5. Maria (3)

62 24 29
                                    

"Aku nggak papa. Beneran, kok."

Sudah terhitung 23 kali Maria mengatakan dirinya baik-baik saja.

Masalah bagaimana aku tahu, ya soalnya lagi gabut aja. Jadi iseng-iseng aku buat catatan di sampul bukuku. Garis-garis kecil yang membentuk sebuah pagar panjang.

"Cerita! Jangan cuma nangis aja. Kita mana paham masalah kamu kalau kamu diem aja."

Dan itu adalah kata 'cerita' ke 16 yang diucapkan oleh Anggi.

"Nanti aja lah, Nggi. Kamu mau curhat kalau hanya ada kita berempat aja kan, Mar?"

Akhirnya muncul juga Dewi Penyelamat. Alafa selalu menjadi pihak yang cring cring shinning shimering glowinggg.

Setelah itu tidak ada percakapan lagi. Kami dengan penuh kekhusyukan dan khidmat mendengarkan segala materi yang diberikan oleh Bapak Ibu Guru tercinta.

Saking khidmatnya aku sampai tidak sadar kalau kelas sudah berakhir.

Perut keroncongan dan tangan kesemutan karena lelah menyangga kepala saat tidur di kelas, membuatku menggeliat dan sadar. Ingin bangun tapi kudengar sayup-sayup suara tangisan dari balik tembok.

Merindinglah tengkuk aing karena berpikir itu syaiton atau dedemit varian lain.

Pengen baca Ayat Kursi nggak hapal, baca Yasin takut dikira anak alim. Jadi pada akhirnya, aku baca Al Fatihah saja.

Lagipula Al Fatihah kan inti paling substansial dari Al Quran itu sendiri. Ini menurut sepengetahuanku aja, loh. Soalnya udah jarang ngaji kalau nggak diajakin adek.

Tapi setelah kudengarkan dengan tingkat fokus yang melebihi fokusnya Mbak Nessie saat bercerita tentang crimes case, ternyata itu bukanlah poci atau kunti. Melainkan suara Maria yang menangis.

Sepertinya dia dan kawan-kawannya memilih untuk bercurhat ria di belakang kelas agar aman dari telinga emak-emak julid. Tapi sayangnya tidak aman dari bapak-bapak. Xixixixixi.

"Masa harus pindah ke Jember, sih? Katanya mau kuliah bareng-bareng di Jogja sama kita?"

"Iya, Nggi. Guru spiritual ibukku bilang kalau di Jember lebih banyak kebaikannya daripada di Jogja."

Waduhh ... berat nih topik bahasannya. Boleh denger nggak, ya?

Masalahnya aku sama Maria itu kadang agak gimana gitu, ya. Nggak jauh tapi nggak deket juga. Dia juga nggak pernah curhat sama aku. Tapi kalau nggak didengerin entar aku penasaran terus nggak bisa tidur dong.

Kan zuzahhh.

"Memangnya harus selalu menuruti ucapan guru spiritual ibu kamu, ya?"

"Ya gitu, Al. Bapak kan udah nggak ada, jadi ya kayak guru itu tuh dijadikan role model gitu, loh. Kamu kan tahu sendiri Mas aku juga udah ada di luar Jawa. Nggak bisa ngurusin masalah beginian."

Oh iya. Alafa pernah bilang kalau ayahnya Maria itu udah berpulang semenjak dia kecil. Dia cuma punya Ibu yang,-ehem maaf sebelumnya nggak maksud menghina,- tua, soalnya umurnya hampir sama dengan umur negara kita.

Hamil Maria itu beliau udah di usia yang seharusnya menopause. Jadi, ya bisa dibilang kecolongan, lah.

Terus dia juga punya satu kakak laki-laki yang tinggal di Kalimantan sama keluarga kecil manisnya. Dan dua kakak perempuan. Yang satu udah berkeluarga dan satunya lagi mau nikah bentar lagi.

Jadi waktu di rumah, si Maria emang terhitung sering sendiri sih dari kecil. Soalnya emaknya ini sering banget mondok gitu, loh. Mengaji dan bertadarus. Dan si Maria ini sering dititipin ke kakak perempuannya yang udah bersuami.

Makanya aku pernah bilang, Maria emang nggak punya sosok laki-laki yang bisa dijadikan sebagai sandaran hidup.

Dan berdasarkan buku yang pernah kubaca. Anak-anak seperti Maria ini rentan terjebak dalam hubungan toxic. Nggak semua ya! Nggak semua!

Tapi kasusnya Maria kayak gitu.

Dia terlalu bergantung pada pacar 2D-nya dan hidup seolah hanya untuknya.

Bahkan pendapat si 2D ini lebih banyak didengarkan oleh si Maria ketimbang ocehan sahabat-sahabatnya yang sering kali menasehati sampai mulut berbusa kek anabul yang lagi rabies.

"Jujur aku agak kecewa sih, Mar. Aku pikir kita bisa selalu bareng-bareng."

"Jangan gitu, Nggi. Aku juga sedih tapi mau gimana lagi." Alafa membela.

"Hiks ... maaf ..."

Wah menangislah si Maria. Agak nyesek sih kalau denger cewek nangis. Kayak bayangin adikku nangis gitu. Kan kasihan.

"Jangan minta maaf, Mar. Di antara kita semua, aku tahu kalau kamu yang paling terluka di sini. Kamu nggak bisa menolak ibu kamu, tapi kamu juga tersiksa karena harus berpisah sama kita. Justru kamu yang paling kesepian di sini. Karena kamu nantinya yang akan berjalan sendirian di sana."

Waduh! Ini anak siapa lagi?!

Sampe lupa ngenalin dia. Hawanya emang tipis banget. Aku bahkan sering lupa kalau ada dia di antara empat sekawan itu. Tuh anak lebih banyak diem soalnya.

Anaknya kalem, nggak banyak tingkah dan vibesnya itu meneduhkan. Dia anak yang sopan dan pandai.

Gendis namanya. Artinya gula nggak, sih?

Tapi ya emang anaknya manis. Cocoklah sama namanya. Meskipun auranya itu selalu terlihat bahagia dan cerah, tapi dia itu jarang keliatan ketawa. Lebih sering senyum anggun gitu, loh. Tipe-tipe keraton sih menurutku.

Yang enggak aku sangka adalah, Maria, Anggi dan Alafa menangis heboh setelah mendengarkan khotbah singkat dari Master Gendis.

Kalau kayak gini, udah bukan Master lagi sih ini namanya, Lord Gendis lebih cocok kayaknya.

Ampun, Lord. Hambamu ini hampir saja lupa denhan keberadaanmu hehe.

*****

.

,

,

MAD (Mereka, Aku dan Dia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang