DYAD01 // ??? / Log

32 7 5
                                    

"Pergi - dan jangan sekali-kali melihat ke belakang!"

Lolongan itu masih kuingat terus-menerus, disusul kemudian, dentum ledakan yang tidak kusukai suaranya sampai saat ini. Pemandangan tidak indah berikutnya adalah kobaran api yang menyala-nyala dan membumi hanguskan segala yang ada.

'Yang ada' memang sesuatu yang relatif, tapi menurutku saat itu, aku mendeskripsikan 'yang ada' sebagai 'sebagian daerah kumuh laboratorium gabungan', sebuah surga bagi kami yang hidup di Liberte sambil mengais kesempatan dalam kesempitan.

Orang-orang selalu bilang koloni besar seperti Liberte ini surga bagi para orang haus akan pengetahuan. Mereka tidak salah, karena selain koloni ini adalah koloni yang cukup maju dengan perkembangan yang fantastis selama kurun dekade terakhir, Liberte menyimpan banyak sekali kegelapan di balik cahayanya.

Salah satunya adalah perlakuan bagi para peneliti yang karyanya belum diakui oleh pemerintah dan menyambung nyawa dengan berbagai penelitian berbahaya. Belum lagi kalau di tengah progres penelitian, mereka diendus oleh pemerintah mengimpor barang-barang terlarang melalui kanal-kanal sampah. Sudah memiliki karya yang tidak diakui pemerintah, dimusnahkan pula, padahal karya itu nantinya juga akan mereka serap, apes sekali, bukan?

'Lituskultura' termasuk salah satu yang mendapat imbasnya. Dan cuplikan di memoriku barusan adalah saat orangtua dan kurang lebih sepuluh rumah peneliti dibakar habis.

Aku, kurang lebih berumur lima belas tahun saat itu, berlari kencang menuju shelter dengan sedikit luka bakar di kaki. Orangtuaku menitipkan hasil percobaan mereka dalam sebuah tabung tanaman yang dapat dienkripsi, sementara para asisten memberiku kertas-kertas tesis mereka di dalam tas yang kuseret pergi mati-matian.

Di arah punggungku, aku menangkap raungan orang-orang yang terbakar, tapi aku sudah berjanji tidak akan melihat ke belakang lagi.

"Kami yakin, Lituskultura akan hidup di beberapa tahun mendatang, dan kita bisa pergi dari Liberte untuk membuat koloni petani dan peladang baru di Direland!"

Mimpi yang sangat utopis, tapi diriku yang baru seumur jagung itu percaya akan mimpi-mimpi.


BRUK!

Sialnya, mimpi burukku harus ditutup dengan aku yang keluar jalur dari meja laboratorium bawah tanah, alias terjun bebas ke lantai yang berserakan kertas-kertas hasil penelitian dan material-material lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Aku memang berantakan dan di sini hanya ada cahaya lampu yang menemani tapi, hei! Aku bukan saintis ceroboh yang menaruh tabung-tabung kacaku sembarangan.

Aku beringsut di antara lautan kertas, menendangnya ke arah kolong meja tempatku tidur tadi. Jam menunjukkan pukul enam, masih terlalu pagi untuk mengamati sampel di terarium kaca nomor 19. Tapi, sialnya lagi, aku telat dua menit untuk mengayak sampel pasir yang kudapat kemarin sore-

-ah, sudahlah. Aku melambaikan tangan ke arah langit-langit. Sweater kebesaran yang kukenakan sudah saatnya diganti. Dan aku mulai merasa kesulitan berjalan di antara lautan kertas ini, sebaiknya aku menyingkirkannya dulu. Mengayak bisa kulakukan nanti saat aku lebih terjaga.

Merapikannya? Apa itu? Nanti malah tidak bisa kuambil lagi saat diperlukan.

Dengan sepenuh kekuatan batin, aku berdiri dari kursi dan mejaku, menumpuk segala kertas ekoplastik yang sudah menghuni meja entah sejak kapan hingga kayunya terlihat. Aku berjalan menuju kamar mandi yang terletak di selatan kamar, menangkap refleksiku yang sembap di kaca berembun.

LituskulturaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang