Ena menegang mendengar ucapan orang yang tadi menariknya. Ia semakin keras mencoba melepaskan cekalan tangan itu, ia tidak akan membiarkan siapapun melukai orang tuanya.
"Lepaskan! Aku tidak bisa meninggalkan orang tuaku!" ucap Ena ketika orang itu semakin menariknya memasuki hutan. Air mata sudah tidak bisa ia bendung. Rasa khawatir menyelubungi hatinya. Ia tidak mau meninggalkan orang tuanya, tidak akan bisa.
"BIARKAN AKU KEMBALI KE KAMPUNG! PENGGAL SAJA KEPALAKU DISANA! JIKALAU AKU MATI, BIARKAN AKU MATI DISAMPING ORANG TUAKU!" teriak Ena. Emosi bercampur khawatir membuatnya kembali kehilangan kendali intonasi suaranya.
Orang itu tiba tiba melepaskan cekalan tangannya, berbalik menatap Ena tajam. "Tidak akan ada yang memenggal kepalamu, tidak akan kubiarkan" ucap orang itu penuh penekanan. Lalu kembali menarik tangan Ena.
"Dan menurutmu aku akan tetap hidup sedangkan mereka memenggal kepala orang tuaku?!" ucap Ena emosi. Ia berusaha menghentakkan tangan, berharap dapat membuat cekalan orang sinting itu lepas. Berkali kali Ena mencobanya namun tidak berhasil. Lalu tiba tiba ide cerdik hinggap dikepalanya. Dengan cepat ia mengangkat satu kakinya, menendang keras punggung orang didepannya, membuat tubuh orang itu terdorong ke depan dan terjerembab ke tanah bersamaan dengan cekalan tangannya yang lepas dari tangan Ena.
Ena tak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung berbalik lari kembali menuju kampung. Dengan sekuat tenaga Ena mengayunkan kakinya, berusaha secepat mungkin agar dapat bertemu orang tuanya. Ena berlari kesana kemari, mencari keberadaan orang tuanya. Hingga langkahnya terhenti dibagian tengah kampung. Kakinya tiba tiba terasa lemas, tubuhnya gemetar. Kakinya tidak bisa lagi menahan berat tubuhnya, membuatnya jatuh ke tanah. Ia membekap mulut, menahan teriakan. Air matanya bercucuran tak tahu batas. Ena menggelengkan kepalanya. Tidak, tidak mungkin.
Ena berusaha keras kembali berdiri, memaksakan kakinya mencari orang tuanya. Ena berjalan gemetar melewati kepala kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya. Darah menggenang disetiap sudut. Beberapa hanya tersisa kepalanya, tubuhnya hilang entah kemana, beberapa juga masih tersisa tubuhnya.
Ena semakin gemetar ketika dari jauh melihat kepala orang tuanya. Ia seperti orang linglung, semuanya terlalu mendadak. Ena berjongkok di depan kepala ayah dan ibunya. Ia tidak bisa berteriak lagi. Tenaganya sudah habis. Ena memukul-mukul dadanya. Kepalanya menoleh ke samping, tidak kuat jika harus terus melihat kepala ayah ibunya. Tidak ada tubuh, hanya kepala. Tubuh keduanya entah berada dimana.
Ena masih menangis ketika tiba tiba saja sebuah tangan kembali menariknya kasar.
"Sudah ku bilang kau tak akan kuat" ucap orang itu. Seketika emosi Ena mencuat keluar. Teganya mereka melakukan hal keji ini, teganya mereka memenggal puluhan kepala.
"KAU! KAU BUKAN MANUSIA! KAU IBLIS! KAU SETAN! KALIAN SEMUA PANTAS DIBAKAR DI NERAKA! LAKNAT UNTUK KALIAN SEMUA!" teriak Ena tak terkendali. Tangannya memukul kepala orang di depannya, kakinya tak tinggal diam. Ena melampiaskan segala perasaan yang ia rasakan pada orang itu. Rasa bersalah mendominasi hatinya. Ia tidak ada ketika orang tuanya ketakutan, ia tidak ada ketika mereka memenggal orang tuanya, ia tidak ada disaat saat terakhir orang tuanya.
Orang di depannya hanya diam, tak membalas ataupun menahan pergerakan Ena. Ia hanya diam menatap lurus Ena. Menatap mata Ena yang sudah sangat bengkak. Menatap mata Ena yang sudah sangat merah.
Beberapa saat terus berjalan seperti itu, hingga Ena kehabisan tenaganya sendiri. Ia diam sebentar, lalu berjongkok, menutup wajahnya menggunakan tangannya. Ia menangis dalam diam, suaranya sudah hilang entah kemana. Tenaganya sudah terkuras habis.
Orang di depannya lagi lagi hanya diam menatap Ena yang berjongkok di depannya, hingga sebuah tangan menepuk bahunya, mebuatnya menoleh. "Kepala kampung berhasil kabur". Mendengar itu, ia diam sebentar, lalu mengangguk.
Orang yang tadi menepuk bahunya kemudian pergi, kembali meninggalkan mereka berdua.
Beberapa saat kemudian, kepala Ena mendongak, menatap benci pada orang di depannya. "Penggal kepalaku" ucap Ena.
Orang di depannya hanya diam. Membuat Ena kembali emosi "Kau bisu? Atau kau tidak bisa mendengar?" ucap Ena emosi "Penggal kepalaku!" lanjut Ena. Orang di depannya lagi lagi hanya diam. Ena menatap nyalang sesuatu yang ada di pinggul orang itu, ia tidak sengaja melihat benda itu ketika orang itu menariknya memasuki hutan. Ia pikir orang itu hanya membawa senjata api, namun ternyata sesuatu kecil juga terselip di pinggulnya. Dengan sekali tarikan, benda itu sudah berada ditangan Ena.
"Kau pikir aku akan ketakutan ketika melakukannya sendiri? aku tidak butuh bantuanmu, iblis, aku bisa memenggal kepalaku sendiri" ucap Ena, dengan cepat ia mengayunkan pisaunya ke lehernya, namun seperti kejadian sebelumnya ketika ia akan berlari melewati orang yang akan melempar pisau ke kepalanya, secepat itu pula tangannya ditepis dengan sangat kuat, hingga pisau di tangan Ena terlempar jauh entah kemana.
"Jangan!" ucap orang itu cepat dan lirih, nafasnya memburu "Jangan pernah lakukan itu lagi"
Lalu dalam sekali hentak, tubuh Ena tertarik ke depan, menabrak tubuh orang itu "Jangan bunuh dirimu sendiri, jangan pernah" ucap orang itu sambil mengeratkan pelukan.
"Ikutlah denganku, kau mengenalku Ena." ucap orang itu lagi.
"Tangguh, aku Tangguh"
KAMU SEDANG MEMBACA
TANGGUH
General FictionSemuanya berawal dari dosa. Segala rasa dendam itu hadir karena dosa, segala peristiwa itu terjadi karena dosa. Mengikhlaskan bukan perkara yang mudah bagi Tangguh. Memaafkan manusia biadab itu bukan hal yang akan Tangguh lakukan. Orang tua itu pant...