Bab 1

19 2 0
                                    

"Terima kasih. Silakan datang kembali," kataku, mengiringi langkah pelanggan membawa pesanan take away-nya.

Aku menyeka peluhku yang turun ke pelipis. Lenyap sudah image ramah yang susah-susah aku bangun. Seharusnya tidak begitu repot sih, berhubung ada masker yang menutupi bagian bawah mata hingga ujung dagu. So, this time I wanna say thank's to pandemic. Dalam hal menyembunyikan muka, ya, tolong dicatat. Selebihnya dan hal-hal lainnya tetap kok, aku dipihak kalian yang menghujat pandemic.

Sore begini banyak pelanggan yang datang untuk take away. Tapi, aku tadi sempat melupakan satu fakta bahwa malam ini adalah sabtu malam. Kupukul-pukul dadaku pelan. Sekadar mengingatkan bahwa aku harus menyiapkan mental lebih kuat demi menghadapi puluhan pelanggan yang bertandang-tentu dengan attitude yang berbeda-beda. Ketika menghampiriku di meja kasir untuk memesan menu yang rumah makan ini tawarkan.

Netraku menelisik ke penjuru ruangan di depanku. Beberapa meja masih terlihat kosong. Namun, di bagian sudut-sudut nampak terisi oleh beberapa pelanggan.

Di ujung kanan, figur keluarga kecil tengah menikmati ayam-ayam yang mereka pesan. Aku melihat raut bahagia perempuan-yang aku tebak adalah seorang istri sekaligus ibu-yang tengah menyuapi gadis kecil di sampingnya. Meskipun aku yakin ia begitu repot ketika harus mengurusi anaknya sekalipun dirinya sendiri belum sempat untuk melahap satu porsi ayam yang melambai di meja depannya. Mungkin, melihat anaknya mau makan tanpa ada drama GTM-gerakan tutup mulut-mampu membayar lunas waktu makannya yang tertunda. Hebat sekali.

Kontras dengan laki-laki di depan mereka-yang juga aku tebak sebagai sosok suami sekaligus ayah dalam figur keluarga mereka-ketika ia begitu menikmati ayam di suapannya sembari tangan satunya sibuk memegang ponsel. Lalu, sesekali semburan tawa atau kikikan-kikan ia keluarkan begitu saja. Praktis membuatku geleng-geleng. Timpang sekali, bukan?

Lepas dengan figur keluarga kecil-entah aku tidak yakin bisa menambahkan kata bahagia di belakang kalimat-pandanganku berhenti pada seorang perempuan dan laki-laki di sampingnya. Si perempuan yang menyuapkan nasi begitu hati-hati ke mulutnya. Dan si laki-laki yang terlihat kaku memegang cendok di tangannya. Euh, padahal tadi aku sempat loh lihat si laki-laki cuci tangan. Harusnya sih, aku yakin tadinya pasti dia mau makan pake tangan langsung. Ah, aku tahu. Ya ampun, lucu juga ternyata melihat interaksi malu-malu mereka. Baru jadian apa ya? Ih, geli juga.

Harus aku akui kalau yang itu lumayan menghibur. Setidaknya kadar dopaminku sedikit terangkat.

Dan untuk meja-meja lain ... sepertinya tidak terlalu menarik untuk aku ceritakan. Selain hanya diisi oleh remaja perempuan yang sedang menyantap satu porsi ayam geprek paket hemat sembari mengerjakan tugas. Atau mungkin sebaliknya, mencuri waktu untuk makan disela tugas yang menanti di depan mata.

Betapa miris. Harusnya aku juga bisa seperti mereka-pasangan yang aku tebak baru jadian dan malu-malu meong-yang sedang menikmati waktu kencan bersama pasangan. Untukku pribadi, sepertinya terlalu mahal hingga rasanya bagaikan mimpi.

Alih-alih yang ada sekarang jari-jari lentikku begitu lincah menekan-nekan angka pada mesin kasir. Ya ampun, malam mingguku harus rela-mungkin lebih ke terpaksa-aku habiskan bersama lembaran-lembaran uang dan koin yang kian menumpuk. Bukti bahwa penjualan malam ini begitu pesat. Harusnya worth it sih, kalau saja ada bonus melimpah yang bisa aku kantongi. Tapi .... You know i mean lah. Izin cuti saja susahnya kebangetan, sampai-sampai ngalah-ngalahin instansi pemerintahan.

Empat tahun berdiri di depan meja kasir, rasanya kok seperti keberadaanku nggak lebih dari karyawan probation. Jauh malahan. Trainee salah dikit mudah diberi pemakluman. Dalihnya sih begini, "nggak papa, namanya juga baru belajar. Nanti lama-lama pasti bisa kok."

INCORRECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang