pada umum-nya.

Sementara itu aku langsung menyampingkan posisi duduk di kasur, agar bapak bisa duduk di sebelah ku. Sungguh, meski bertahun-tahun aku hidup di rumah ini. Terkadang masih ada rasa canggung pada ayah sambung ku.

"Mas hadi tadi ada ngehubungi kamu?"

"enggak pak, terakhir sore tadi aja katanya udah sampe di jakarta"

Bapak langsung mengangguk-ngangguk. Dan aku ikutan menggangguk bingung..

Tidak ada pembicaran sejenak di antara kami. Tapi bapak masih enggan beranjak dari kamar ku. Di lihat-nya setiap sudut kamar ku secara merata.

"Sekarang sudah presiden ke-tujuh. Tapi kenapa yang kamu pajang foto-nya Pak Habibie?"

aku hanya tersenyum kecil melihat foto di atas pintu kamar ku "Ndak tau pak, ingin saja"

"Kenapa bukan Gus dur saja?"

Aku hanya menatap bapak bingung. Sementara bapak balik menatap ku remeh "Katanya mahasiswa itu serba tau. Masa ga ngerti"

"Itu.. yang pingin kelian demo besok. Pak gusdur dulu ingin membubarkan lembaga-lembaga itu. Kalo difikir-fikir, apa yang terjadi ya ke negara kita kalo lembaga itu dulu benar dibubarkan. Jadi lebih baik, atau jauh lebih buruk?" kata bapak.

"Ya.. tidak tau juga" lanjut bapak tertawa menjawab pertanyaannya sendiri.

"Terus presiden yang sekarang menurut mu bagaimana?" tanya-nya lagi.

"Berat?"

Bapak terkikih kecil lagi "Pasti. Jadi bapak dua anak saja berat, yang satu mau turun demo.. yang satu ngamanin demo. Bayangin jadi bapak presiden, ngehadepin seuluruh rakyat yang mau-nya beda-beda. Yang punya perusahaan kekeh pingin UU disahkan, yang kerja di perusahaan-nya malah ga terima. Di sisi lain kedua pihak ini rakyat-nya"

"Ya harusnya Bapak Presiden bilang lembaga itu kalo buat undang-undang yang adil. Yang tidak menyusahkan rakyat kecil. Bila perlu sebelum disah-kan.. di umumin dulu.. voting setuju apa enggak rakyat" saut ku dingin, karena sedikit benci pada cara pemikiran bapak.

"Mas hadi sing enak, abdi negara. digaji negara. Lah aku? calon buruh. Yang suatu saat nanti bisa disusahkan sama aturan itu. Susah buat aku pura-pura tutup mata. Kalo tidak kami suarakan sekarang, kami yang disusahkan di masa mendatang. Kami memang pekerja, tapi kami juga punya hak. Jangan diikat seenaknya begitu hak kami" cerita ku kesal.

Ah, kesal sekali pokoknya setiap berdebat dengan bapak.

"Nggih.. bapak mengerti"

"Ya sudah, bapak ga izinin mahesa demo Ya sudah. Ndak apa. Tapi ndak usah ikutan membenarkan yang memang salah"

Aku memalingkan wajah ku kesal. enggan sekali sekedar melirik bapak.

"Mei 1998.. kamu sudah lahir belum waktu itu?"tanya bapak tiba-tiba.

Aku hanya menggeleng, tapi masih tidak mau menatapnya...

"Ah masa itu, susaaaahh sekali. Ekonomi negara kita hancur-hancuran. Sekedar mengadu lapar saja rakyat tidak berani. Mahasiswa akhirnya ujuk rasa besar-besaran. Berhasil? ya berhasil. Beberapa dari mereka pulang dengan puas, dan beberapa lagi tidak pernah kembali"

"Kalo saja hari itu para orang tua tahu bahawa anak mereka tidak akan pernah ditemukan, orang tua mana yang akan mengizinkan anaknya turun aksi? tidak ada orang tua dengan iklas menyerahkan anaknya untuk mati. ndak ada, le" lirih bapak dengan nada parau "Bapak takut itu terjadi ke kamu. Takut le!"

Tiba-tiba bapak bangun dari posisi duduknya, membuka lemari-ku dan mengeluarkan Almamater ku "bangun..."

Ah malam itu terasa begitu dramatis. Saat aku bangun, bapak langsung memakai-kan almamater itu pada ku. Padahal posisinya aku hanya memakai kolor dan kaos oblong. Tapi bapak bilang "gagah juga anak bapak pakek jas begini"

Di tepuk-tepuknya pundak ku "Bapak ndak paham, apa janji kalian ke Almamater ini, sampe sebegini-nya kalian ingin turun demo"

Tanpa kata, bapak keluar tiba-tiba. Lalu kembali membawa kertas putih. Kertas izin turun aksi. Di serahkan-nya surat itu ke pada ku "Tadi mas mu sebelum berangkat nitip, supaya diserahkan ke kamu" -Ku perhatikan lebih detail, surat itu tidak ditanda tangani oleh bapak. Tapi tertera jelas nama Hadi Wiryatama.

Aku mengusap mata ku yang ingin menangis. Si cengeng ini ingin sekali rasanya memeluk mas-nya yang jauh pertugas di sana.

"Le, kamu memang punya hak turun demo sebagai Mahasiswa. Tapi jangan lupa ya le? Kamu juga punya kewajiban sebagai anak bapak sama ibuk. Kewajiban kamu, pulang ke rumah ini. Bapak minta dengan sangat, kalo dirasa sudah bahaya, jangan dilanjut. Tolong pulang dengan selamat. Bapak ngizinin kamu buat turun aksi bukan buat mati"

Malam itu, adalah izin pertama dari bapak untuk turun aksi. Dan mungkin menjadi izin yang terakhir juga.



HUKUM BULAN OKTOBER  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang