Bab 3

17 2 0
                                    

Bagai induk yang mengemong piyik-piyiknya, aku menggiring Liyan dan Sari ke coffe shop tepat di sebelah Jempolnya Ayam usai jam kerja berakhir. Harusnya berempat, minus Dila sebab jam kerjanya kali ini bersinggungan dengan kami. Ah, tapi tanpa ada Dila pun pasti nanti ia akan tahu. Mengingat di sini ada Liyan dan Sari yang sangat amat mewakili, tentunya.

Guess what, ngapain sore-sore yang harusnya adalah jadwal pulang mendadak easily kami gadaikan? Yeah, untuk apa lagi selain 'mendiskusikan' perihal topik yang santer diperbincangkan para kacung Jempolnya Ayam. Ini juga berkat keberhasilanku menahan Liyan yang buru-buru menagih untuk segera dapat konfirmasi dari kunjunganku ke rumah kepala cabang kemarin, tepat saat aku memasuki ruang karyawan Jempolnya Ayam. Pagi tadi.

Kami-terlebih dan memang mungkin hanya aku-bukan mau ringan tangan menghamburkan uang, barang tentu tertanam otomatis di kepala kami bahwa tanggal gajian baru akan datang lima belas hari kemudian. Oh, come on. Soal price list mungkin coffe shop-tidak akan aku sebutkan namanya, by the way-ini beda tipis dengan harga yang tertera di book menu Jempolnya Ayam. Akan tetapi, menilik dari fasilitas yang wow, tanpa repot membaca papan menu yang tertempel di dinding belakang kasir pun naluriku sudah bisa menerka berapa kira-kira kocek minimal yang harus aku keluarkan. Sekalipun untuk regular menu dan small size.

Kenapa nggak di ruang karyawan saja? Oh, ya jelas kalau ada pilihan lain kenapa aku harus lego gawe dengan saling balas berbisik di ruang karyawan yang semakin lama berada di sana terasa kian sesak. Lagi pula, tidak mungkin kami membicarakan seseorang saat objek yang jadi perbincangan-yang tumben-tumbenan sore begini-ada di ruang kerjanya. Aku masih cukup tahu diri untuk tidak mencoreng kredibilitasku, sekalipun nantinya yang aku bicarakan adalah fakta.

Meskipun posisi bangunan berdempetan, coffe shop ini lebih prefer bagi kami bertiga. Kalau lebih proper, harusnya di tempat yang jauhan dikit dong ya dari Jempolnya Ayam. Jika itu yang jadi pertanyaan, maka, no langsung cepat aku hadirkan sebagai jawaban. Di sini lebih praktis mengingat arah rumah kami bertiga yang ternyata berlawanan arah bak petunjuk mata angin.

Setelah memesan menu di bawah, kami memilih meja di lantai dua. Lantai satu cukup ramai dan tidak etis bila Pak Agus mendadak keluar dengan mendapati kami kumpul-kumpul begini sepulang kerja. Yang bisa saja beliau asumsikan kami bertiga sedang membicarakannya. Iya, masih yang soal resign itu. Who knows?

"Gimana kemarin, Mbak? Valid 'kan yang aku bilang?" tanya Liyan on point, tepat saat kami mendaratkan diri pada sofa di pojokan.

Aku terperangah. Mendengar bagaimana Liyan bersemangat sekali. Aku jadi penasaran, apa rahasia gadis itu supaya staminanya tetap oke di jam-jam krusial begini.

"Liyan, seriously? Kamu biasanya makan apa sih bisa straight forward begini?"

Bukannya Liyan yang menjawab pertanyaan out of topic-ku, justru antusiasme Sari yang datang menyahut. "Maklum, Mbak. Yang habis dapat suntikan energi dari yayang emang beda vibes-nya." Sari melirik Liyan ketika membeberkan fakta romansa Liyan padaku.

Oh, ternyata.

"Sari ...!"

Lantai dua memang lebih lengang pengunjung, tapi tidak semata membuat Liyan harus bicara keras seolah hanya ada kami bertiga di sini. Dan ya, meja kami sukses menjadi pusat tatapan beberapa pasang mata. Aku yang menyadari atmosphere krik-krik ini buru-buru menangkupkan tangan dan mengukir senyum canggung untuk mengakhiri aksi bersitatap mereka.

Why? Maksudku, kenapa harus memekik begitu kencang di saat gadis yang duduk di sebelahku ini bisa menegur dengan halus? Mencubit, misalnya. Eh?

Sari yang duduk di depanku menyunggingkan senyum tak enak hati. "Em, sorry, ya, Mbak Janis."

INCORRECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang