Suara jeritan menjadi nyanyian pengiring langkah cepatku menyusuri jalan. Matahari hendak tenggelam ketika aku berhasil meninggalkan pusat Kota Valkerhein. Berlari ke pinggiran kota demi mencari perlindungan dari pasukan kejam yang dikirim oleh Kekaisaran Sonhein.
Namun, rintik hujan malah menghalangi langkah kakiku. Lantas aku terpaksa berhenti sejenak. Berlindung di bawah sebuah pohon rindang dekat sungai. Tak seberapa lama karena suara pijakan kuda milik para ksatria semakin terdengar.
"Hei, berhenti di sana!"
Aku tidak bisa berhenti. Selama hidupku, aku selalu menuruti apa kata orang lain, tidak peduli perkataan mereka berdampak apa pada diriku. Sekarang aku tak akan begitu lagi. Aku tidak ingin mati seperti ini. Kalau aku berhenti sekarang, mereka pasti akan langsung menghabisiku.
"Astaga, gadis ini bikin lelah saja," gerutu salah seorang ksatria.
Pergerakanku segera dihadang dengan mudah. Kecepatan lariku tak sebanding jika dibandingkan kuda yang mereka tunggangi. Aku dikepung dari segala arah. Mereka sungguh tidak memberikanku celah untuk kabur.
"Biarkan aku pergi!"
"Tidak bisa. Kau adalah sasaran berharga bagi kami. Mungkin saja kecantikanmu bisa memuaskan Kaisar dan kau tidak ikut dimusnahkan seperti yang lain." Seorang ksatria membelai pipiku dengan seringai licik. Ugh, aku ingin menamparnya saat itu juga. Namun, nyaliku tak cukup besar untuk itu.
Aku melengos. "Aku tidak sudi!" balasku tegas.
Ksatria tadi mencengkeram rahangku. "Jangan sombong begitu. Kaisar kami tidak suka gadis cantik yang sombong."
"Lepas!" Aku berteriak. Dalam titik ini, aku seperti memasuki sebuah jalan yang ujungnya buntu. Alias tak terlihat ada jalan keluar. "Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa dariku. Jadi, lepaskan aku dan biarkan aku pergi."
"Untuk apa? Kami diperintah kemari untuk membinasakan seluruh rakyat Valkerhein yang tak mau tunduk pada Kekaisaran Sonhein," kata si ksatria. Ia mendekatkan wajahnya padaku, "sayangnya lebih dari separuh rakyat Valkerhein termasuk golongan tersebut. Begitu juga kau."
"Namun, kami melihat dirimu seperti sebuah berlian mengkilap di antara bebatuan. Kami ingin mempersembahkan dirimu pada Baginda Kaisar, tetapi kau malah menolak. Kalau kau terus menolak maka kami tidak memiliki alasan untuk tidak membunuhmu."
Memang, banyak yang bilang aku terlalu cantik sebagai seorang rakyat jelata. Manik amber dan rambut cokelat panjang, dipadu kulit putih pucat yang tetap sedap dipandang meski tidak dirawat. Kalau dipoles sedikit saja pasti aku bisa menyaingi kecantikan para gadis bangsawan.
Sayang sekali aku tak memiliki waktu untuk bersolek. Sepanjang hidup, aku berada di bawah garis kemiskinan. Aku harus puas dengan bekerja sebagai pelayan di tempat penginapan. Oleh karena itu, rasanya tidak adil jika aku tak sempat mengecap kehidupan yang layak dan mati begitu saja.
"Orang-orang menyebalkan!" seruku disusul oleh tendangan kuat ke area di antara paha si ksatria.
Pekikan menahan sakit sontak terdengar. Berbaur dengan lebatnya hujan yang terus mengguyur tanpa ampun. Para ksatria lain segera mengecek keadaan teman sejawat mereka itu. Memastikan masa depannya masih aman setelah ditendang olehku.
Sementara aku buru-buru kabur. Berlari sekencang mungkin. Tidak peduli sepatu usangku sudah terlepas dan tidak tahu ada di mana. Langkahku terus berpacu. Terus bergerak tak tentu arah, asal terbebas dari mereka yang berniat menangkapku.
Aku sama sekali tidak tahu dan tidak peduli soal permasalahan Kekaisaran. Aku bahkan tidak tahu wajah pemimpin Valkerhein itu seperti apa. Namun, sekarang saat Valkerhein akan runtuh, aku tetap terkena imbasnya. Padahal kemarin Valkerhein masih sangat tentram. Tidak ada yang pernah membayangkan kalau dalam semalam tempat ini akan menjadi lokasi pembantaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
The 7th Empress
Fantasía[PINDAH KE KARYAKARSA] Penaklukan besar-besaran oleh Kekaisaran Sonhein membuat Diane turut menjadi korban. Gadis malang itu meregang nyawa akibat mencoba mencari perlindungan di pinggiran kota Valkerhein, tetapi nahasnya malah terjatuh ke sungai da...