Bab 5

6 1 0
                                    

Hari-hari berlalu seperti biasa dengan cepat, tanpa sadar sudah berjalan satu minggu sejak terakhir kali heboh kabar resign pimpinan cabang. Kabar itu masih jadi perbincangan tentu saja, namun tidak sesanter pekan lalu.

Meski di awal aku masih tetap bertahan pada misi pencarian tips jitu resign agar berujung ACC, perlahan aku merasa lelah karena rupanya usaha-usahaku tidak berjalan dengan mulus. Alias, aku menjadi lembek lantaran diam-diam memikirkan informasi rekomendasi yang Pak Agus bocorkan. Harusnya aku tidak boleh begini. Dan jujur saja, aku sudah seperti kehilangan jati diri. Baru dapat iming-iming sekelebat angin surga sudah kelimpungan begini. Aku harus mengakui kalau aku ... yeah, baper.

Untuk mengurangi pikiran-pikiran itu, aku mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang ada sekarang harus aku hadapi dan jalani. Perihal angin surga, yang jelas masih abu-abu biarlah kusimpan di hati dalam-dalam.

Kuraih buku besar yang biasa aku letakkan di samping mesin kasir. Sederet angka-angka tercatat begitu terorganisir disetiap kolom jenis masing-masing.

Mendekati akhir bulan, sudah saatnya aku memeriksa kembali pembukuan keuangan. Kugenapi bagian yang kosong untuk kuisi angka pemasukan hari ini. Sekaligus, tanda bahwa jam kerjaku hari ini selesai. Meja pelanggan sudah kosong, bekas-bekas sisa makan juga sudah dibereskan dan dibersihkan tadi.

Baru saja aku akan ke ruang karyawan bersama Dila, suara sapa Pak Agus mencegah langkahku.

"Mbak Janis, ke ruangan saya sekarang, ya." Sudah, begitu saja dan beliau langsung berlalu kembali ke ruangannya yang ada di ujung kiri.

Dila yang masih stand by di sampingku mengerutkan kening. Ia sempat menengok jam berlogo jempolnya ayam sebelum berucap, "Kok mendadak banget, Mbak. Ini udah mau tutup loh."

Dari sekian banyak skenario yang bisa aku tebak, mungkinkah Pak Agus ingin membahas kembali perihal informasi yang disampaikan beliau dulu?

Aku menggeleng. "Aku juga nggak tahu, Dil. Ya udah, kamu pulang duluan aja. Tadi aku lihat Liyan sama Sari udah masuk ke dalam tuh."

"Beneran nggak apa-apa, Mbak? Kalau kita nggak nungguin Mbak Janis?" tanyanya terdengar memastikan.

Akhir-akhir ini kami memang sering berbarengan saat akan pulang. Menyempatkan mengobrol sebentar guna melepas penat setelah lelah bekerja sebelum menaiki kendaraan masing-masing menuju rumah.

Aku melangkah dari meja kasir. "Udah, rumah kalian kan pada jauh. Ntar tambah kemaleman lagi di jalan."

Dila sempat menatapku lagi dan berakhir dengan anggukan.

"Dah, ya." Kutinggalkan Dila begitu saja demi memenuhi panggilan Pak Agus.

"Permisi, Pak," sapaku pada Pak Agus. Beliau kini tengah duduk sembari membaca sesuatu yang tertulis di lampiran kertas yang ada di tangannya.

"Silakan duduk, Mbak Janis."

"Ada apa ya, Pak?" Seperti tidak sabaran memang. Ini sudah jam pulang, dan tandanya hari sudah larut. Kenapa juga manggilnya nggak tadi aja pas rumah makan lagi sepi kan?

"Mulai lusa, ada karyawan baru di sini. Tolong nanti Mbak Janis bantu-bantu, ya."

"Oh, baik, Pak."

"Artinya, Mbak Janis sudah tahu dong, karyawan baru ini posisinya apa?"

"Kasir?"

"Betul. Berhubung masa saya berakhir dalam satu pekan, saya ingin meninggalkan kesan yang baik. Salah satunya dengan membimbing karyawan untuk bekerja lebih baik."

"Mengenai perkataan saya di rumah satu minggu lalu, sudah saya sampaikan pada atasan sewaktu rapat pengunduran diri saya. Mbak Janis tenang saja, kalau saya lihat dari kinerja Mbak Janis selama ini besar kemungkinan akan approval ya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

INCORRECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang