I'm sorry Hali's Side

2.4K 104 21
                                    

Hallo semua, kembali saya dengan chap 3. Ada yang kangen sama saya?#plak, ok lupakan yang tadi. Kalian sudah tahu 'kan ceritanya bagaimana? Jadi jika kalian ingin baca, silahkan~~~. Saya tahu kalau ini lebih cepat dari tanggal yang ada di note kemarin. Tapi ini hanya chap 3 belum chap 4 ataupun 5. Kalau begitu langsung saja!! Happy Reading ^^!
P.S saya sarankan kalian membacanya sambil mendengarkan lagu Angel Beats -Unjust Life piano version-

.

.

.

Hidup itu sulit, kenyataan itu pahit, dan waktu takkan bisa kembali ketika kamu sudah berjalan maju. Meski sulit Halilintar harus menerima kenyataan pahit dimana adik terkecilnya harus pergi di pelukannya dan sikap adik Gempa yang tak pernah mau memaafkannya bahkan bertatap muka dengannya. Belum lagi penyakit yang dideritanya sejak lahir yang semakin parah dari waktu ke waktu.

Saat ini Halilintar ada disekolah. Sikapnya menjadi seorang penyendiri setelah kematian orang tuanya dan semakin menjadi orang yang penyendiri yang bisa disebut anti-sosial sejak kematian adiknya. Seperti hari ini, ia hanya duduk termenung dikelasnya dan menatap guru yang sedang mengajarnya datar. Ia mencoba memahami semuanya agar ia masih tetap dapat sekolah dengan beasiswa yang didapatkannya. Keuangan keluarganya sangatlah sulit sekarang. Ia lah yang mengatur semuanya agar adiknya tak tahu apapun tentang sulitnya keuangan keluarganya sekarang. Ia akan dengan segera membeli bahan makanan ketika bahan makanannya telah berkurang. Lalu segera kesekolah Gempa untuk meminta keringanan waktu dan agar para guru disana tidak memberitahukan apapun pada Gempa. Meski biaya sekolahnya dan Gempa diberi keringanan bahkan Halilintar sekolah dengan gratis bukan berarti ia bisa cepat membayarnya. Mengingat tubuhnya yang mengidap penyakit jantung lemah. Pihak sekolah mengetahui hal itu karena dokter yang selalu merawat dan membiayainya berobat memberi surat kepada pihak sekolah.

Seperti biasa Halilintar harus pergi ke restoran tempatnya bekerja sebagai pelayan. Meski ia anti-sosial ia masih bisa tersenyum saat melakukan perkerjaan paruh waktunya. Pekerjaannya tidak terlalu sulit. Hanya mengantarkan pesanan-pesanan pengunjung, pekerjaan itu tak mengganggunya meski
dengan kondisi fisik yang tergolong lemah karena penyakitnya. Hingga waktu menunjukkan pukul 18.00, sang manager restoran menyuruhnya pulang karena tahu kondisi fisik Halilintar.

"Halilintar kau pulanglah. Kau juga harus menjaga kondisi tubuhmu." Kata manager perempuan berumur sekitar 40 yang menjadi sahabat ibunya dulu. Karena itulah Halilintar diperbolehkan bekerja disini.

"Tak apa bu. Saya masih bisa bekerja satu jam lagi." Kata Halilintar menolak dengan halus.

Sang manager hanya tersenyum dan menggeleng.

"Sudahlah kamu pulang saja. Ini bayaranmu hari ini." ucap Ibu itu memberikan sedikit uang pada Halilintar. Disana Halilintar dibayar perjam dan akan disuruh pulang pukul 18.00 karena kondisi fisiknya.

"Terimakasih bu" ucap Halilintar dan pamit untuk pulang. Mau tak mau Halilintar harus pulang sekarang padahal ia harus memiliki uang untuk membeli bahan makanan. Ia berjalan pulang kerumah. Memang rumah dan tempatnya bekerja tidak begitu jauh dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Ia membuka
amplop yang diberikan oleh manager, ada 9 lembar uang 10 ribuan. Memang ia hanya bekerja selama 3 jam di sana karena ada sedikit pembinaan untuk olimpiade sampai jam 3 sore.

"Kurang 25 ribu untuk membayar SPP Gempa bulan ini. Bahan makanannya juga habis. Huhh..." gumam Halilintar pelan. Ia berjalan langsung menuju kamarnya tanpa menyalakan lampu, tak lupa menutup pintunya. Entah mengapa ia suka kegelapan, ia suka tiduran diam dikegelapan. Sampai dikamar, ia mengambil obatnya ketika merasa dadanya sangat sakit. Ia meminum obatnya dan menelannya dengan air yang selalu disiapkannya di dekat meja. Dadanya masih terasa sakit ia menatap obat itu dan melemparnya kesal. Ia sudah muak minum obat. Obat itu tak pernah menghilangkan penyakitnya dan hanya mengurangi sakit yang dideritanya. Ia akan mati, tak peduli ia meminum obat itu atau tidak ia akan tetap mati. Ia bingung, di satu sisi ia ingin pergi saja dari dunia ini namun disisi lain ia ingin menemani adiknya lebih lama lagi. Ia tak peduli meski adiknya menganggapnya tak ada. Asal ia masih bisa melihat wajahnya dan tahu bahwa Gempa baik-baik saja adalah kebahagiaannya yang tak ternilai harganya. Gempa memang tak pernah tersenyum padanya namun ia sudah sangat senang mengetahui bahwa Gempa selalu tersenyum diluar sana. Halilintar mendengar suara handphone di sakunya.

Brother's smile and I'm sorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang