KASUR yang disediakan untuk kami sangat empuk. Nyaman. Dan tiada tandingan. Fasilitas hotel ini memang yang terbaik.
Ya, setidaknya untuk mempersiapkan kami menghadapi kegiatan enam hari kedepan.
Yang akan menjadi sebuah medan perang untukku.
"Kenapa? Kenapa harus aku?!" Ingin sekali kuprotes ia begitu.
Tapi, saat waktu ice breaking tiba, cowok kulkas misterius itu langsung membanjiriku dengan tugas-tugas menumpuk menggunakan alibi 'sebagai wakil ketua yang mendampinginya.'
Sama sekali tidak memberiku kesempatan berbicara.
Kling!
Sebuah notifikasi mengganggu waktu tenangku melepas penat setelah menghadapi Night. Dengan malas kuraih ponsel, membukanya.
Mataku melotot hampir mau keluar. You know like, hah?! Apa maksudnya ini tiba-tiba?!
Oke, maafkan ke-sok-jakselanku. Kan ceritanya, bakal jadi anak Jakarta enam hari, hehe.
Dengan tangan gemetar, kubalas chat-nya pelan-pelan.
Aku mengerutkan alis heran. Sialan si Night itu, siapa yang mengajarinya begitu? Kembalikan detik deg-degan-ku yang berharga!
KAMU SEDANG MEMBACA
LumiNight [COMPLETED]
Teen FictionBagaimana rasanya, bisa membaca perasaan manusia? Jika alismu berkerut dan protes bahwa emosi abstrak nan misterius itu hanya mampu dirasakan Tuannya, mungkin benar. Tidak ada yang tahu apa yang orang lain sedang rasakan. Jangankan kita, mereka yan...