3rd.

7 0 0
                                    

“Kamu ga bakal ngerti, Kak Zon! Rasanya di kehidupan asalku. Sakit kak… Ga punya teman, ga bisa berbaur, selalu dituntut sempurna, ga pernah dingertiin, selalu kesepian, dengan rasa bersalah dan takut yang terus menghantui. KAKAK GA BAKAL NGERTI!”

Teriak Hikari, dengan suara terisak, “Aku ingin punya teman, bebas, tanpa rasa kesepian…”
Matanya berkaca-kaca, menangis. Lantas Hikari menyeka air matanya dengan lengannya. “Aku cuma ingin… kehidupan yang indah, tak ada bentakan, tak ada pukulan atau hukuman, tak ada rasa kesepian, tak perlu dituntut sempurna. Lihat, bahkan di dunia ini tanganku bersih, gaada luka coretan.”

Mulut Corazon bungkam, begitu pula dengan Acid.

Wajah Corazon terlihat merasa bersalah, berbanding terbalik dengan Acid. Acid mengusap wajahnya kasar. Hikari bodoh, jika ingin cerita tentang kepahitan hidup seperti itu jangan di hadapan Corazon, Begitu pikirnya, mungkin.

Hikari menyandarkan dirinya ke dinding, berusaha meredakan tangisannya. Corazon mendekatinya, mengusap wajah Hikari yang sedang menangis dengan lembut.

“Maaf, Hikari.” Corazon tertunduk, Hikari membuang muka, tak ingin menatap Corazon saat itu. Corazon menghela nafas, berbalik meninggalkan Hikari dan Acid disana.

Acid menahannya, namun Corazon menghiraukannya.

Corazon meninggalkan mereka berdua, pergi entah kemana. Mungkin, merenung, merasa bersalah telah membuat seorang gadis menangis? Terserah dia saja.

***


“Oi, Hikari. Seharusnya kamu ga ngomong sama dia begitu.” Ujar Acid kepada Hikari. Hikari mengernyitkan dahi, “Kenapa? Aku ga boleh ngungkapin perasaan aku? Aku ga boleh berkeluh kesah gitu?” Seru Hikari

“Maksud gue, pemilihan kata-kata kamu kurang pas…”

“Kurang pas?”

Acid menghela nafas panjang, “Corazon itu, ga pernah ngerasain kasih sayang dari kecil.”

Hikari tersentak.

“Dia dididik dengan keras oleh ayahnya, cuma ibunya yang memberikannya kasih sayang, itupun sementara. Ia baru berusia sebelas tahun, ketika sekelompok orang menyerbu rumahnya, membantai habis ayah, ibu, kakak dan adiknya,”

Wajah Hikari pias.

“Kamu ga bakal percaya, dia menghabisi sekelompok orang itu. Saat kami—keluargaku dan tetangga yang lainnya datang menerobos rumahnya, ia dalam posisi berdiri, termangu menatap sekeliling rumah. Lengan, dada dan seluruh tubuhnya dipenuhi oleh darah. Tangan kanannya memegang pistol—mungkin milik sekelompok orang itu, sebelah kirinya memegang sebilah pisau. Bahkan, saat itu ia masih sempat menembak-nembak mayat sekelompok orang itu. Tubuh sekelompok orang-orang itu hancur, terkapar tak berdaya.”

Hikari menelan ludah, “L-lalu, Kak Corazon bagaimana?”

Acid tertunduk,

“Setelah kejadian itu, Corazon tinggal dan dididik di sebuah tempat perguruan, bersama denganku. Aku sendiri yang meminta kepada orang tuaku agar menemaninya disana. Aku diperbolehkan, dan kami pun tinggal, berguru disana.”

“Dia sangat hebat, banyak bakat dan kekuatan tersembunyi dari dalam dirinya. Mungkin, itu alasan kenapa ayahnya mendidiknya dengan keras. Kemampuan bertarungnya sangat hebat, ia bahkan menguasai teknik invinsible, dari Sir Aaron. Gerakannya gesit, analisanya juga, bagai mesin. Hebatnya lagi, dia bisa memulihkan dirinya dengan cepat setelah ia bertarung. Aku penasaran bagaimana ia melakukan itu. Kalau ada misi dari Sir, pasti ia berada di garda depan. Bangga sekali aku punya teman seperti dia.”

Hikari mendengarkan dengan teliti.

“Namun, ia berubah. Sejak saat itu, ia bisa dibilang, tak punya perasaan lagi. I mean, dia memang masih bisa tersenyum, atau tertawa. Tapi, itu hanya ketika denganku, tidak saat di depan orang lain, apalagi musuh. Hati dan perasaannya seolah-olah terenggut, setelah peristiwa pembantaian itu, sampai sekarang. Jujur, aku bahkan terkejut, ia bisa tersenyum dan menggodamu. Sepertinya, hanya kamu orang—selain aku yang bisa membuat Corazon berekspresi, setelah sekian lama.”

Hikari tertegun mendengarnya, matanya sudah berair mendengarkan cerita Acid. Pasti, dia merasa bersalah.

“Kak… aku nyusul Kak Zon ya? Mau minta maaf—“

“Ga usah, ri. Dia butuh waktu sendiri kalau udah kaya gitu, temui aja pas kita pulang sekolah siang nanti.” Ujar Acid, memotong Hikari.

“Oke. Oiya, ngomong-ngomong, Kak, kakak tau rumah kakak di dunia ini?” Tanya Hikari,yang membuat Acid membatu.

“Lah iya, rumah kita dimana?”

Antara Kenangan dan Kenyataan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang