“Untuk kekasihku dari dunia lain, Acid.
Kamu sudah datang, ya? Bagus sekali! Selamat datang, Acid! Selamat datang di dunia, dimana takdir akan merestui kita.
Omong-omong, kamu bakal menetap, ‘kan?”
Baru dua kalimat, Acid meremas kertas, tertunduk, memeluk kedua kakinya. Ia meletakkan kertas itu, tak ingin membacanya lagi.
“Cid, you good?” Tanya Corazon, menepuk bahu Acid.
“No, not at all, Corazon.” Ucapnya lirih, suaranya terdengar terisak. Corazon menatapnya iba. Lantas, ia mengambil surat yang tergeletak di lantai.
“Jangan dibaca, Zon…” Lirih Acid.
Corazon mendengus pelan, menggeleng, tetap membacanya.
“Aku merindukanmu, Acid. Aku tak rela melepaskanmu begitu saja di dunia sana hanya karena penyakit sialan itu. Aku tak mau kamu sendirian. Aku tak rela kamu jatuh ke orang lain sepeninggalku.”
“Zon… gue mohon… jangan di lanjut…” Suara Acid bergetar, matanya sudah berkeringat sekarang.
“Bisakah kita mengulang semuanya lagi, Cid? Semua kenangan itu… kita ulang lagi, ya? Hei, di dunia ini, kamu ga perlu khawatirkan aku yang sering sakit-sakitan lagi, loh! Aku sehat di sini, tak ada yang kusembunyikan disini. Kamu mau, kan?Putuskanlah. Jika sudah, temui aku di gedung kosong di sebelah sekolah kita. Minggu ini. Bawa jawaban kamu, dan jangan lupa bawa Hikari-chan dan Corazon juga. Aku merindukan junior ku yang satu itu. Kutunggu jawabanmu.”
Dari kekasihmu dari dunia lain, Caby. a.k.a Chae.”
Wajah Acid sedikit bingung mendengar surat yang dibaca Corazon. Namun, kesedihan lebih mendominasi emosinya sekarang. Gigi Acid menggertak. Sambil meremas rambut, tangisannya pecah. Corazon menunduk takzim. Bagaimana lagi? Jika surat itu tak dibaca, tak akan ada informasi yang mereka dapatkan.
Hikari yang sedang terbaring di kasur, menoleh, menatap Acid sedih. Paham sekali rasanya, rasa bersalahnya masih menghantui, membuatnya tak tenang.
Corazon menghela nafas pelan.
“Gue… gamau… ini bakal jadi perdebatan lagi…” Ucapnya, suaranya serak. “Baik, lo gamau ini jadi perdebatan, bukan?” Tanya Corazon, mendekati Acid, menepuk bahunya.
“Lantas, putuskanlah. Apa yang akan lo pilih?”
“Ini yang gue takutkan, Zon… gue ga mau debat… gue ga bisa nentuin… kalian dan Cabi berharga buat gue…” Sanggah Acid.Corazon diam, tertunduk. Sungguh rumit hal ini, antara cinta dan persahabatan.
“Kalau gitu, ambil jalan tengah. Pilih kedua-duanya, Kak Acid.”
Acid dan Corazon menoleh ke sumber suara. Hikari yang sedang terbaring, “Aku punya dugaan tentang Kak Varun—maksudku Nether. Dia bilang, dia bakal bantu kita semampunya, iya ‘kan? Jika kakak pilih kedua opsi? Apa dia bakal bantu juga? I mean, kalian pernah saling mengenal, kan?” Jelas Hikari.
Acid dan Corazon bersitatap, mengangguk-angguk.
“Kita coba dulu, kita lihat, seberapa jauh ia dapat menolong kita.” Kata Acid, mengepalkan tangan, bersemangat. Hikari terkekeh pelan, sedang Corazon hanya mengangguk takzim, mengiyakan.
“Yosh! Ayo berangkat!” Hikari bangkit bersemangat dari pembaringannya. “E-eh… Hikari, kan kamu—“
Corazon bergerak cepat, menghampiri Hikari, menepuk dahinya. “I-ittai! Sakit, kak!” Seru Hikari, mengaduh. Corazon mendorong Hikari hingga terjatuh ke kasur lagi, kembali menyelimutinya.“Sadar diri, luka lo belom sembuh total. Meski lo udah minum darah gue, tetep butuh proses untuk penyembuhannya, secara lo bukan pemilik darah gue.” Corazon mendengus kesal, menatap Hikari yang terbaring di kasurnya.
Hikari diam sedetik.
“DARAH?” Teriaknya, persis seperti reaksi Acid tadi. Corazon terkekeh pelan, “Iya, kenapa? Enak kan? Ahaha, lo beneran jadi vampir dong.” Ejeknya. Wajah Hikari merah padam, entah itu marah atau malu.
Acid tertawa melihatnya.
Corazon tersenyum miring, “Yaudah, sini gue bantu biar lukanya cepet sembuh, bahkan bisa sembuh dalam semalam, loh.” Hikari melirik Corazon, masih dalam perasaan sebal, “Benarkah? Gimana coba?”Corazon terkekeh, “Pejamkan mata dulu.”
Hikari—dengan polosnya mengikuti perkataan Corazon itu. Matanya terpejam.
Corazon mengusap surai coklat Hikari, mengecupnya lembut. Hikari membuka matanya, tersentak.
“K-kak? N-ngapain kak?” Hikari salah tingkah. Corazon berdecil sebal, “Gue bilang tutup mata, kan?”
Wajah Hikari memerah. Ia menyelimuti dirinya sendiri, merasa sangat malu, meringkuk sambil berteriak histeris di dalam hati.
Acid tetap tersenyum, meski panas di dalam hatinya. Ia menepuk bahu Corazon, “Cukup, kita pergi malam ini, secepatnya sesuai kata Hikari. Gue dah panas liat lo berdua, sekarang giliran gue.” Ujarnya dengan nada dingin.
Corazon tertawa jahil, “Yayaya, kita berangkat malam ini. Sebentar, gue bawain dulu bubur buat bocah ini, dia harus membaik sebelum malam nanti. Oi, bocil, silahkan request, lu mau bubur apa?” Ujarnya, menggoda Hikari. Hikari mengeluarkan kepalanya dari selimut, menggembungkan pipi, kesal.
“Aku bukan bocil lagi, heh! Oiya, mau bubur ayam dong, hehe.”
Corazon menghela nafas, “Iya deh iyaa, tunggu disini.” Corazon membuka pintu, keluar apartemen.
Acid merogoh saku, mengambil Handphone nya. Menekan dua belas nomor, menelpon. Hikari menatapnya, dengan tatapan bertanya-tanya.
“Halo? Ahaha, lo sudah siap, Cid?”
Acid menggigit bibir, “Y-ya, gue siap."
Suara di seberang terkekeh, “Baik, sesuai janji, besok hari minggu, di sekolah.”
“Ga, malam ini, di sekolah.”
“Hooo… sepertinya lo sudah sangat yakin, oke.”
Telpon ditutup sepihak.
“Semoga ini pilihan yang benar.” Gumamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Kenangan dan Kenyataan.
Roman d'amour"Sebuah petualangan, menatap masa depan dan merenungkan masa lalu. Mencari arti cinta dan persahabatan, melalui rasa sakit dari pertarungan." By : Yuzuriha Hikari, a.k.a Aizzyyy.