~ Ravindra pov
~ 28 April 2011
Aku dan seluruh warga kampungku, berjalan bersama, secara perlahan dengan hati-hati mengiringi kepergian sosok yang sangat berharga di hidupku, yaitu Ibu-ku.Waktu dimana seharusnya aku mendapatkan kasih sayang, perhatian dari sosok Ibu dan ayah, waktu dimana anak-anak seusiaku benar-benar membuatku iri akan apa yang mereka dapatkan di usia mereka.
Aku hanya bisa terdiam, menatap kepergian Ibu, yang perlahan-lahan masuk kedalam peristirahatan terakhirnya. Wajah yang tidak akan lagi aku tatap saat bangun, aku tatap saat makan, aku tatap saat pulang ke rumah.
Wajah itu semakin tertutup oleh tanah, semakin lama, semakin aku tidak bisa lagi melihatnya. Rasanya aku ingin melompat dan ikut menemani Ibu-ku didalam sana, tapi aku masih berfikir rasional, otak-ku mengatakan bahwa itu semua hanya akan membuat Ibu-ku sedih.
Hingga akhirnya, aku hanya bisa memeluk nenek yang saat itu adalah satu-satunya orang yang akan senantiasa ada di hidupku.
Tidak, bukan menggantikan sosok Ibu-ku. Tapi dia membantu Ibu-ku untuk merawat aku, karena bagiku, sosok Ibu yang selama ini mengurusku, membesarkan ku, membimbingku, tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun.
Setelah ku taburi bunga diatas makam ibu-ku, aku pun bedoa kepada tuhan. Untuk menjaga ibu-ku di sana, kasihi dia seperti dia mengasihi aku waktu di dunia. Satukan dia, bersama orang-orang yang baik.
Ketika semua orang telah pergi, aku masih terdiam menatap batu nisan yang bertuliskan nama Ibu-ku. Rasa ingin tinggal lebih lama, menemani ibu-ku disini. Tapi nenek dengan lembutnya, mengajakku pulang. Menyadarkan ku, bahwa aku tidak boleh seperti ini.
Akhirnya, akupun menurut dan ikut pulang bersama nenek. Aku pulang ke rumah yang tidak bisa ku sebut rumah lagi. Tempat yang sangat kosong, hampa, dan hanya tertinggal kenangan-kenangan ibu didalam rumah.
Percayalah, masih kelas 6 SD, yang sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir sekolah. Saat dimana harusnya aku mendapatkan dukungan dari orangtuaku, saat dimana aku diberikan kepercayaan untuk menjadi yang terbaik.
Setelah hari itu, setiap pagi, setiap aku bangun tidur, aku selalu berfikir, dan bertanya pada diriku sendiri "Apa itu hanya mimpi?".
Dan lagi-lagi aku disadarkan dengan kenyataan bahwa Ibu telah tiada. Aku berusaha bangkit, selalu. Tapi, aku juga manusia, rapuh jika kehilangan.
Melihat aku yang terus murung, akhirnya Nenek memutuskan untuk mengajakku ikut dengannya pulang ke kampung halamannya, Cianjur.
"Apakah aku harus meninggalkan Ibu disini, sendiri?". Tanyaku pada Nenek yang tengah mengemasi barang-barang kami.
Dengan lembut, dan nada yang halus, Nenek meraih tanganku, dan berkata. "Ravindra, semua yang hidup, tidak akan ada yang abadi. Semua akan kembali ke asalnya. Indra pergi kemanapun, bahkan ke ujung dunia sekalipun, Ibu akan tetap bersama Indra."
Mendengarnya, aku seketika langsung tenang. Mulai yakin, bahwa aku akan terus berusaha untuk bangkit, sekalipun sesekali terjatuh, aku akan tetap bangkit. Hingga pada akhirnya aku tidak akan terjatuh lagi.
"Bu, doain Indra yah. Mulai sekarang, Indra bakal bahagiain nenek, juga Ibu disana. Doain, biar Indra sukses, bisa lewatin semuanya yah."
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUE SELF
General FictionTerkadang kita diuji bukan untuk menunjukkan kelemahan kita, tetapi untuk menemukan kekuatan kita. Banyak orang yang tidak bertindak karena takut gagal. Padahal, tidak bertindak adalah kegagalan yang sesungguhnya. Cerita ini akan mengajarkan kita, b...