Prolog

47 0 0
                                    

Ketika pandemi mulai melanda, aktivitas sekolah tidak luput dari imbasnya. Gedung ditutup, kantin ditutup. Semuanya beralih menjadi serba digital. Termasuk guru dan orang tua siswa.

Aku tak menyangka bakal sebahagia ini mendengar kata "belajar dari rumah". Adalah sebuah idaman untuk berselancar ria di ponsel dan laptop. Mendengar ceramah guru bersanding drama Nusflik yang mendebarkan. Menggarap soal-soal dengan mengintip Guguk tanpa ketahuan guru.

Hasil ulangan pun selaras dengan daya jelajahku. Dua digit angka di atas KKM. Sudah pasti kukantongi teruntuk Bunda. Ia pun bangga karena aku mengalami peningkatan prestasi di kala pandemi.

Riang ini begitu menjalar di tubuh.

Sampai bulan puasa tiba, kesenangan itu berubah total. Aku tak bisa mencari kudapan berbuka di Lapangan Rames. Jangankan kudapan, mencari teman untuk diajak bersenda gurau pun dilarang sama Pak Kades.

"Enggak boleh kumpul-kumpul! Nanti nular penyakitnya!" Begitulah siaran yang beliau kirim di grup pesan instanku.

Jalanan jadi lengang. Gema sahur pun berganti dengan alarm di layar. Meski Bunda tetap menyajikan menu yang menggugah, lidahku terlanjur mati rasa. Rendang, semur, dan cap cay sudah dihidangkan. Tetapi semua berlarian ketika siang datang.

Tentu menjadi kejenuhan tersendiri tatkala bulan suci hanya dihabiskan di depan TV. Tiada acara yang asyik karena semua serba terdistraksi. Tambahlah gamang diriku mendengar kabar seniman idolaku, Miming, terkena infeksi virus.

Keluhku tak cukup tercurah dalam sebulan. Alhasil rutinitas tinggallah catatan di atas kertas. Berlalu saja tanpa membekas.

Terbaru, Pak Umar menyampaikan keprihatinan kepadaku. Dalam pesan pribadi, beliau meminta doa supaya pembelajaran bisa kembali normal. Jika aku punya kuasa mutlak, tentu akan aku kabulkan. Toh itu juga keinginanku sedari Juni.

***

Berpatokan pada instruksi Pak Umar, sekolahku mulai menyongsong tahun baru pada bulan Agustus ini. Bunda sudah mempersiapkan bekal untukku dengan sigap. WiFi, headset, flashdisk, hingga obat tetes mata. Menjadi alat tempurku satu semester ke depan.

Senarai tugas sekolah datang bertubi-tubi. Rupanya beraneka ragam. Ada yang berupa rangkuman. Adapula yang praktik rekaman.

Aku pun sempat tercengang. Mendengar Bu Yanti yang senonoh memberi tugas praktik tiga pertemuan beruntun. Bukan kaleng-kaleng, tugas beliau justru membuatku geleng-geleng.

Mulai dari praktik memasak, praktik senam 'antivirus', hingga simulasi wawancara. Jika dilakukan luring, tentu tidak menjemukan. Berhubung akses internet tidak memadai, hati kecilku lantas menjerit.

"Tidak ada toleransi! Semua harus dikumpulkan tepat waktu!"

Tentu saja aku jengah dengan alibi usang dari beliau itu. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa manusia kolot hidup di zaman serba upload-download?

|\|\|

Eits, ini masih awalan loh ya? Babak yang lebih seru tersaji setelah ini.

Jangan lupa kasih komentarnya ya. :D

Semburat: Pesta AwangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang