False 1

4 1 0
                                    

"Kamu kan udah janji nggak bakal kayak gitu lagi." Dikta berucap sambil memandang Sisil dengan sorot kecewa, sedangkan yang ditatap hanya diam menunduk. Tidak berani beradu pandang.

Geram, Dikta menarik bahu Sisil yang duduk bersebelahan agar berhadapan dengannya. "Kamu nggak kasian sama aku? Kamu nganggep aku apa sih?"

Tidak juga mendapat respon dari lawan bicara, emosi Dikta kian memuncak. Pria itu meraih air minum yang ada di meja kemudian meminumnya hingga tandas, berharap dengan cara ini dia mampu mengontrol emosinya.

"Okey, gini deh. Sekarang aku tanya, alasan apa yang bikin kamu nekat kayak gini lagi? Kamu lagi butuh uang?" Tanya Dikta setelah mengambil nafas cukup panjang.

"Iya mas kan pasti tau alasannya." Akhirnya Sisil menjawab meski tetap tidak memandang lawan bicara. Wanita itu takut sekali, dia tidak menyangka kebohongannya akan secepat ini terungkap.

"Kenapa kamu nggak bilang aku kalo butuh uang? Kamu butuh uang berapa si sayang? Kamu udah janji kan kalo ada apa-apa bilang." Dikta menggenggam tangan kanan Sisil sebagai isyarat kalau dia ada untuknya.

"Iya tapi kan mas juga lagi nggak ada uang." Sisil menjawab sambil sekilas melihat Dikta.

"Kamu tau lho, uang dari bank udah cair." Suara Dikta rendah.

"Aku tau mas, tapi itu juga uang yang pinjem dari bank kan. Aku nggak bisa mas, kamu juga punya tanggungan."

Dikta menghela nafas panjang, " tapi nggak open BO juga sayang, masih ada cara lain buat dapetin uang selain cara itu!"

"Cara apa lagi mas? Emang ada cara lain? Kerja? Kamu tau aku udah nyoba ngelamar kerja sana sini tapi nggak dapet-dapet kan?" 

"Aku bakal ngasih uang kamu! Bilang kamu butuh berapa?" 

Sisil hanya diam, tidak menjawab sedangkan Dikta mengawasi dengan dada bergemuruh hebat. Sebisa mungkin dia mengingatkan dirinya sendiri agar tidak lepas kendali dan membuat semua ini semakin rumit. 

Dia tidak menyangka, Sisil akan berani dan senekat ini lagi. Andai saja tadi dia tidak mengecek ponsel wanita itu, pasti dia tidak akan mengetahui kalau besok gadis itu akan check-in dengan pria lain. 

"Gini deh, sekarang kamu pilih. Terima uang dari aku  atau kamu tetep ngelakuin sama orang itu?" tanya Dikta karena Sisil tetap setia dengan diamnya.

Sisil menatap, menggelengkan kepalanya. Tanda dia enggan menjawab pilihan itu.

"Jawab sisil! Kamu pilih mana?"  bentak Dikta.

Ragu, sisil menjawab dengan nada sepelan mungkin. "Maafin aku mas, aku nggak bisa batalin."

Mendengar itu Dikta membuang muka. Mengusap wajarnya kasar. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran wanitanya. Dia sudah memberikan pilihan yang mudah tetapi gadis itu malah menyulitkan dirinya sendiri.

"Ayo sekarang kita check-in, puasin aku. Aku bayar kamu, kamu mau berapa?"

Mata sisil membola mendengar ucapan Dikta, dan kini matanya mulai berkaca-kaca. 

"Kenapa? Itu kan yang kamu mau? Cukup ngangkang dapet duit. Nggak usah repot-repot sama cowok lain, sama aku juga bisa!" Dikta sadar kalimatnya barusan sudah diluar batas, tapi dia pun juga tidak kuasa menahan. Kali ini Sisil memang sangat kelewatan.

"Mas, bukan kayak gitu. Kamu pun tau kan bukan ini yang aku mau. Aku juga nggak mau kayak gini mas." ujar Sisil dengan suara bergetar.

"Yaudah kalo kamu emang nggak mau kayak gitu, batalin. Aku udah ngasih kamu solusi lain, kamu sendiri yang nyusahin diri sendiri. Terakhir kali aku tanya, kamu pilih aku atau lanjutin kegilaan kamu itu?"

Dikta memberi waktu Sisil untuk berpikir. Berharap kali ini wanitanya sadar dan membuat pilihan yang tepat. Jika Sisil tetap ingin melanjutkan kegilaannya, Dia juga bisa melakukan hal yang lebih gila. 

"Okey, aku bakal batalin janjinya. Tapi kamu nggak perlu ngasih aku uang." jawab Sisil pada akhirnya.

"Trus kamu mau dapet uang dari mana? Katanya lagi butuh uang." tanya Dikta skeptis.

"Ya nggak tau juga, tapi kan kamu sendiri yang bilang kalo pasti nanti ada jalannya."

"I see, berarti sekarang batalin dulu janjinya." titah Dikta.

"Nanti aja ya mas, nanti pasti bakal aku chat orangnya."

"Kenapa nggak sekarang? Kenapa harus nanti?" Dikta semakin dibuat curiga.

"Udah dong mas, aku pasti chat orangnya. Nanti aku kirim buktinya ke kamu. Sekalian aku blokir nomernya. Sekarang mas pulang ya, udah malem banget lho ini. Tadi ibu kan pesen kamu pulang jangan kemaleman." Ucap Sisil meyakinkan.

Bukan bermaksud mengusir, tapi memang sekarang sudah lewat tengah malam. Tadi sebenarnya Dikta sudah berpamitan akan pulang namun karena melihat pesan masuk di ponsel Sisil  membuat pria itu bertahan lebih lama.

Setidaknya sekarang dia sudah cukup lega, wanitanya tidak jadi berbuat macam-macam diluar sana. Meski masih ada kecurigaan di otaknya, Dikta mencoba mempercayai ucapan Sisil bahwa gadis itu akan melakukan sesuai yang diucapkannya barusan.

"Kalo gitu aku balik dulu. Abis ini kunci pintunya." Ujar Dikta mengingatkan pasalnya saat ini Sisil hanya sendirian di rumah. Ibu dan adik wanita itu sedang pulang kampung sementara kakaknya lembur kerja yang otomatis pulang pagi.

"Iya mas sayang. Mas ati-ati ya di jalan."

Dikta mengangguk lalu bangkit diikuti oleh Sisil yang merentangkan tangan ingin dipeluk. Pelukan hangat diakhiri dengan kecupan pada dahi menjadi salam perpisahan untuk malam ini.

Setelah kepergian Dikta, Sisil langsung meraih ponselnya dan melancarkan rencananya. Mengganti nomer keduanya dengan nama Zain seperti nama yang dilihat Dikta tadi. Lalu melakukan percakapan seolah-olah dia membatalkan janji bertemunya besok. Tidak hanya itu, Sisil juga memblokir nomernya.

Dia men-screenshot percakapan palsunya dan bukti blokir kemudian mengirimkannya ke Dikta.

Setelah semua dirasa beres, dia beralih membalas chat dari Zain. Orang yang akan ditemuinya besok di salah satu hotel yang ada di kota.

Okey, besok ketemu ditempat ya.
Sent.

Ini bukan tentang uang, Sisil tidak dibayar untuk itu. Dia melakukan ini untuk kesenangannya sendiri. Lagi-lagi dia bermain api, jika tidak segera dipadamkan, dia pasti berakhir terbakar.

.
.
.

Semarang, 10 April 2022

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FALSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang