Ekskresi, Babak 1

35 0 0
                                    

"Ras, gurumu sudah datang." Bunda menyahutku dari ruang tengah.

Aku yang masih terjerembap dengan ketampanan Alaydrus tak ingin cepat keluar. Kepalang tanggung episode sepuluh segera tuntas.

"Sebentar lagi, Bun," balasku.

Tiada nyana, ketukan pintu yang justru datang menghampiri. Sekali tiga kali masih kumaklumi. Hingga yang kesepuluh kali, telingaku menjadi risih.

"Apa sih, Bun? Sedikit lagi Saras keluar kok." Aku bergumam sembari melangkah menuju pintu.

Kutarik tuas. Betapa kagetnya aku, ternyata Mas Subki yang nampak di mata.

"Lho, kok pake kaos olahraga?" Pemuda jangkung itu menanyaiku.
"Kok kepo?" ketusku.
"Jadi belajar, kan?"
"Jadi, kok Mas."
"Oke deh. Mas tunggu di ruang tamu, ya?"

Aku menyungging senyum parau. Buru-buru kututup wajahnya dengan pintu kamar. Kembali menuntaskan Alaydrus di layar laptop.

Tak habis pikirku tentang gelagat orang akhir-akhir ini. Mengapa mereka selalu penasaran dengan hidupku. Salahkah jika hari ini aku memakai setelan olahraga? Toh mereka tidak tahu bagaimana pagiku tadi, ketika siaran langsung bersama Pak Umar.

Mendekati jam dua, aku sudah berada di ruang tamu. Bersama buku paket, dua cangkir teh, dan Mas Subki. Sementara Bunda sedang berplesir di pulau kapuk.

"Hari ini Dik Saras apa ada PR?" Orang itu bertanya lembut.
"Enggak ada, Mas. Tapi aku mau minta tolong ke sampeyan."
"Minta tolong apa, Dik?"

Sejurus kubuka isi tas. Kubentangkan buku tulisku. Hingga nampak rerumputan yang berbaris di sana.

"Aku pekan depan ada ulangan Matematika dan IPA. Boleh tolong diajarin?" Aku meminta.

Mas Subki tertegun sejenak. Memejamkan mata sembari mengembungkan masker medisnya.

"Oke," tukasnya. "Mau dimulai kapan?"
"Hari ini." Aku menyela.
"Pelajaran?"
"IPA."

Bukan tanpa sebab aku memilih IPA. Sepanjang pembelajaran via Zum kemarin lusa, kepalaku lemah tiada kuasa. Bu Tirta yang hanya berkutat di ginjal dan kantung kemih. Padahal mereka hanya sebagian kecil isi materi.

"Jadi begini, Dik Saras. Sistem ekskresi manusia itu terbagi jadi empat organ. Coba kamu sebutin dua."

Aku mengerutkan alis. Menunggu ilmu datang gratis.

"Hmm… Kulit?" ujarku setengah pesimis.
"Tul! Selain itu?"
"Ginjal?"

Pemuda berjanggut itu memberi jempol padaku. Senyumnya seperti voorijder di Persimpangan Halimun. Apa jangan-jangan, itu kerja sampingannya?

Mas Subki mulai melancarkan perbincangan. Mulutnya mulai mengupas satu per satu fungsi organ manusia. Hal yang nihil dari pembelajaran Bu Yanti silam.

"Coba sekarang kamu sebutin ulang bagian kulit, Dik."
"Epidermis." Jemari kananku mulai menari. "Dermis. Hipodermis?"
"Sip. Kalau kelenjar keringat ada di bagian mana, Dik?"

Aku melongo ompong. Mengedarkan pandangan di bohlam bulat. Berharap cahayanya dapat kutelan.

"Dimana ya, Mas? Epidermis?"
"Bukan, bukan. Lebih tepatnya di …"
"Oh, dermis!"
"Seratus!"

Aku berdecak bangga. Jawaban telah berhasil kutemukan. Baru kali ini aku menemukan guru yang sangat penyabar di mukaku.

"Nah, kalau epidermis itu, fungsinya untuk tempat keluarnya keringat."
"Oh, iya iya, Mas. Dibuat di dermis, keluarnya di epidermis."

Tuntas dengan ekskresi, Mas Subki mengajakku berkeliling di deret dan baris. Berhubung materi ini cukup aku kuasai, ia pun tidak begitu santer memancing alam pikirku. Sesekali hanya aku yang terbolak-balik rumus baris.

"Alhamdulillah, sudah selesai pelajarannya. Jangan lupa besok, ya Dik?"
"Heem. Nanti aku ijin ke Bunda juga deh, Mas."

Berpamitlah Mas Subki dari ruang tamu. Bunda yang tak kunjung datang memaksaku untuk meraih gerbang di pelataran. Kutatap langkah besar pemuda itu. Hingga lenyap ditelan mulut gang.

|/|/|

Jangan lupa kasih komentarnya ya. :D

Semburat: Pesta AwangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang