7. Koleksi Memori

606 86 6
                                    

Matahari pagi ini lebih menyengat dari biasanya. Dan upacara bendera baru berlangsung setengah jalan.

Karin terpaksa menyeka dahi, menghalau laju bulir keringat mencapai pipinya. Gadis itu sedikit menyesali pilihannya mengambil posisi berbaris paling depan. Jika saja ia berbaris di belakang, ia tentu bisa sedikit bersantai. Tapi berbaris di depan membuatnya terlihat oleh seluruh isi sekolahㅡbarisan kelas lain, barisan para guru, petugas upacara, pembina upacara, termasuk rombongan anak Paskibra yang menjadi pasukan paduan suara tiap kali upacara bendera di Senin pagi.

Karin bergerak gelisah. Tadi, ia sengaja mengambil posisi berbaris di depan agar bisa bebas mencuri pandang ke barisan kelas lainㅡke barisan kelas Izar yang ada di sayap timur, tepatnya. Tapi kini, gadis itu merasa percuma. Izar berbaris di belakang. Karin hanya sempat melihat lelaki itu sekilas kala upacara baru dimulai. Sekarang, sosok Izar sepenuhnya terhalang oleh teman-teman sekelasnya yang berbaris di bagian depan. Sementara Karin terjebak di barisan kelasnya sendiri, berdiri tegak dan siap, seperti penuh disiplin.

"Untuk amanat, istirahat di tempat ... gerak!"

Diam-diam, Karin mengembuskan napas lega ketika suara sang pemimpin upacara menggema dari tengah lapangan. Ia mengambil kesempatan untuk melemaskan punggungnya yang kaku, sebelum kembali menegak dengan tangan di balik punggung. Pembina upacara hari ini adalah Pak Kepala Sekolah, yang biasanya, akan menghabiskan waktu lama setiap kali memberi amanat.

"Pft."

Suara tawa tertahan dari baris belakang terdengar sampai ke depan. Karin nyaris menoleh jika saja tidak ingat bahwa setiap gerakannya mudah terlihat oleh jajaran guru di sisi kiri barisan siswa kelas sepuluh.

"Faldi anjeng!" Bisikan itu terdengar cukup jelas. Suara Dimas, salah satu teman sekelasnya. Suara-suara tawa tertahan lain mulai bersahutan. Agaknya, di baris belakang, sedang terjadi kekacauan yang cukup seru.

"Si Faldi bego," bisik Fira yang berdiri tepat di belakang Karin. "Niruin cara ngomong Pak Mul, dong."

Karin tidak bisa menahan diri, ia turut mengeluarkan suara menahan tawa yang terdengar ganjil. Oh, Faldi memang sungguh sialan. Lelaki itu suka sekali berbuat onar dan melucu tidak pada tempatnya. Pak Mulyadi, atau yang biasa disapa Pak Mul, adalah orang yang kini memberikan amanat di lapangan. Sejujurnya, tidak ada yang kelewat aneh dari cara bicara pria itu. Hanya sedikit mendayu dan menimbulkan rasa kantuk. Namun, gaya mendayu itulah yang membuat mimik Pak Mulyadi berubah-ubah secara khas setiap sedang bicara.

"Udah, anjir, Fal!" hardik Ridho, yang berdiri di baris ketiga dari depan di banjar lelaki. Karin memberanikan diri menoleh. Rupanya, selain dirinya, Gibran dan Rania yang berdiri paling depan dari setiap barisan kelas mereka, seisi kelas telah mencuri toleh ke belakang demi melihat aksi Faldi.

Dan ketika dari tempatnya Karin menyaksikan sendiri raut wajah Faldi, gadis itu kesulitan menahan tawa.

Tepukan Fira di tangannya-lah yang kemudian menyadarkan Karin, membuatnya lekas kembali menghadap ke depan dan berdiri dengan benar.

"Maka, bagi siswa kelas dua belas, diharapkan dapat semakin fokus mempersiapkan ujian tengah semester yang akan segera berlangsung. Anggap ini sebagai simulasi, keseriusan kalian menghadapi ujian nasional tahun depan. Juga ...."

Susah payah Karin menahan kuap kala menyimak petuah kepala sekolahnya. Ia ingin sekali kembali menoleh ke belakang, bercanda atau berbincang dengan siapa pun hanya demi mengusir berat di matanya.

"... Bagi kelas sebelas dan sepuluh, ini juga tidak kalah penting. Kelas sebelas bisa memberi contoh, agarㅡ"

Sisa ceramah Pak Mulyadi menghilang dari pendengaran Karin kala gadis itu mendengar suara terkesiap dari belakang. Beberapa orang seolah tengah terkejut. Mengira Faldi kembali berbuat ulah, Karin hendak menoleh. Namun, tangan Fira yang mendadak menggenggam pergelangannya, membuat Karin mengurungkan niat.

Under the Spotlight✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang