17. Bukber Terakhir

50 22 11
                                    

Sesuai rencana, kita akhirnya bukber di rumahnya Maria. Halamannya luas banget. Jadi kita bisa makan-makan ditemani taburan pasir. Enggak lah. Orang kita pakai alas lebar kok. Jadi nyaman banget. Taburan bintang maksudku tadi.

Temenan sama mereka semua itu asik. Bikin orang lupa sama masalah. Soalnya keberadaan mereka semua itu sumber masalahnya.

Mulutnya Santoso sama Budi ini kayak toa mesjid. Keras banget ya lord. Untung aja area rumah Maria cukup sepi. Jadi nggak terlalu sungkan.

Aroyyan juga datang. Tumben banget. Padahal tiga tahun kita sekelas dia nggak pernah mau kumpul-kumpul. Mungkin karena ini bisa jadi bukber yang terakhir kali ya? Soalnya habis ini kita bakal lulus SMK.

Nggak ada sengatan-sengatan permusuhan antara Bulan dan Maria. Pokoknya suasana kali ini adem ayem banget. Saking tenangnya aku sampe suudzon. Takut tiba-tiba ada sesomething yang terjadi selanjutnya.

"Eh eh ... foto yuk." Bulan mengajak dan Jeni antusias.

"Sholat dulu lah. Udah mau habis waktunya." si ketua kelas, Jerome Polin, bukan-bukan. Namanya Romi kok. Ya pokoknya dia mengingatkan kita untuk segera kembali ke fitrah. Alhasil kita semua sholat berjamaah. Dengan tenang.

Barulah setelahnya kita berfoto bersama ala anak remaja. Sambil memakai mukena dan kopyah.

Elang yang beragama Hindu juga ikut foto. Malahan dia yang paling antusias buat pake kopyah sambil nenteng sajadah.

"Bersihin sampe kinclong ya gengs!"

Si Anggi ini emang blekok. Mana ada ceritanya rerumputan bisa kinclong. Rada sarap emang.

"Gigimu yang kinclong!"

"Wah nantangin nih Budi. Tak suruh bayar kas modyar kamu."

Suasana kembali tenang. Sebelum akhirnya kami mendengar huru-hara dari dalam rumah Maria.

"Aku nggak mau Bun! Masa aku harus kuliah disana sih?! Aku itu udah punya rencana buat kuliah di jogja."

Atmosfer mendadak menjadi sangat tegang. Kami saling pandang tapi tak berani hengkang. Saling kirim sinyal agar salah satu mengawali salam lalu pulang.

"Bundamu ini sudah tua! Yang nurut. Nanti kalau bunda mati kamu jadi anak durhaka loh!" Bunda Maria alias Bundanya Maria ini kayaknya tipikal orang-orang tua yang gitu lah. Strict.

Disaat otak berpikir keras bagaimana caranya agar bisa keluar pagar dengan selamat, akhirnya si Maria keluar dari dalam rumah dengan mata sembab.

"Maaf ya, acara kita jadi kacau. Kalian boleh pulang kok. Nanti sisanya aku yang beresin."

Kemudian satu persatu dari anak kelas berpamitan pulang sambil menyampaikan kata semangat yang terdengar sedikit sedih. Bagaimana pun julidnya pertemanan diantara kami. Tapi kalau ada yang kesusahan kayak gini ya kami ikut sedih lah. Dikira kita sikopet yang nggak punya perasaan apa?

Anggi, Alafa, Gendis dan aku-si Sopir akhirnya berada cukup lama disitu untuk menenangkan Maria. Sebelum akhirnya kami terpaksa pulang karena Bundanya Maria ngajak doi buat ke rumah anak perempuannya yang baru aja nikah.

"Kasian kalau liat Maria kayak gitu. Ibunya selalu nuntut dia buat patuh tapi nggak pernah mencoba memahami posisi Maria."

"Hmm."

"Pengen banget aku ngomong ke emaknya. Eh mak ... ini anakmu tertekan banget loh. Sampe otaknya nggak bisa berkembang. Bucin gak jelas sama mahluk virtual."

"Maria pinter Nggi. Yang otaknya nggak berflower itu kamu."

"Ngeselin nih anak pungut!"

Jangan tanya bagaimana aku bisa berakhir membonceng Anggi pulang. Sebenarnya tadi dia dibonceng David, tapi kami oper ditengah perjalanan. Waktu berangkat tadi juga seperti itu.

Soalnya papanya Anggita ini nggak suka anaknya dibonceng orang lain selain saudara-saudara cowoknya atau aku,- sohibnya, yang katanya udah terakreditasi A. Dan terjamin mutunya oleh IT* dan I*B.

Padahal David itu berani buat minta ijin, tapi Angginya yang takut. Takut David kenapa-napa.

"Buruan turun. Kasihan Gendis kalau nunggu lama-lama."

"Cieeeee ... suka ya sama Gendis?"

"Apaan sih anjir?! Emangnya mau kalau Davidmu itu makin cemburu liat kita boncengan kayak gini?"

"Eh iya-ya ... ya ampun. Sorri-sorri aku turun."

Nah loh. Kalau bahas David aja baru gercep nih anak. Emang doyan diskriminasi.

"Eh, Bri. Nggak mampir?"

"Eh, Om."

Melihat Pandanya Anggi, alias Papa handa, aku segera turun untuk salim. Ada dua abang dan adik laki-lakinya juga. Kita udah kenal deket, jadi mereka nggak senewen kalau melihatku boncengin Anggi.

"Enggak deh Om, udah malem. Aku pamit dulu ya Om, Bang, Ren. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati, Bri."

"Awas ada kunti, Bri."

"Jangan mampir ke Gang Dolly, Yan."

"Dijalan banyak begal, Bang."

Emang si-alan kok saudara-saudara Anggi ini. Percis kayak dia. Untungnya Papa Anggita masih baik. Ya meskipun dia sering bikin Anggi nangis gara-gara rulesnya yang kelewat lurus sih.

Awalnya kasihan liat Anggi merasa tertekan. Tapi lama kelamaan makin paham rasa khawatirnya keluarga Anggi sama dia. Apalagi semenjak aku punya adek cewek.

Kayak berasa gimana ya. Dunia ini emang makin gila sih. Niatnya mau berpikiran kalau seharusnya predator-predator itu yang harusnya dididik dan bukan para calon mangsa yang harus dikekang. Tapi kan ya nggak mungkin toh.

Makanya, aku lebih prefer buat jaga anak atau saudara atau keluarga masing-masing aja. Soalnya nggak peduli kita mau sebaik apa. Pasti ada aja orang gila yang berniat jahat sama kita.

Hahhhh ... dunia sudah tua ya.

***

MAD (Mereka, Aku dan Dia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang