10. Jalan Terbuka

568 78 5
                                    

"Karin!"

Seruan itu terdengar tepat sebelum langkah Karin berbelok di koridor menuju kantin. Si pemilik nama menoleh penuh, mencari sumber suara. Hanya untuk menemukan sosok Gibran yang setengah berlari ke arahnya.

"Lah, lo," ceplos Karin, memberi jeda bagi Gibran untuk mengatur napas. "Napa, Gib?"

Gibran mengambil satu napas panjang, menetralkan ritmenya. "Gue mau minta tolong."

Alis Karin berkerut sempurna. Gibran jarang meminta tolong, apalagi pada orang seperti dirinya. Tapi melihat lelaki itu tampak terburu, Karin lantas mengangguk ringan.

"Apaan?"

"Tadi Bu Septri nyuruh gue ke kantor. Mau ngejelasin tugas, sama katanya, buku tugas yang kemarin dikumpul tolong dibawain ke kelas, sekarang." Gibran memberi jeda, menatap Karin. "Tapi gue mau ke TU dulu, ada urusan."

Kernyit di dahi Karin kian jelas. "Ya, lo utus wakil lo, lah?"

"Agil lagi ulangan susulan di lab, Karin."

"Oh, iya," cengir Karin. "Tapi masa gue yang bawa-bawa buku sebanyak itu?"

"Ya, lo temuin Bu Septri aja dulu. Tanyain tugasnya apa, gimana. Takutnya ditungguin. Bilang aja Gibran lagi ke TUㅡnanti bawa bukunya bareng gue, elah!" tambah Gibran buru-buru kala raut tidak terima di wajah Karin belum juga lenyap.

Senyum Karin melebar, ekspresinya mencerah. Gadis itu mengacungkan jempolnya sembari membalas, "Oke."

Sepeninggalan Gibran, Karin membatalkan niat menuju kantin. Setengah berharap teman-temannyaㅡyang telah lebih dulu meninggalkan kelas demi menempati meja kantinㅡakan berinisiatif memesankan sesuatu untuknya tanpa ia minta. Setelah memutar arahnya ke koridor ruang guru, gadis itu melangkah santai. Hingga ayunan kakinya terpaksa berhenti di ujung lorong ketika matanya menangkap sosok Izar yang baru keluar dari ruang guru.

Dari tempatnya berdiri, Karin memiliki banyak kesempatan untuk mengunci tatap. Mencuri pandang diam-diam dan menyimpan setiap detail di diri Izar dalam memorinyaㅡkebiasaan, tingkah laku, sesuatu yang mungkin istimewa, apa saja. Tapi hari ini, Karin tidak ingin berdiam. Terlebih, saat ia melihat duka yang masih nyata dalam sorot sepasang mata lelaki itu.

Jadi, entah bermodal keberanian dari mana, Karin mempercepat langkah, mendekat. Ketika jarak di antara mereka telah menipis, gadis itu bisa merasakan degup jantungnya berubah tidak beraturan.

"Kak Izar," panggil Karin akhirnya, hanya sepersekon setelah mereka berpapasan.

Izar berhenti, menoleh. Lelaki itu memaksakan satu senyum dengan tatap bertanya. Tapi Karin terlalu terbiasa dengan senyum teduh milik Izar hingga gerakan menarik sudut bibir yang begitu dipaksakan itu sukses membuatnya meringis.

"Kak, aku ..." Karin berhenti. Berpikir. Apa? Apa yang harus ia katakan?

Haruskah ia memperkenalkan diri terlebih dulu?

Tapi itu bukan hal penting saat ini. Izar tidak akan peduli siapa dirinya. Maka setelah menghela satu napas, ia melanjutkan.

"... aku turut berduka, ya, Kak. Semoga ayahnya Kak Izar dilapangkan kuburnya, diberi tempat terbaik."

Lalu segera setelah kalimat itu terlontar, segera setelah ucapannya menghilang dari pendengaran, Karin justru merasa menyesal. Ia belum pernah kehilangan akibat kematian. Ia tidak tahu rasanya. Boleh jadi, Izar sudah muak mendengar ucapan bela sungkawa. Mungkin saja, Izar justru sedang berusaha lupa ketika kalimat barusan malah membangkitkan kembali ingatannya akan ketiadaan.

Mengapa Karin harus begitu lancang?

"M-maaf, Kak. Maksud akuㅡ"

"Makasih, ya."

Under the Spotlight✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang