18. Kelulusan

58 23 8
                                    

Ps: Kalau bacanya sambil dengerin suaranya Anggis-Lembayung Bali, mungkin bisa nambah suasana. Anggis ya bukan AngGila. Kalau dia mah suaranya kayak Kodok Bekingking. Anggis yang itu loh finalis The Voice. Pokoknya aku nulis ini sambil dengerin doi. Jadi kalau aku sih dapet aja feelnya.

Brian mellow banget sih akhir-akhir ini?

Bacot!

Ehem ... mau beli kinderpoy ah.

Nah pergi juga itu benalu. Oke balik lagi ke topik.

Akhirnya ... Hari penantian telah tiba. Gerbang menuju penderitaan yang baru kini sudah terbuka lebar.
Kami semua dinyatakan lulus dengan predikat Cumlaude.

Bukan. Bukan cumlaude untuk anak-anak yang nilainya banjir pujian. Tapi karena mereka memuji kita berhasil lulus. Bersyukur banget kayaknya para guru. Mungkin karena beban sekolah berkurang dikit kali ya?
Plus mereka juga nggak malu-malu banget, soalnya anak amburadul macam aku aja bisa lulus gituloh.

"Lulusan terbaik jurusan Pemasaran dengan nilai 395,5 - Gendis Arumanis. Dimohon untuk naik ke panggung dan menerima penghargaan."

"Gendissss!" sudah pasti teriakan heboh itu berasal dari tiga kroco disampingku. Tapi si Gendis emang keren banget sih.

Padahal makanannya juga sama kayak makananku loh. Malah mungkin makananku jauh lebih bergizi. Tapi emang dasarnya dia rajin belajar, makanya bisa kayak gini. Ada faktor hadiah tuhan juga kayaknya hehe. Soalnya si Anggi belajar mati-matian tetep aja tolol macam aku.

Selayaknya upacara perpisahan sekolah-sekolah. Pasti ada berbagai macam hiburan dan juga nyanyian pilu menyayat hati. Mungkin biar berasa gitu kalau kita bener-bener mau pisahan.

"Jangan lupain aku ya gengs."

Okey. Si Maria nangis lagi, soalnya habis pengumuman SBMPTN dia bakalan langsung berangkat ke Jember buat check-in kos-kosan.

"Riaaa ..."

"Gendissss ... Allll ... Nggiii ... kalian harus sering-sering main ke Jember pokoknya!"

"Pasti Mar pasti!"

"Yakin kalian? Dikira Jogja Jember itu kayak Surabaya ke Sidoarjo apa?"

"Si mulut comber ini ya! Ngeselin banget!"

"Tau ah Brian! Mending diem. Fotoin kita."

Tentu saja aku langsung berubah menjadi juru kamera dadakan. Berbekal hape Anggi yang kameranya banyak banget, aku diperbabukan oleh mereka berempat.

Setelah itu aku juga harus menjadi fotografer untuk momen bucinnya dengan David. Nggak tahu diuntung emang si Anggi.

Acara hari ini dihadiri oleh pihak keluarga juga. Tapi dari mereka berempat, hanya keluarga Anggi saja yang datang. Miris.

"Ayo foto sekelasssssssss!"

Nice Lang! Emang ya, si burung ini pinter banget baca suasana.

Akhirnya kami semua berhasil mengabadikan satu frame foto yang dipenuhi kebahagiaan. Tidak ada airmata. Yang ada hanya tawa dan senyum bahagia.

Kami saat itu tidak tahu, jika setelahnya kami akan berpisah dan tak bisa sedekat dulu lagi. Karena saat itu kami masih sangat muda. Hanya berpikir tentang indahnya masa SMK. Mana ada pikiran seperti, apakah nantinya foto ini akan abadi?

Atau justru kita terpisah sendiri-sendiri?

Yah ... intinya setiap kali melihat senyum dan tawa mereka di dalam foto itu, aku merasakan hangat kebahagiaan. Hatiku damai, sungguh.

Bahkan ketika di luar kamar tidur adikku, terdengar banyak suara barang-barang melayang. Juga teriakan sumpah serapah antara mama dan papa. Aku tetap bisa tersenyum sambil meninabobokkan adikku yang masih berusia empat tahun.

Terimakasih sahabat. Kalian benar-benar pelipur lara. Karena saat bersama kalian, aku tidak akan ingat tentang semua ini.

Tentang bagaimana sulitnya bertahan dan menjaga kawarasanku hanya untuk adikku seorang, Lily.

Jika memang masih ada kesempatan untuk kembali ke masa-masa di bangku SMK itu, aku pasti akan mengorbankan apapun agar bisa bercengkrama lagi dengan kalian. Asalkan bukan kebahagiaan adikku, pasti akan kuserahkan apapun.

Bodohnya Anggi.
Baiknya Maria.
Tulusnya Gendis.
Pekanya Elang.
Kritisnya Budi.
Konyolnya Santoso.
Narsisnya Bulan.
Insecurenya Jeni.
Kemarahannya Diajeng.
Bahkan kekurangajarannya Aroyyan.

Dan masih banyak lagi nama yang jika kusebutkan akan semakin mengikis keteguhanku untuk tidak menangis di depan adikku.

"Yan ... Yan nangis?"

Oh. Aku pikir hujan dan atap kamarku bocor. Soalnya nggak pake No Drop, No bocor-bocor. Rupanya ini air dariku sendiri toh?

"Nggak. Mas Brian nggak nangis."

"Matanya kok melah?"

Tidak tahu. Aku juga tidak paham kenapa mataku memerah. Yang kutahu sekarang aku hanya memeluk erat tubuh mungil Lily, ketika diluar, mama dan papa saling berlomba untuk mengatai kami anak sialan.

Semoga waktu berjalan cepat. Aku hanya ingin segera membawa Lily pergi dari sini. Hanya itu.

***

MAD (Mereka, Aku dan Dia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang