Apple on Apple

23 0 0
                                    

Semilir angin pantai menyapa kulit, bersama dengan terik yang membakar. Berjalan menyusuri bibir pantai dengan kaki telanjangnya. Panas, tapi ia abai terhadap kakinya mungkin saja tergores serpihan karang. Dan ia tetap di sana, dibibir pantai saat lautan tengah surut.

Aluna, gadis itu yang tengah memandang cakrawala dengan santainya. Tanpa sadar dibelakangnya-berjarak sepuluh langkah-, seseorang yang mengikuti. Senyap, ia tak membuka mulut barang sepatah. Meski saat berbalik ditemui manik yang sedari tadi memperhatikan.

Jenuh saling diam, Arkais-sosok yang mengikuti aluna- membuka kata. Meski cukup berjeda lama hingga aluna mau buka suara. “Suka banget ya sama masa surut, padahal panas banget.” Mengubah arah pandang menuju cakrawala.

“A bunch, satisfying tau. Bisa lari-larian di batas maut.” Cukup sangsi jawaban yang diterima, dan begitulah Aluna dengan segala yang ia simpan sendiri.

“Heh ngomongnya,” Gadis itu tersenyum canggung. “tapi bener juga. Di batas maut soalnya laut pasifik emang ganas.” Senyumnya makin mengembang kala angin berhembus dengan kencangnya, menerbangkan helai-helai rambutnya yang tak dikuncir.

“Laut utara pasir hitamnya lebih menawan, apalagi waktu surut, kamu bisa lari-larian sepuasnya tanpa takut ombak gede. Kecuali cuaca buruk.” Kali kesekian Arkais jatuh dalam pesona magis yang menjerat tanpa pernah diminta.

“Semenarik itu pantai utara buatmu, Lun?” Gadis itu menghirup napas panjang lantas mengangguk.

“Iya, disana punya banyak kisah. Dan aku senang mengingat-ingat kisah lalu yang telah usai. Pantai-pantai disana cukup menenangkan, meski terselip lara dibaliknya.”

"Move on dong Lun, gamau menari disini?” Ia tersenyum lebih cerah dibandingkan sebelumnya. Lesung pipi dikanan bibirnya melukis magis.

"Ngga tau, ombaknya ganas. Takut tenggelam terus ngga bisa naik kepermukaan sendiri.” Arkais tertawa renyah, bahkan saat ada disampingnya aluna tetap merasa sendiri. Sekuat apa pijar Abhi dalam hidupnya, hingga ia enggan beranjak dari lara? Jika benar semua sebab kebodohan Luna, tetap saja sudah cukup ia meratap.

"Kan aku ada, bisa lah aku tolong kamu kalau tenggelam.” Hanya tawa sumbang yang tak Arkais tau artinya.

"Ngomong-ngomong, kenapa ngikutin?” pengalihan isu, berapa kali ini? Sepertinya memang tidak ada tempat untuk berpijar.

"Loh kamu sadar dari tadi aku ikutin?”

"Sadar, aku enggak secareless itu. Feeling aku masih tajem. Bisa nebak ada yang ngikutin. By the way, aku kira tadi Helga. Ngga taunya kamu, Arkais.” Senyum sabit yang tak pernah lepas pada alunatersungging manis.

Arkais berdebar hebat, namun Aluna sebaliknya. Mungkinkah hatinya sekeras karang? Bahkan karang saja bisa runtuh, namun mengapa aluna tidak. Batin arkais bergemuruh kala aluna menmanggil namanya samar.

“Arkais,”

"Mmhm.” Arkais berdeham.

"Percaya ndak, aku sebenernya udah pengen pergi. Tapi berat, apalagi waktu sadar bahwa Yogya-Semarang itu ndak bisa menghadirkan temu dalam lima belas menit.” Arkais diam menyimak, menyelami tiap lara yang tak dipahami. Jengah mendera saat Aluna sudah meracau tentang jarak, Abhi dan lara. Tak cukupkah semua usahanya untuk menarik Aluna? Hampir menyerah Arkais menikmati bayang yang jadi penghalang keduanya. Ingin rasanya ia mencuci otak Aluna agar tidak ada Abhi dan yang lainnya, cukup hanya dirinya sendiri.

"Luna, sadar nggak sih. Banyak yang nunggu kamu tapi kamu malah diam berkabung enggan beranjak.” Ingin ia berujar ini. Namun hanya sampai kerongkongan belaka. “Ayolah Luna, dia udah bahagia. Waktunya kamu bahagia juga. Aku tanya sekali lagi, ngga mau menari di batas ombak pasifik?” Tipis, setipis benang aluna tersenyum menatapnya.

"Andai semudah itu Arka.” Ucapnya tanpa menatap.

"Selalu ya Lun, kamu selalu gitu. Sampai aku gatau lagi gimana nyadarin kamu kalau banyak yang nunggu kamu.”

"None waiting for me, they just want to know then go!”

"Sure? Are you sure for that insane words? Did you know I just waiting for you till today.” Arkais diam sejenak. Mengumpulkan lagi keberanian yang entah dari mana ia daparkan.

"Still, till today, you always watchin’ into abhi that was die from your wold. Inget luna, dia bukan  semestamu lagi.”

“Should I show you, how deep he loves me."Aluna bergegas mengambil benda pipih dalam sakunya. Menunjukkan segala apa yang pernah Abhi beri untuknya.

"Aluna,”

"He’s my best part. So I can't fogot him easily like how am I for-“ Muak, benar-benar muak. Tak ada lagi kata yang dapat dibendung oleh Arkais. Semuanya tumpah ruah, menyentak Aluna dalam ratapan yang tak berguna.

"Aluna stop!! Enough to tell how deep you love him. If he’s love you deep as deep you do, does you thinking about that day. When you almost fainted during practice, but instead he became angry inexplicably. Did you call it care?" Gadis itu tersentak diam tanpa ekspresi. Tak ada mata yang berkaca, hanya tatapan tak mengenakkan yang ia dapat.

"Then you blame us if were not avaible for you? Nyatanya kamu lebih sering diam. Menikmati hari-hari muram sendiri." Arkais pergi melangkah meninggalkan Aluna dalam keheningan. Ia sudah muak kali ini, biar saja ketika ia sudah jatuh dan Arkais akan beranjak. Meninggalkan Aluna dalam kesunyian akibat ulahnya sendiri. Serapah yang ia gumamkan dalam batinnya kuat-kuat.

Tak peduli nanti Aluna jatuh sendirian dan menemui luka. Itu setimpal untuk semu yang ia tebarkan padanya. Rasanya tumbuh subur pada Aluna, namun mata Aluna atak pernah menatapnya barang sedetik.

Seusai insiden di bibir pantai itu, Aluna merenung berkali-kali. Tak henti bayang Arkais muncul menyelinap dalam ratap kosongnya. Berkali-kali ia menepis namun kalah. Ucapan Arkais didengar semesta dan Aluna pantas menerima sebagai balasan atas kebodohannya sendiri.

Dan satu hari ketika aluna benar-benar jatuh, ia sadar bahwa ia jatuh sendiri. Kala ia mampu menghapus bayang Abhi, Arkais sudah melangkah bersama kisah barunya. Sepintas ia mengutuk dirinya, sepintas pula mengutuk arkais yang membuka sedikit ruang hatinya. Namun ia lebih sadar, langkahnya yang berat meninggalkan jejak di pantai utara jelas menjadi penyebab.

“Arkais!” panggilnya di suatu sore kala ia menemukan manik legam milik arkais. Tergesa ia mengejar Arkais yang tengah berjalan menuju gor kampus.

“Arkais tunggu!!!” percuma arkais lebih dulu menghilang dibalik kerumunan.

“Dasar aluna, rasakan. Tidak perlu lagi mengikuti langkah. Cukup sampai disini saja, toh rasamu masih selewat. Masih hanya mengagumi tidak sedalam caramu menatap abhi yang membuatmu lupa bernapas.” Batinnya saat rasa yang belum mengembang itu pupus, bersama desau angin di kampus putih.

Yogyakarta, April 22

Btari Senandika Achala -

Apple on AppleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang