Bab 4

14 3 0
                                    

Bau bermacam olahan masakan menyambut kehadiranku di Jempolnya Ayam pagi ini.

Karena aku datang sedikit lebih awal dari jam kerja, maka dengan bebas langkahku menekuri setiap lantai yang menuju ke arah dapur. Tentu tanpa bisa aku cegah, sebab aroma masakan Bu Jam yang menguar di udara seolah melambai untuk aku hampiri.

For your information, jam kerjaku sebagai kasir memang berbeda dengan para penguasa dapur. Mereka sudah harus berangkat dua jam lebih awal dari karyawan lain. Ini sudah ditetapkan semenjak cabang ataupun Jempolnya Ayam Pusat didirikan. Mengingat banyaknya menu per-ayaman yang disediakan, jadilah mempersiapkan bahan-bahan masak pun membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Terdapat dua puluh menu ayam yang kini terdaftar di book menu. Mengalami peningkatan yang baik sebab menu yang ditawarkan semula adalah sejenis fast food saja, seperti fried chicken, chicken katsu, ayam geprek, dan ayam goreng tepung sejenisnya. Sedangkan saat ini, masakan rumahan pun sudah tersedia. Memang ada pergeseran moto di sini. Dari yang awalnya fast food kini konsep menu Jempolnya Ayam sudah lebih homey.

Meskipun aku terbiasa membaui berbagai masakan yang tengah diolah ataupun yang sudah matang sekalipun, entah di rumah atau seperti saat ini di sini, rasanya indera penciumku berfungsi dengan sangat baik untuk sekadar dilewatkan begitu saja.

Begitu sampai dia area dapur yang didominasi warna silver oleh perkakas masak, netraku mengamati Liyan yang tengah terlihat sibuk berjalan kesana-kemari untuk mengambil bahan makanan, lalu menaruhnya di meja, dan mengembalikan sisanya yang dirasa cukup tidak lagi diperlukan ke tempat semula.

Sementara sang juru masak utama, Bu Jamilah tengah membuat adonan tepung yang nantinya akan digunakan untuk membungkus dan menyelimuti ayam-ayam. Seperti ayam crispy, ayam pop, ayam katsu dan ayam lainnya yang memang memerlukan pertepungan.

"Itu yang di atas kompor menu baru ya, Bu?" tanyaku ketika berhasil mengambil celah di sekitar Bu Jamilah agar bisa ikut nimbrung.

Bu Jamilah mencampurkan putih telur ke dalam satu baskom besar yang di dalamnya terdapat tepung terigu. Kemudian, beliau menambahkan air sedikit demi sedikit sampai dirasa campuran sudah pas sebagai adonan basah.

"Iya, Mbak. Respons pelanggan cukup baik. Mbak Janis tahu kan?" jawab beliau ketika meletakkan baskom adonan basah itu ke atas meja yang kosong.

Jelas tahu. Sebelum daftar pesanan sampai ke dapur, kan terlebih dulu semua order list melewatiku di meja kasir.

Aku mengangguk meskipun tahu bahwa Bu Jamilah tidak begitu memperhatikanku lantaran dirinya yang sibuk. "Rata-rata yang pesan ramean gitu, Bu. Ada yang datang satu keluarga, arisan ibu-ibu rempong dan rame, dan semacam acara syukuran kantor. Atau ada juga sih, pelanggan yang datang sendirian dan pesan menu itu. Mungkin, kangen masakan rumah kali, ya."

Ingatanku melayang ke beberapa minggu lalu saat melayani pelanggan. Kadang, aku jadi sering mikir. Berkah menjadi kasir salah satunya adalah bisa menilai karakter seseorang meskipun secara kasar.

"Benar banget, Mbak. Kayak aku gini, yang anak kost. Kalau kangen rumah, seenggaknya nyicipin masakan Bu Jam udah bisa ngobatin rasa rindu masakan Mama." Liyan datang dengan tangannya yang masih basah. Titik-titik air bekas cuci tangannya itu lalu ia usapkan pada celemek yang ia kenakan. Lalu, seperti sudah tahu apa yang harus ia lakukan, ia membantu sisa pekerjaan Bu Jamilah.

Aku yang tidak ada job desc apa-apa di dapur ini hanya bisa mengamati pekerjaan Bu Jamilah dan Liyan. Sudah macam supervisor yang sedang meninjau kerja bawahannya. Membuatku terkikik geli dan menggeleng samar. Kadar halu di diri ini harus segera aku koreksi sepertinya.

INCORRECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang