Ekskresi, Babak 2

38 0 0
                                    

Dari muka gerbang aku mengharap penantian. Seseorang yang bertekad bulat untuk buatku cerdas. Tiga menit tiada nampak. Hingga menjelang asar barulah wajahnya tiba.

"Maaf, ya Dik. Mas terlambat." Mas Subki memasuki teras setengah membungkuk.

Setelah kugiring langkahnya, dia pun duduk di sofa. Bunda bersimpuh di bibir meja. Menghidangkan teh dengan wajah sumringah.

"Silahkan diminum. Mumpung masih hangat," tuturnya.

Aku dan Mas Subki mengangguk pelan. Aku siapkan peralatan belajar, sedangkan ia menenggak sajian beberapa saat.

"Kayaknya Mas capek banget hari ini?" Aku membuka suasana.
"Hehe… Lumayanlah. Tadi soalnya ada orang kecelakaan."
"Heh? Dimana, Mas?" Aku sontak terkaget.
"Di Halimun. Ada orang dipepet angkot."

Beruntunglah bayanganku tidak liar. Mas Subki dan tiga orang sekitar langsung memanggil ambulans. Meski tidak ada luka serius, setidaknya layanan trauma patut diberikan.

"Itu yang buat Mas lama di jalan. Maaf ya, Dik?"
"Iya, enggak apa kok." Aku mengedar senyum.

Jarang-jarang aku menyungging tepian bibir dengan luwes. Paling-paling jika Bunda atau Hanum saja yang mengajak berswafoto.

"Dik Saras sudah siap?"

Aku mengangguk. Kuhamparkan peralatan di atas meja tamu. Ada lakban dan juga sleeve arm. Sedangkan Mas Subki membawa plastic wrap dan neck cuff.

"Mas, boleh tanya?"
"Iya, Dik. Gimana?"
"Nanti beneran aman, kan?"

Pemuda itu mengangguk pelan. Elusannya terasa di ujung kepala. 

"Aman kok. Asalkan sampeyan enggak neko-neko pas praktik, ya?"
"Sampeyan beneran bisa bungkusnya, kan?"
"Jangan kuatir. Kamu tetap aman kok."

Ucapan Mas Subki cukup meneduhkan hati. Bergegas aku menghampiri lemari kamar untuk berganti wujud. Tara! Keluarlah aku dengan pakaian olahraga.

"Hmm… oke-oke." Tamuku mengelus dagu. "Kalau kamu ada baju olahraga lagi, boleh ditambahin sekalian."
"Heh?" Aku menganga. "Gi-gimana, Mas?"
"Kalau kamu ada baju olahraga lagi, boleh dipakai sekalian. Biar nanti praktiknya maksimal."
"Oh, gitu ya?"

Kembalilah aku ke dalam kamar. Melacak keberadaan seragam peninggalan sekolah dasar. Kuharap ingatanku tentang itu belumlah sirna.

"Aha! Ini dia."

Kutemukan kardus di samping lemari. Setelan merah-hitam SD menanti diangkat. Kubentangkan sesaat, lalu kupasang di badan.

Setibanya di ruang tamu, Mas Subki tak lelah mengedarkan pandangan. Ke atas, ke bawah, berulang-ulang.

"Keren banget. Baju SD, ya?" Ia bertanya.
"Iya, Mas," balasku sambil menarik sisi samping setelanku. "Tapi kek salah ukuran."
"Kok bisa, Dik?"
"Entah, Mas. Pas kupakai karyawisata dulu, tahu-tahu kebesaran. Mau ditukar, Bunda bilang jangan."

Cukuplah kami berbasa-basi. Aku menyilakan Mas Subki pindah ke kamar tengah. Permadani hijau telah terhampar lebar. Kami pun berdoa sebelum memulai belajar.

"Berdoa selesai." Aku mengelap wajah.

Mula-mula, aku disuruh untuk memasang sleeve arm di kedua tangan. Tak lupa kerudung nila turut berhias di kepala. Biar tambah aman, pesan sang pemuda.

Aku bersikap tegap. Sembari membungkus badanku, Mas Subki mengulang kembali amanatnya kemarin hari.

"Entengkanlah badanmu. Kalau kamu merasa mulas atau kebelet, itu hanya godaan sesaat. Janganlah kamu goyah, sebelum kamu tahu proses ekskresi yang sesungguhnya."

Kedua tangan telah melintang di samping badan. Begitu rekat dan mengikat. Tinggallah kupejamkan mata, sesuai instruksi dari guruku ini.

Srek. Srek. Telingaku menangkap bentangan plastic wrap di sekitar wajah. Perlahan bibirku mulai menyatu. Keningku kian menempel dengan kain jilbab. Tinggallah gelap datang menyergap. Tak menyisakan udara dari balik lakban.

Aku merintih. Tiada balas dari Mas Subki. Yang kurasa justru tubuhku melayang beberapa detik. Sukar rasanya menangkap rupaku saat ini. Menoleh pun sudah menyiksa diri.

Hingga genap lantunan bocah mengaji, napasku kian kembang kempis. Dada terasa sesak, betis ingin berontak rasanya.

"Tunggulah."

Aku hanya sanggup mendengar ucapan itu dari Mas Subki. Sebelum wajahku pasi akibat menghirup napas sendiri.

***

"Minum dulu yang banyak, Dik."

Sejurus tanganku menggenggam gelas hijau berisi limun. Kutenggak berulang kali dengan napas satu-satu. Jantungku berlarian tak keruan.

Dengan pandang yang masih kabur, aku memandang sekujur tubuh. Baju olahragaku menyatu. Begitu basah dengan peluh.

"Jadi begini cara kerja ekskresi pada manusia, Dik Saras. Saat tubuh mengeluarkan panas, di sana juga muncul keringat."

Mataku belum kuasa menangkap wajah Mas Subki. Begitu pening rasanya.

"Dik? Masih pusingkah?" Pemuda itu bertanya.
"Hah…?"
"Dik Saras masih pusing?"
"E-enggak kok, Mas."

Entah bagaimana, muncul sensasi lain dalam praktik tadi. Naluri perempuanku langsung berceceran. Meninggalkan aroma sedap dan nikmat hingga saat ini.

"Mas, kalau ada waktu, boleh ajarin aku lagi, ya?" Aku meminta.
"Hmm, ajarin apa, Dik?"
"Ajarin teknik bungkus yang benar."

Mas Subki mengangguk. Bersambung wejangan, supaya aku tidak terlalu sering mencobanya.

"Kamu masih kecil, Dik. Masih punya banyak urusan. Jangan jadi kecanduan, ya?"

Aku pun cemberut. Padahal hormonku sudah kadung meluap tadi.

"Ya udah. Kakak punya solusi lain."
"Eh, apa itu, Mas?" Sontak aku terperanjat.
"Gampang. Bungkus saja wajah sampeyan pakai kaos, apapun itu, sebelum tidur. Lalu sampeyan lapisi kerudung lagi biar enggak kendor."

Langsung saja aku mengiyakan ucapan itu. Mengingat kepalaku kadung banyak pikiran jenuh. Kuharap membungkus wajah adalah terapi terbaik bagiku.

"Makasih banyak, ya Mas. Sudah mengajari aku hari ini."
"Iya, Dik. Sama-sama. Jaga kesehatan, ya?"

Mas Subki memasang masker di wajah. Beranjak pulang ditelan mulut gang.

"Bunda kemana, ya? Apa tidur lagi?"

|\|\|

Gimana tanggapanmu? Mulai terangsang seperti Saras juga, kan?

Yuk, beri komentarmu di sini. :D

Semburat: Pesta AwangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang